Minggu, 27 September 2015

0 Resume Marsum al-Khat wa Adabi kitabatihi (al-Itqan fi Ulum al-Qur’an)



PENULISAN KHAT AL-QUR’AN DAN ADAB PENULISANNYA

 





Rasm
Dalam bab ini dijelaskan bahwa para Ulama dari golongan mutaqaddimin maupun mutaakkhirin, seperti Abu Amr ad-Dani menghususkan pembahasan bab rasm ini dalam kitab tertentu. Sebagai penentang kaidah yang rumuskan Abu al-Abbas al-Marakisyi, ad-Dani menyusun  Unwan ad-Dalil fi Marsum Khat at-Tanzil’,  yang di dalamnya dijelaskan bahwa  Perbedaan bentuk penulisan huruf dipengaruhi perbedan makna kalimat-kalimatnya.
Adapun kaidah Bahasa Arab menjelaskan bahwa lafadz itu ditulis dengan huruf-huruf hijaiyyah dengan menjaga permulaan dan waqaf/pemberhentian. Ulama’ ahli nahwu telah membentangkan dasar-dasar dan kaedah-kaedahnya dan sungguh terdapat perselisihan sebagian huruf dalam penulisan khat Mushaf  al-Imam.
Sementara itu, bab rasm terangkum dalam hadzf, ziyadah, hamz, badal, fashl, dan bacaan yang mengandung  dua qira’ah maka ditulis menurut salah satu diantaranya.
1.      Kaedah pertama; hadzf (pembuangan). Diantara kaedah yang terdapat dalam hadzf adalah:
Alif dibuang dari :
-          ya’ nida’,  contoh: "يأيها الناس،                       
-          ha’ tambih, contoh: "هؤلاء"،
-          atau seperti lafadh "أولئك"، و"لكن"،
-          isim alam dengan huruf lebih dari empat, contoh : إبراهيم , kecuali جالوت وطالوت وهامان ويأجوج ومأجوج وداود
-          isim tasniyah atau fiil yang bertemu dlomir tasniah dimana alif bukan sebagai huruf terakhir: "رجلان"، "يعلمان"،
-          jamak mudzakar atau mu’annats salim  "إلا طاغون"، "روضات" kecuali jika disandingi hamzah atau tasydid"الصائمين والصائمات"، أو تشديد نحو: "الضالين"، و"الصافات"،
-          jamak dengan wazan مفاعل contoh: المسجد مسكن
ya’ dibuang dari
-          isim manqush yang ditanwin ketika rafa’ dan jar, contoh : "باغ ولا عاد"
-          menjadi mudhof ilaih ketika menjadi munada, kecuali: {يَعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا} {يَعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا}
lam dibuang
-          ketika idghom misli. Contoh : اليل، والذي،إلا الله، واللهم
pembuangan yang tidak masuk pada kaedah
-          alif dibuang dari ملك الملك"، "ذرية ضعفا"، "مرغما"، "خداعهم" "أكلون للسحت" "بلغ"، "ليجدلوكم"
-          ya’ dibuang dari إبرهم" في البقرة، و "الداع إذا دعان"، و "من اتبعن"، و"سوف يأت الله"، "وقد هدان"، "ننج المؤمنين"
-          wawu dbuang  dari "ويدع الإنسان" و"يمح الله" في شورى، "يوم يدع الداع"، "سندع الزبانية"

2.      Kaedah ke dua; ziyadah (penambahan)
Alif ditambahkan setelah:
-          wawu dalam isim jama’. Contoh: بنوا إسرائيل"، "ملاقوا ربهم"، "أولوا الألباب"،
-          hamzah yang ditulis dengan wawu. Contoh: "تفتؤا"
-          di dalam lafadz-lafadz مائة ومائتين والظنونا والرسولا والسبيلا، "ولا تقولن لشائ"، و"لا أذبحنه" "ولا أوضعوا" و"لا إلى الله"، و"لا إلى الجحيم"، و"لا تايئسوا إنه لا"، "يايئس" "أفلم يايئس"
-          diantara ya’ dan jim, "جاي" في الزمر والفجر
ya’ di tambahkan dalam: "نبائ المرسلين" و"ملإيه" "ملإيهم"
wawu ditambahkan dalam "أولوا" "dan cabang-cabangnya ، و"سأوريكم".
ð  Berkata al-Kirmani dalam kitab al-‘Ajaib; sebelum adanya khat arabiy bentuk harakat fathah berupa alif, dhommah berupa wawu, dan kasroh berupa ya’, sehingga "إيتائي ذي القربى" لا أوضعوا""أولئك"

3.      Kaedah ke tiga; hamzah
Penulisan huruf hamzah yang disukun disesuaikan harokat huruf sebelumnya; jika fathah dengan alif, jika dhomah dengan wawu dan jika kasroh maka dengan ya’, baik di awal, di tengah maupun di akhir: : إئذن، وأؤتمن، والبأساء واقرأ وجئناك وهيئ والمؤتون و تسؤهم
ketika berharokat; jika berada di awal atau bertemu dengan huruf tambahan, maka ditulis dengan alif secara mutlaq, contoh: "أيوب" "إذ" "أولوا"،  kecuali: : "أئنكم لتشهدون"، "أئنكم لتأتون" في النمل والعنكبوت "أئنا لتاركوا" "أئن لنا" في الشعراء "أئذا متنا" "أئن ذكرتم" "أئفكا" "أئمة" "لئلا لئن"، "يومئذ"، "حينئذ"yang ditulis dengan ya',  kecuali "قل أؤنبئكم" و "هؤلاء"  yang ditulis menggunakan wawu.
Jika berada di tengah maka ditulis dengan huruf harokatnya (fathah-alif, dhomah-wawu, kasroh-ya’). Contoh : سأل، سئل نقرؤه، . kecuali و"لأملئن"، "وامتلئت"، و"اشمئزت"،
Jika huruf sebelumnya berharokat fathah, kasroh mka ditulis dengn hurufnya (yang sesuai) "الخاطئة" "فؤادك"، "سنقرئك" 
Jika sebelumnya berharokat sukun maka dibuang huruf-huruf itu يسئل"، "لا تجئروا" "إلا النشأة" "وموئلا
Jika huruf sebeumnya itu alif yang berharokat fathah, maka sebagaimana terdahulu  yakni dibuang karena berkumpulnya hamzah dengan alif, أبناءنا, tapi jika didhomah atau dikasrah maka tidak dibuang: "آباؤكم"، "آبائهم"، "إلا"
Jika jatuh setelah huruf yang sejenis maka dibuang, contoh: "شنئان""مستهزءون"
Jika hamzah berada di akhir kata maka ditulis sesuai dengan huruf harokat huruf sebelumnya, contoh: سبأ، شاطئ، لؤلؤ. Kecuali di beberapa lafadh: تفتؤا، يتفيؤا، أتوكؤا، لا تظمؤا، ما يعبؤا، يبدؤا، ينشؤا، يذرؤا، نبؤا، قال الملؤا
Jika huruf sebelumnya itu disukun, maka huruf harokatnya dibuang., contoh: ملء الأرض" دفء، شيء، الخبء، ماء kecuali: "لتنوأ" "و أن تبؤأ"، و"السوآى

4.      Kaedah ke 4, Badal: penggantian
Alif ditulis dengan wawu untuk faedah tafkhim: الصلوة، والزكوة، والحيوة، ktika tidak mudhof
Alif sebagai pengganti ya’ ditulis dengan ya’, contoh: : "يتوفيكم" sebagaimana juga lafadh-lafadh: إلى، وعلى، وأنى بمعنى كيف، ومتى، وبلى، وحتى
Jika wawu berada di akhir kata tiga huruf maka diganti alif: الصفا، وشفا، وعفا kecuali ضحى dan وسجى
Nun taukid khofifah diganti alif: لنسفعا ويكونا
Ha’ ta’nis ditulis dengan ha’ (ta’ marbuthoh) kcuali:
-          رحمت di surah baqarah, a’raf, hud, maryam, rum dan zukhruf,
-          نعمت di surah  al-baqarah, ali imran, al-maidah, ibrahim, nahl, luqman, fathir dan at-Thur
-          سنت di surah al-anfal, fathir

5.      Kaedah ke 5; washl dan fahsl
Dalam kaedah ini dirumuskan penulisan lafad-lafadh yang disampung atau dipisah dengan lafadz lain seperti ألا  atau أن لا , مما  atau من ما, عما atau عن ما , إما  atau إن ما  dan lain-lain.

6.      Kaedah ke 6: terkait lafadh-lafadh yang mengandung dua bacaan (qiraah) dan ditulis salah satu dari qiraah tersebut. Seperti dalam lafadh ملك يوم الدين"، yang mana mimnya ملك ada yang membaca panjang dan ada yang membaca pendek, maka dalam penulisannya ditulis pendek.

Etika Penulisan
Disunnahkan menulis al-Qur’an denga tulisan yang bagus, jelas, dan tidak mempersulit.
-          Orang pertama yang menulis al-Qur’an dengan syakal adalah Abu al-Aswad ad-Duali atas perintah khalifah Malik bin Marwan, ada yang mengatakan hasan al-Basri, ada juga yang mengatakan Nasr bin Ashim al-Laitsi
-          Orang pertama yang meletakkan hamzah, tasydid, rum, dan isymam adalah al-Khalil
Disunnahkan mencium mushaf. Karena Ikrimah bin Abu Jahal RA melakukan ha itu, karena al-Qur’an adalah hidayah Allah. Maka disyariatkan menciumnya sebagaimana disunnahkan mencium anak kecil.
Disunnahkan memberi wangian pada mushaf
Diperbolehkan menghasinya dengan perak untuk memulyakan, menurut qaul yang shahih
Haram menyentuh mushahf saat berhadats baik kecila atau besar.

Al-Itqan fi Ulumil Qur’an,juz 4



0 METODE PENTARJIHAN HADITS DITINJAU DARI SEGI SANAD DAN MATAN (RESUME JURNAL)



Oleh: Zainul Arifin (Penulis Jurnal)

                                                     
Urgensi Studi Hadits

Al-Qur’an sebagai wahyu yang qadim dan menjangkau seluruh masa kehidupan manusia. Kendati demikian, al-Qur’an hanya membicarakan hal yang general, dengan kata lain yang tidak dijelaskan secara rinci. Untuk mengatasi hal ini, Nabi Muhammad SAW. mempunyai tugas untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang global maknanya dan tidak membumi bahasanya,.di dalam al-Qur’an disebutkan:
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasulnya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” (QS. Ali Imran: 32).

Ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa, orang-orang yang tidak mengikuti perintah Allah (melalui al-Quran) dan rasul-Nya (melalui Sunnah Rasulullah), termasuk orang ingkar. Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa, sumber ajaran Islam ada dua: yaitu al-Qur’an dan hadits.
Hadits yang sampai kepada kita sampai sekarang ini dulunya terdapat dua pendapat di seputar masalah penulisannya, yang satu sama lain tampak saling bertentangan. Versi pertama memerintahkan penulisan hadits dan versi kedua melarangnya. Yang pertama para sahabat tertentu, telah menulis hadits pada masa Nabi Muhammad SAW. bahkan dalam kesempatan tertentu, Nabi Muhammad SAW. mendektekannya kepada mereka. Saat itu, dikenal beberapa sahabat yang mempunyai sahifah atau koleksi hadits secara tertulis. Yang ke dua di antara hadits yang menunjukkan adanya larangan menulis hadits. Namun keduanya dapat dikompromikan.
Memang, secara lahiriah kelihatannya saling bertentangan. Untuk memahami kedua hadits itu, pertama, karena pada waktu itu a1-Qur’an dalam proses penulisan, bagi sahabat yang tidak khawatir mencampurbaurkan antara al-Qur’an dengan hadits. Dipersilahkan menulis hadits, namun bagi yang ragu hendaklah menghapus catatannya yang selain al-Qur’an. Kedua, hadits tentang larangan dan perintah menulis hadits, berbeda waktu disabdakannya dan berbeda pula sahabat yang dihadapi Nabi Muhammad SAW. Hadits tentang larangan menulis hadits muncul terlebih dahulu atautahun-tahun awal hijriah.
Kemudian tentang pemalsuan Hadits, pada masa Nabi Muhammad, belum terjadi pemalsuan hadits. Berdasarkan bukti-bukti yang dapat dipercaya, dapat dipahami bahwa pemalsuan hadits mulai terjadi pada masa Ali ibn Abi Talib. Hadits palsu yang muncul pada masa itu, didorong oleh faktor politik. Tujuan pemalsu hadits bermacam-macam motif dan motivasinya. Ada yang bersifat duniawi dan ada pula yang bersifat ukhrawi. Jelasnya, faktor yang mendorong mereka memalsukan hadits adalah untuk membela kepentingan tertentu; membela kepentingan politik, membela aliran teologi, membela mazhab fikih, memikat hati orung yang mendengar kisahnya, untuk menjadi orang lain lebih zahid, mendorong orang lain lebih rajin melakukan ibadah tentang dan untuk merusak Islam.

Takhrij al-Hadits
Takhrij adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber aslinya, dimana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya kemudian menjelaskan dengan derajatnya jika diperlukan. Takhrij hadits adalah sebagai langkah awal dalam penelitian hadits. cara yang dapat ditempuh dalam melakukan takhrij al-Hadits, ada lima yaitu: a) al-takhrij bi mathla’i al-Hadits (berdasarkan awal hadits); b) altakhrij bi alfazi a-Hadits (berdasarkan lafaz hadits); c) al-takhrij bi wasitah al-rawi a’la (berdasarkan perawi tertinggi dalam hal ini sahabat); d) altakhrij binaan ‘ala' maudlru'i al-Hadits (berdasarkan topik hadits); dan e) al-takhrij 'ala sifati Zahirah fi al-Hadits (berdasarkan satatus hadits).
Metode takhrij yang paling praktis saat ini adalah al-takhrij bi alfaz alhadits dengan menggunakan komputer melalui program Kutub al-Tis'ah atau Maktabah al-shamilah atau program aplikasi software lainnya.
Adapaun langkah-langkah yang ditempu  dalam Studi Sanad Hadits meliputi:
1.      Melakukan al-I'tibar: Yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadits dimaksud. kegunaan al-i'tibar adalah untuk mengetahui sanad hadits seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi' atau shahid.
2.      Pembuatan Skema Sanad; Dalam pembuatan skema sanad ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yakni (a) jalur seluruh sanad; (b) nama-nama periwayat untuk seluruh sanad; (c) metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
3.      Meneliti Pribadi Periwayat dan Metode Periwayatannya: Unsur-unsur kaidah ke-sahih-an hadits adalah sebagai berikut: (a). Sanad hadits yang bersangkutan harus bersamabung mulai dari mukharrij-nya sampai kepada Nabi. (b). Seluruh periwayat dalam hadits itu harus bersifat adil dan dabit. (c). Sanad dan matan hadits, terhindar dari kejanggalan (shudhudh) dan cacat (‘illah). Adapun mneliti periwayat berati meneliti kdua kpribadinnya yang meliputi keadilan dan ke-dabit-annya. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedang ke-dabit-annya berhubungan dengan kapasitas intelektual.
4.      Meneliti Matan Hadits :
-        jika terdapat perbedaan lafal pada berbagai matan yang semakna, maka menggunakan metode muqaranah. Metode muqaranah tidak hanya ditujukan kepada lafal-lafal matan saja, tetapi juga kepada masing-masing sanadnya. Dengan menempuh metode muqaranah, maka akan dapat diketahui apakah terjadinya perbedaan lafar pada matan masih dapat ditoleransi atau tidak dapat ditoleransi.
-       Menentukan ada tidaknya. ziyadah pada matan ialah tambahan lafal ataupun kalimat yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedang periwayat tertentu lainnya tidak mengemukakannya.
-       Pembahasan selanjutnya berkenaan dengan idraj., idraj berarti memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadits yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal Nabi karena tidak adanya penjelasan dalam matan hadits itu. Dilihat dari pengerian istilahnya tersebut, idraj dan ziyadah memiliki kemiripan, yakni tambahan yang terdapat pada riwayat matan hadits. Bedanya, idraj berasal dari diri periwayat, sedang ziyadah (yang memenuhi syarat) merupakan bagian tak terpisahkan dan matan hadits Nabi. Hadits yang mengandung idraj disebut dengan hadits mudraj, sedangkan hadits yang mengandung ziyadah, disebut sebagai hadits mazid. Selain terdapat pada matan, idraj dan ziyadah juga terdapat pada sanad.
5.      Meneliti Kandungan Matan Hadits: Setelah susunan lafal diteliti, maka langkah berikutnya adalah studi kandungan matan. Dalam studi terhadap kandungan matan, perlu diperhatikan matan-matan dan dalil-daill lain yang memiliki topik masalah yang sama. untuk mengetahui ada atau tidak adanya matan lain yang memiliki topik masalah yang sama, perlu dilakukan takhrij al-hadits bi al maudu. Apabila ada matan lain yang bertopik sama, maka matan itu perlu diteliti sanadnya. Apabila sanadnya memenuhi syarat. Maka kegiatan Muqaranah kandungan rnatan-matan tersebut dilakukan.

Dalam prakteknya, studi matan memang tidak mudah, faktor-faktor yang menonjol sebagai penyebab sulitnya penelitian matan ialah: (a) Adanya periwayatan secara makna; (b) Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja; (c) Latar belakang timbulnya petunjuk hadits tidak selalu mudah dapat diketahui; (d) Adanya kandungan petunjuk hadits yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi “supra rasional”; dan (e) Masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadits. Karena studi matan hadits tidak mudah, maka ulama mengemukakan syaratsyarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang peneliti matan hadits.
Sebagian ulama mengatakan bahwa seseorang barulah dapat melakukan penelitian yang dapat membedakan antara hadits yang tergolong palsu dan yang tidak apabila orang tersebut (1) memiliki keahlian di bidang hadits; (2) memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ajaran Islam; (3) telah melakukan kegiatan mutala'ah yang cukup; (4) memiliki akal yang cerdas sehingga mampu memahami pengetahuan secara benar dan (5) memiliki tradisi keilmuan yang tinggi.
Adapun masalah yang sering dihadapi dalam kegiatan kritik matan adalah: (1) masalah metodologis dalam penerapaa tolok ukur kaidah kritik matan terhadap matan yang sedang diteliti. (2) Sering pula peneliti menghadapi matan-matan hadits yang ditelitinya nampak bertentangan. Dalam hal ini harus diteliti ulang dengan lebih cermat semua sanad hadits yang bersangkutan.


Kualitas Hadits dan Kehujjahanya
Para ahli hadits sangat hati-hati dalam menerima suatu hadits kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam, menerima hadits. Yang diperlukan dalam menerima hadits adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi atau keterangan. Oleh karena itu, dalam menerima hadits sebagai hujjah harus dilihat dari berbagai sisi yang meliputinya.
Adapun hadits-hadits tersebut memiliki standar kehujjahan yang tidak sama. Untuk hadits yang berkaitan dengan Aqidah ulama' berbeda pendapat tentang kehujjahan hadits ahad. Sebagian Ulama' menyatakan, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah karena hadits ahad berstatus zanni al-wurud. Alasanya, yang zanni tidak dapat dijadikan dalil untuk yang berkaitan dengan keyakinan. Soal keyakinan harus berdasaarkan dalil untuk yang qat 'i, baik wurud (thubut) maupun dalalahnya. Adapun yang berkaitan dengan non-aqidah, hadits sahih disepakati oleh para ulama sebagai hujjah. Untuk hadits hasan ulama berbeda pendapat sebagian pendapat menerima dan sebagian lain menolak. Yahya bin Ma’in (w. 233 H) dan al-Bukhari (w. 256 H) dapat digolongkan sebagai ulama' yang menolak kehujjahan hadits hasan. Kalau untuk Hadits hasan dapat dinyatakan bahwa pada umumnya ulama masih menerimanya sebagai hujjah, maka untuk hadits da’if sebagai tingkat terakhir dari tiga kualitas hadits, pada umumnya ulama menolaknya sebagai hujjah.
Dari uraian di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa studi matan hadits merupakan bagian yang sangat penting dan integral dalam proses studi hadits, baik studi matan hadits di tinjau dari sanad hadits dengan langkahlangkah prosedural untuk mengkritisi sanad dan studi matan hadits ditinjau dari susunan lafaz matan hadits dengan memperhatikan susunan bahasa teks matan hadits dengan formulasi riwayah bi al-lafzi, dan riwayah bi al-ma’na dan studi matan hadits ditinjau dari kandungan rnatan hadits dengan memperhatikan bahwa tidak berlaku keharusan bahwa sanad yang sahih pasti diikuti ke-sahih-an matannya. Dengan demikian semua yang berkaitan dengan kedudukan hadits sangat perlu untuk diteliti kembali. Guna menambah keyakinan dalam mengamalkan hadits-hadits tersebut sebagai hujjah.