TAKHRIJ
HADITS
” الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ”.....
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang
berpenduduk muslim besar diantara negara-negara di dunia ini. Namun masalah
yang muncul, banyak kita temui beberapa tindakan orang-orang Islam yang tidak
mencerminkan pribadi Muslim yang baik, sehingga menghantarkan pada klaim bahwa
Islam itu kejam, Islam itu teroris, Islam itu bengis dan yang lainnya. Dalam
makalah ini akan dibahas takhrij hadits yang berisi tentang bagaimana
Nabi memberikan gambaran bagaimana menjadi pribadi muslim yang baik dengan
batasan yang simpel namun syarat akan kelas makna yang tinggi. Adapun matan
hadits tersebut adalah:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ
لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ.
Namun tittik tekan dalam makalah ini
adalah, pemakalah mencoba mengurai dari sisi takhrij Hadits yang pemakalah
lakukan berdasarkan teori yang kita peroleh selama ini. Seperti yang didefinis
Muhammad Abduh al-Mahdi sebagaimana dikutip Muhamad Nurudin bahwa yang dimaksud
takhrijul hadits menurut ahli hadits ada
tata cara seseorang menyebutkan dalam
kitab tentang suatu hadits dengan sanadnya sendiri sementara itu Mahmud
a-Thahan memberikan definisi yang lebih, yakni takhrij diartikan sebagai
penunjukan tempat hadits pada sumber aslinya, dimana hadits tersebut diriwayatkan
lengkap dengan sanad-sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya manakala
diperlukan.[1]
B. Sanad
Dari hasil penelusuran pemakalah, ada beberapa jalur sanad yang
ditemukan baik dari Imam al-Bukhori, Imam Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Imam
Ahmad dan Ibn Hibban.
1.
Riwayat Bukhori
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي
خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَاعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ
مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ[2]
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ
عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ[3]
2.
Riwayat Muslim
حَدَّثَنَا
حَسَنٌ الْحُلْوَانِيُّ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَاصِمٍ قَالَ
عَبْدٌ أَنْبَأَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا
الزُّبَيْرِ يَقُولُ سَمِعْتُ جَابِرًا يَقُولُا سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ[4]
3.
Riwayat Tirmidzi
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ
عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ[5]
4.
Riwayat an-Nasa’i
أَخْبَرَنَا
عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَعِيلَ عَنْ عَامِرٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ مَنْ
سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا
نَهَى اللَّهُ عَنْهُ[6]
5.
Riwayat Imam Ahmad
حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَامِرٌ قَالَ جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى
اللَّهُ عَنْهُ[7]
6.
Riwayat Ibnu Hibban
أخبرنا عبد الله بن قحطبة بفم الصلح ، حدثنا
محمد بن الصباح ، حدثنا عبيدة بن حميد ، عن بيان بن بشر ، عن عامر ، عن عبد الله
بن عمرو ، عن النبي صلى الله عليه وسلم ، قال : « المسلم من سلم المسلمون من لسانه
ويده ، والمهاجر من هاجر ما نهى الله عنه »[8]
C. I’tibar
Secara bahasa, i’tibar berarti peninjauan terhadap berbagai
hal dengan maksud untuk dikethui sesuatunya yang sejenis. Sedangkan menurut
istilah ilmu hadits sebagaimana yang dimaksud disini adalah i’tibar
berarti menyertakan sanad-sanad yang
untuk suatu hadits tertentu agar dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain
ataukah tidak untuk bagian sanad dari
sanad hadits yang dimaksud.[9]
Berikut
adalah gambar skema i’tibar yang dilakukan pemakalah:
Dari skema di atas dapat kita lihat bahwa hadits tentang pribadi muslim yang baik (الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ) memiliki
syahid[10]
bagi Abdullah bin ‘Amr yaitu Abu Hurairah dan Jabir, yang mana Abdullah
bin ‘Amr masuk pada riwayat Imam
al-Bukhori, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban. Sedangkan Abu Hurairah dalam
riwayat at-tirmidzi dan Sahabt Jabir masuk pad riwayat Muslim. Adapun ketika melihat riwat Bukhori kita juga
akan menemukan mutabi[11]’
bagi Amir yaitu asy-Syi’bi.
D. Kritik Sanad dan Matn
1.
Sanad
Dalam melakukan kritik sanad, pemakalah menempuh langkah-langkah
sebagai berikut:
- Pertama,mencatat semua periwayat dalam sanad yang diteliti. Adapun yang
pemakalah maksud adalah riwayat al-bukhori yang melalui jalur sanad Abdullah
bin Amr yang dilanjutkan kepada Amir, yaitu sebagai berikut:
a.
Abdullah bin ‘Amr
Nama
lengkapnya yakni Abdullah bin Amr bin Ash bin Wali bin Hasyim al-Qurasi. Beliau
termasuk sahabat thabaqah pertama.
Guru-gurunya
: Nabi Saw., Suraqah bin Malik,
Abdurrahman bin Auf, Amru bin Ash
Murid-muridnya
antara lain: Thalaq bin Ubaid, Ashim bin Sufyan, Amir bin Syarakhil, Abbas bin Jalid, Abdullah bin Babah.
Beberapa
pendapat ulama :
·
Ahmad
bin Hanbal mengatakan Beliau wafat pada ليا لي الحرة yaitu pada tahun 63 bulan dzulhijjah
·
Al-Lais
mengatakan wafatnya Beliau tahun 68 H
·
Ibnu
Hajar mengatakan penuturan al-Askari
bahwa Beliau hidup hampir 100 tahun itu tidak benar.[12]
b.
Amir
Namanya
adalah Amir bin Syarakhil, beliau termasuk thabaqat ke-3 tabi’in pertengahan.
Beliau wafat setelah 100 H.
Guru-gurunya
antara lain: Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Amr bin Ash,
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Muti’ bin Aswad.
Murid-muridnya
antara lain: Rabi’ah bin Yazid, Zubaid al-Yami, Zakaria bin Abi Zaidah,
As-Sara bin Ismail
Pendapat
ulama :
· Makhul : ما رايت افقه منه
· Abu Mujaliz : ما رايت فيهم افقه منه
c.
Zakaria
Namanya
Zakaria bin Abi Zaidah. Beliau termasuk thabaqah ke-6 dari orang-orang yang
semasa dengan tabi’in senior. Wafat tahun 147/148/149 H.
Guru-gurunya
antara lain: Amr Ash Syi’bi, Al-Abbas bin Dzuraikh, Abdurrahman Ibnu
al-Ashbihani, Atiyah al-‘Aufi, Abdul Malik bin Umair.
Murid-muridnya
antara lain: Ali bin Yazid as-Shadai, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim,
Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Fadl.
Pendapat
ulama :
·
Al-
Mizi : ليس به بأس
·
Ibnu
Hibban : memasukkanya dalam kitabت التّقا
·
Abu
Bakr al-Bazar : ثقة
d.
Abu Nu’aim
Namanya
adalah Al-Fadl bin Dakin. Beliau lahir tahun 130 H, termasuk thabaqah ke-9 dari
Atbaut Tabi’in senior. Wafat pada tahun 218 H / 219 H di Kuffah.
Guru-gurunya
antara lain : Zafar bin al-Hudail, Zakaria bin Abi Zaidah, Zamah bin
Sholeh, Abi Khoisyamah Zuhair bin Mu’awiyah, Ziad bin Lahiq
Murid-muridnya
antara lain: Imam al-Bukhari, Ibrahim bin Isyhaq, Al-Harbi, Ibrahim bin
al-Khusain, Ahmad bin Ishaq, Ahmad bin al- Hasan, Ahmad bin Khalid.
Pendapat
ulama :
· Ibnu Hajar : ثقه ثبت
e.
Imam Bukhari
Nama
lengkapnya yakni Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Mughirah bin
Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi. Beliau wafat pada tahun 256 H.
Guru-Gurunya
antara lain: al-Fadl bin Dakin, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Khalid
al-Wahabi, Abu Tsabit, Muhammad bin Kasir, Qutaibah bin Sa’id, Abdullah bin
Yusuf at-Tunisi
Murid-muridnya
antara lain: at-Tirmidzi, Ja’far bin Muhammad Al-Qattan, Muhammad bin Ziyad,
Abu Bakar Abdullah bin Dawud, Ghafir bin Jarir.
Pendapat
ulama :
·
Ibnu
Hajar : إمام الدنيا فى فقه الحديث
·
Muhammad
bin Yusuf: Beliau berkata kepadaku, “Saya tidak menuliskan satu Hadits di dalam
Shahih Bukhari, kecuali saya mandi sebelum itu dan shalat dua rokaat”.
·
Ja’far
bin Muhammad al-Qattan berkata aku mendengar Muhammad bin Ismail berkata : “Aku
telah menulis hadis dari 1000 guru lebih tak ada hadis yang kupunyai kecuali
aku juga menyebutkan sanadnya”[16].
-
Ke
dua, meneliti kata-kata (istilah/lambang
periwayatan) yang menghubungkan antara para periwayat yang terdekat dalam
sanad, yakni apakah berupa haddatsani, haddatsana, akhbarana, ‘an, anna atau
kata-kata lainnya.[17]
Adapun
kata-kata yang muncul dari Imam al-Bukhari untuk Abu Nu’aim adalah haddatsana,Abu
Nu’aim untuk Zakaria sama haddatsana, juga zakaria untuk Amir berkata haddatsana,
sedangkang Amir utuk Abdullah bin ‘Amr berkata sami’tu, dan Abdullah bin
‘Amr untuk Rasulullah berkata qaala.
Secara ringkas, hasil kritik sanad pemakalah dapat dilihat pada
tabel berikut:
No.
|
Nama
|
Th. Wafat
|
Tingkatan
|
Status
|
Lmbang Riwayat
|
1
|
Abdullah bin
‘Amr
|
63/68 H
|
Sahabat
|
Sahabat
|
قَالَ
|
2
|
Amir
|
100 H
|
Tabiin
|
Tsiqah
|
سَمِعْتُ
|
3
|
Zakaria
|
147/148/149 H
|
Tabiin
|
Tsiqah
|
عَنْ
|
4
|
Abu Nu’aim
|
218/219 H
|
Tabi’
Tabiin
|
Tsiqah
|
حَدَّثَنَا
|
5
|
Imam Bukhari
|
256 H
|
Aakhidz
T.T.
|
Mukhorrij
|
حَدَّثَنَا
|
Melihat rangkaian sanad hadis ini yang diriwayatkan Imam Bukhari
melalui jalur Abu Nu’aim ini, kita dapat melihat beberapa varian dalam takhamul
wal ada’ dari masing-masing perowi. Imam Bukhari menggunakan shigat حدّثنا
kepada Abu Nu’aim begitu juga Abu Nu’aim kepada Zakaria. Lalu Zakaria kepada
Amir menggunakan shigat عن, Amir kepada Abdullah bin Amr menggunakan
shigat سمعت, dan Abdullah bin Amr kepada Rasulullah
menggunakan shigat قال. Secara umum lambang-lambang tersebut masuk
dalam kategori sama’ yang merupakan tingkatan pertama dalam tahammul
wal ada’[18].
Hanya saja ada satu yang diperselisihkan para ulama, yakni ‘an.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hadits yang mengandung
harf ‘an adalah sanad yang
terputus. Namun mayoritas ulama menilainya masuk pada al-sama’ dengan
syarat tidak ada penyembunyian informasi (tadlis), dimungkinkan ada
pertemuan antara guru dan murid, periwayat harus terpercaya, demikian tambahan
malik bin Anas, Ibnu Abd. Al-Barr dan al-Iraqi[19].
Setelah melihat keadaan Zakaria yang tidak melakukan tadlis, kemudian melihat
tahun wafat beliau dengan guru dan juga domisili mereka yang sama-sama di
Kuffah, kemungkinan besar kduanya bertemu. Dan yang terakhir melihat pendapat
para Ulama yang menyatakan bahwa Zakaria adalah orang yang terpercaya. Maka
pemakalah menyimpulkan bahwa meskipun redaksi yang digunakan Zakaria adalah ‘an,
tapi masuk pada penilaian sama’ yang otomatis ittishal antara beliau
dengan sang guru.
Kemudian apabila dilihat dari tahun wafat masing-masing para perowi
yang ada, di mungkinkan semasa, dan dilihat dari tempat wafatnya para perowi
dapat bertemu dengan gurunya. Hal ini sesuai dengan syarat keshahihan hadis
(isnad) yang ditetapkan Imam Bukhari yaitu disamping satu masa harus bertemu
antara guru dan murid.
Akhirnya, berdasarkan data-data yang kami peroleh di atas,
pemakalah menyimpulkan bahwa sanad hadits الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ yang diriwayatkan Imam al-Bukhori dengan
jalur Abdullah bin ‘Amr yang diteruskan ‘Amir adalah Shohih Sanadnya.
2. Matan
Setelah
pemakalah dapati kesimpulan bahwa sanad hadits الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ berkwalitas shohih, maka pemakalah lanjutkan pada kriktik matan. Adapun
langkah-langkah yang pemakalah lakukan adalah:
a.
Meneliti susunan matan.
Riwayat Bukhori
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Riwayat Muslim
الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Riwayat Tirmidzi
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
Riwayat an-Nasa’i
الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ
مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Riwayat Imam Ahmad
الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ
مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Riwayat Ibnu Hibban
« المسلم من سلم
المسلمون من لسانه ويده ، والمهاجر من هاجر ما نهى الله عنه »
Dari kelima perowi masing-masing dari tiga
perowi yakni imam al-Bukhori, an-Nasa’i, Imam Ahmad dan Ibnu Hibban matan yang
diriwayatkan sama tidak ada. Namun untuk Imam Muslim berhenti pada وَيَدِهِ. Sedangkan at-Tirmidzi kelanjutan stelah الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
bukanlah وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى
اللَّهُ عَنْهُ akan tetapi وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى
دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ.
Sehingga dari ketiga redaksi, pemakalah
tidak menemukan pertentangan secara sighnifikan. Hanya saja perbedaan yang ada
mempunyai arah yang berbeda, yakni penjelasan وَالْمُهَاجِرُ dan وَالْمُؤْمِنُ . Namun kesemuanya
mempunyai kesamaan titik pada batasan/pengertian المسلم.
b. Menghadapkan matan hadits kepada kriteria
keshahihan matan
Para ulama ahli hadits dalam menentukan
kesahihan matan mempunyai kriterian yaang berbeda-beda. Ada yang banyak syarat,
ada yang sedikit juga ada yang sedang (dalam pandangan pemakalah). Dalam
makalah ini pemakalah mengambil kriteria Shalah ad-Dhin al-Idlibi, yakni :
2. Tidak bertentangan dengan Sunnah yang
tetap, juga tidak bertentangan dengan sirah nabawiyyah yang telah diakui
ummat
3. Tidak bertentangan dengan akal, bukti
empirik dan kenyataan sejarah.[20]
Setelah menelaah hadits tersebut dan/dengan
menelaah kitab syarah hadits yang menjelaskan
hadits tersebut di atas pemakalah dapat menyimpulkan bahwa hadits
tersebut shohih matannya, dengan alasan:
1. Adanya hadits-hadits pendukung dengan hadits di atas, yakni tentang
bagaimana pentingnya dan besarnya faedah menjaga lisan dari seorang muslim yang
juga diriwayatkan Imam al-bukhori dari Abu Hurairah.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا
أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ[21]
2. Al-Qur’an juga menegaskan bagaimana kita menjaga perasaan sesama muslim
melalui ayat
Dalam penafsirannnya, Fakhruddi ar_Razi menjelaskan bahwa
meninggalkan jawaban (tak menjawab)
salam atau penghormatan merupakan suatu hinaan, sedangkan penghinaan itu adalah
menyakitkan dan yang menyakiti itu haram.[23]
Hal ini senada dengan bagaimana seorang muslim tidak boleh menyakiti orang
muslim lain baik dengan tangan atau lesannya, sebagaimana hadits ini.
3.
Secara
umum hal-hal yang merugikan itu tidak dibenarkan dalam agama termasuk menyakiti
orang lain. Islam adalah agama yang damai menjunjung tinggi kedamaian dan
kerukunan, tentu larangan menyakiti orang lain dapt diterima siapa saja secara
logika. Sebagaimana logika yang dibangun ar-Razi di atas. Dan dalam kenyataan
hidup berdampingan sesama anggota masyarakat yang bernegara, kita diatur agar
tidak menganiaya orang lain, maka muncullah hukum yang mengancam tindak
kekearasan, penganiayaan dan yang lainnya yang menyakiti dan merugikan orang
lain.
E.
Penjelasan Makna
Dalam kitab Fath
al-Baari, Ibn Hajar menjelaskan bahwa al yang terdapat dalam lafad al
muslimu berfaedah lil kamaal (Kesempurnaan). Sehingga makna yang
diperoleh adalah orang islam yang sempurna. Kemudian al-Khatthabi menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan al-muslimu dalam hadits ini adalah orang
islam yang utama, yaitu orang islam yang menggabungkan hak-hak Allah dan
hak-hak muslim lainnya. Hadits ini mengandung makna bahwa
1.
Tanda seorang muslim yang baik yang
utama yaitu selamatnya orang-orang islam lain dari ‘kenakalan’ perkataan dan
perbuatannya yang menyakitinya.
2.
Hadits ini mendorong ummt islam
agar memperbaiki diri dihadapan Tuhan dengan memperbaiki pergaulannya dengan
sesama manusia untuk berusaha tidak menyakiti orang lain.[24]
F.
Penutup
Demikian makalah dari kami. Segala kekurangan
dan kesalahan mohon maaf dan mohon kritik untuk menuju yang lebih baik.
Terimakasih atas segala perhatia, semoga bermanfaat, aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdur Rahman
Ahamd bin Syu’aib al-Nas’i, Sunan an-Nasa’i, dalam Maktabah Syamilah.
Abu Abdillah
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih, Bukhari, Jilid 1, Kaero: Darul
Hadits, 2004.
____________, Shahih
Bukhari, dalam Mkatabh syamilah.
Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, dalam Maktabah Syamilah
Al-Qur’an
al-Karim.
Fakhruddin ar-Razi,
Mafatih al-Ghaib:Tafsir ar-Razi, dalam Maktabah Syamilah.
Ibnu Hajar
al-Asqalani ,Tahdzib at-Tahdzib Fi Rijalil Hadis juz 3, Beirut : Daarul
Qutb al-Ilmi, 2004.
____________, Tahdzib
at-Tahdzib, dalam Maktabah Syamilah.
____________, Syarah
Fathul Bari, dalam Maktabah Syamilah.
Muhammad ibn
Hibban ibn Ahmad Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, dalam Maktabah Syamilah.
Muhammad Ibn
Surah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, dalam Maktabah Syamilah.
Muhamad
Nurudin, Pengantar Ulumul Hadits (Kajian Filisifis), tt., tt.,
Muslim bin
al-Hajjaj, Shohih Muslim, dalam Maktabah Syamilah.
Umma Farida, Naqd
Al-Hadits, Kudus: STAIN Kudus, cet. 1, 2009.
[1] Muhamad
Nurudin, Pengantar Ulumul Hadits (Kajian Filisifis), tt., tt., hlm. 162
[2] Abu Abdillah
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih, Bukhari, Jilid 1, Kaero: Darul
Hadits, 2004, hlm. 11
[3] Abu Abdillah
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih, Bukhari, Jilid 2, hlm. 128 dalam
Mkatabh syamilah
[4] Muslim bin
al-Hajjaj, Shohih Muslim, juz 1, hlm. 149 dalam Maktabah Syamilah
[5]Muhammad Ibn
Surah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz 9, hlm. 215 dalam Maktabah
Syamilah
[6] Abdur Rahman
Ahamd bin Syu’aib al-Nas’i, Sunan an-Nasa’i, juz 15, hlm. 148 dalam
Maktabah Syamilah
[7] Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, juz 13, hlm. 266 dalam Maktabah
Syamilah
[8] Muhammad ibn
Hibban ibn Ahmad Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, juz 1, hlm. 451 dalam
Maktabah Syamilah
[9] Umma Farida, Naqd
Al-Hadits, Kudus: STAIN Kudus, cet. 1, 2009, hlm.99.
[10] Syahid adalah
periwayat yang bersetatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat
Nabi, lihat ibid, hlm. 100
[11] Mutabi’ adalah
periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi,
lihat ibid.
[12] Ibnu Hajar al-Asqalani ,Tahdzib at-Tahdzib
Fi Rijalil Hadis juz 3, Beirut : Daarul Qutb al-Ilmi, 2004, hal 587
[13] Ibid.,
hal 339-341
[14] Ibnu Hajar
al-Asqalani Tahdzib at-Tahdzib, juz 3, hlm 330 dalam Maktabah Syamilah
[15] Ibid., juz 8, hal 275
[16] Ibid., juz 9, hal 52
[17] Umma Farida, Op.Cit.
, hlm. 108
[18] Ibid., hlm.
44-45
[19] Ibid., hlm
57-58
[20] Ibid., hlm.
187
[21] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Syarah Fathul Bari, juz. 17, hlm. 161 dalam Maktabah
Syamilah
[22] Al-Qur’an
al-Karim Surah An-Nisa’ ayat 86
[23] Fakhruddin
ar-Razi, Mafatih al-Ghaib:Tafsir ar-Razi, juz 5 hlm. 314 dalam maktabah
syamilah
[24]
Ibnu Hajar
al-Asqalani, Op.Cit., juz. 1, hlm. 53.
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?