HAKIKAT PENGENDALIAN DIRI PERSPEKTIF TAFSIR AR-RAZI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan manusia di dunia ini bukan tanpa
tugas dan amanah yang dijalankan. Semua kenikmatan dan fasilitas hidup baik
yang sifatnya materi maupun non materi, jasmani ataupun rohani, adalah sarana
yang diberikan Tuhan agar manusia mengabdikan diri kepada Allah SWT sebagai
Dzat yang Mencipta dan yang berkuasa. Akan tetapi di dalam keharusan manusia
untuk tunduk dan patuh ini, Allah juga mempersiapkan tantangan, hambatan dan
godaan agar manusia melawan, memberantas dan menundukkan musuhnya hingga ia
sampai pada tujuan hidupnya yaitu mengabdi kepada Sang Kholiq Allah SWT. Dalam
Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
z`Îiã
Ĩ$¨Z=Ï9
=ãm
ÏNºuqyg¤±9$#
ÆÏB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
tûüÏZt6ø9$#ur
ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur
ÍotsÜZs)ßJø9$#
ÆÏB
É=yd©%!$#
ÏpÒÏÿø9$#ur
È@øyø9$#ur
ÏptB§q|¡ßJø9$#
ÉO»yè÷RF{$#ur
Ï^öysø9$#ur
3
Ï9ºs
፯tFtB
Ío4quysø9$#
$u÷R9$#
(
ª!$#ur
¼çnyYÏã
ÚÆó¡ãm
É>$t«yJø9$#
ÇÊÍÈ
Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali Imran:
14)
Beberapa kecenderungan yang ada dalam diri manusia tersebut dalam
ayat di atas yaitu kesenangan terhadap lawan jenis (wanita), anak-anak, harta
kekayaan baik berupa perhiasan, hewan hewan tunggangan dan ladang yang memang
keberadaannya adalah perhiasan hidup di dunia. Sebagian manusia mengelu-elukan
dan mengagungkan hal-hal tersebut dan para pemiliknya. Namun hal itu hanya
keindahan semu, sebatas kesenangan dunia. Yang paling baik di sisi Allah adalah
yang bernilai ibadah yang akan dibawa mati untuk menghadapNya kembali.
Seiring perkembangan zaman dan laju pesatnya kecanggihan teknologi,
manusia seakan diperbudak nafsu yang telah menguasainya. Kemudahan demi
kemudahan yang ditawarkan tak jarang membuat manusia lupa akan jati diri mereka
sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan dengan akal dan hatinya dan bisa saja
melebihi malaikat, namun sering terjatuh pada lembah kehinaan yang rendah bakan
bisa lebih rendah derajatnya dari hewan. Korupsi, asusila, pembunuhan,
kekerasan, pencurian, permusuhan adalah bagian dari kasus-besar yang sering melintas
di indera kita baik secara langsung kita saksikan atau kita peroleh dari
informasi media. Hal ini menunjukkan ketidakselarasan hidup yang perlu dibenahi
dan diwaspadai bersama.
Setan
sebenarnya tidak mempunyai kemampuan untuk menyesatkan manusia, kecuali kalau
manusia membantunya dengan membuka sisi kebinatangannya. Karena itulah setan
pernah berjanji di hadapan Allah, bahwa ia akan menyesatkan semua manusia kecuali
hamba-hamba Allah yang ikhlas[1].
Hal ini menginformasikan kepada kita bahwa sebenarnya yang bisa disesatkan oleh
setan adalah hamba-hamba Allah yang membuka sisi kebinatangannya, tidak mereka
yang menutup rapat sisi kebinatangannya. Al-Ghazali menyebut sisi ini sebagai pintu
gerbang setan atau madakhilus syaithan[2].
Oleh karenanya ada dua hal yang harus dilakukan manusia agar ia dapat mengendalikan
dirinya dalam rangka memenangkan per-tempuran agung itu, yaitu shalat dan
sabar. Minta tolonglah kamu (dalam jihad akbar ini) dengan melakukan shalat dan
sabar yang tak mudah dan berat tuk dijalankan kecuali bagi orang-orang yang
khusyuk.[3]
Pengendalian diri berarti kesanggupan untuk menahan, mengekang,
atau menguasai tindakan, perkataan, pikiran, dan diri sendiri[4]. Adalah hal penting yang harus dilakukan manusia sebagai makhluq yang
bertanggung jawab atas semua perbuatannya di hadapan Sang Penciptanya. Apa lagi
dalam al-Qur’an, manusia tidak hanya bertugas menyelamatkan dirinya sendiri,
namun juga keluarganya dari siksa api neraka sebagai akibat bagaimana ia hidup
di dunia ini. Sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah SWT al-Qur’an surat
at-Tahrim ayat enam.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqè%
ö/ä3|¡àÿRr&
ö/ä3Î=÷dr&ur
#Y$tR
$ydßqè%ur
â¨$¨Z9$#
äou$yfÏtø:$#ur
$pkön=tæ
îps3Í´¯»n=tB
ÔâxÏî
×#yÏ©
w
tbqÝÁ÷èt
©!$#
!$tB
öNèdttBr&
tbqè=yèøÿtur
$tB
tbrâsD÷sã
ÇÏÈ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim : 6).
Kemudian, pemahaman yang efektif terhadap firman Tuhan tidaklah
mudah. Sehingga kita perlu merujuk kepada pendapat para Mufassir dalam
menjelaskan maksud dari firman Tuhan. Dalam hal ini sosok Fahruddin ar-Razi
adalah yang peneliti pilih. Fakruddin al-Razi yang
nama lengkapnya yaitu Muhammad bin ‘Umar bin Husain bin Hasan bin ‘Ali,
al-Tamimy, al-Bakry, al-Thabariy al-Razy adalah salah seorang ulama’ yang
terkenal pada abad ke-6 H dari kalangan Sunni. Ia dikenal sebagai ulama’
yang banyak melontarkan ide-ide yang dikembangkan oleh Imam Ash’ary dan
berpegang pada mahdzab Imam asy-Syafi’i. Dia terkenal di masanya dan bahkan
sampai sekarang, dan juga selalu disebut-sebut namanya baik dikalangan
mutakallim (Ahli ilmu kalam) dan ahli lughah apalagi dikalangan ahli tafsir.[5]
Kecerdasan beliau dalam hal filsafat tidak diragukan
lagi oleh para Ulama’, hal itu bias dilihat dalam isi tafsir ar Razi sendiri
yang isinya banyak menjelaskan al Qur’an dengan kajian ilmu logika. Di dalamnya
beliau meramu berbagai disiplin ilmu seperti
kedokteran, mantiq, filasafat dan hikmah, tanpa mengenyampinglkan makna inti
al-Qur’an dan spirit ayat-ayatnya, dengan menggeret teks-teks
al-Qur’an jika muncul masalah logika dan istilah-istilah ilmiah.
Disamping itu beliau
juga membuat karya tersendiri khusus pembahasan filsafat yakni dengan adanya
kitab Syarah al Isyarat, Lubab al Isyarat, dan Al Mulkhis fi al
filsafat. Sehingga
bagi peneliti, memilih tafsir ar-Razi cocok dengan pemikiran mahasiswa dalam
belajar menganalisis masalah untuk kemudian memberikan solusi khususnya
menggali arti pengendalian diri untuk kemudian dapat diaplikasikan dalam
menghadapi hidup ini.
Inilah yang menarik sehingga menggerakkan hati
penulis untuk membuat
penelitian dengan tujuan
untuk mengetahui lebih mendalam tentang arti pengendalian diri perspektif
Tafsir Ar-Razi yang berjudul “HAKIKAT PENGENDALIAN DIRI PERSPEKTIF
TAFSIR AR-RAZI”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakng di atas, masalah pokok
yang akan diteliti penulis yaitu:
1. Bagaiamana pandangan Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib tentang
hakikat pengendalian diri ?
2. Bagaimana cara mengendalikan diri menurut Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul
Ghaib ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaiamana pandangan Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul
Ghaib tentang hakikat pengendalian diri
2. Untuk mengetahui bagaimana cara mengendalikan diri menurut Ar-Razi dalam
Tafsir Mafatihul Ghaib
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
a. Pada penelitian ini diharapkan dapat memperkaya nuansa keimuan dalam
kajian tafsir dan memberikan pemahaman arti dan makna kandungan al-Qur’an, khususnya
jurusan Ushuluddin STAIN Kudus
b. Dapat memberikan kontribusi dalam bidang keilmuan tentang tafsir,
khususnya yang berkaitan dengan pemahaman arti pengendalian diri
c. Untuk dijadikan sebagai dasar pijakan dalam dataran aplikatif pada
kehidupan sekarang khususnya bagi ummat Islam, agar dapat dijadikan pijakan
dalam menjalani kehidupan bermasyarakat atau kehidupan sehari-hari.
2. Secara praktis
a. Untuk menambah pengetahuan tentang pengendalian diri yang ada dalam
dalam ilmu tafsir
b. Agar dapat dikonsumsi peneliti yang akan datang dalam kajian ilmu
tafsir, terutama yang berhubungan dengan Tafsir Ar-Razi tentang pengendalian
diri
c. Sebagai kontribusi untuk peneliti khususnya, dan umumnya untuk
masyarakat tentang pengendalian diri disertai penerapan dalam konteks peningkatan
kualitas tafsir sehingga dapat dijadikan suatu acuan dari berbagai
sumber-sumber hukum.
E. Tinjauan Pustaka
Selama peneliti menelususri atau membaca literature ada beberapa tulisan
yang membahas tentang pengendalian diri, peneliti temukan :
Pertama, Yusuf Eko Pambudi, program studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2012, dengan Sekripsinya yang berjudul PENGARUH
PENGENALAN DIRI, PENGENDALIAN DIRI, MOTIVASI, EMPATI DAN KETERAMPILAN SOSIAL
TERHADAP PERTIMBANGAN PENENTUAN RISIKO AUDIT (Studi Kasus Pada Mahasiswa
Program Pendidikan Profesi Akuntan di Daerah Istimewa Yogyakarta). Berdasarkan
hasil penelitiannya (taraf signifikansi 5% dan t tabel 1,99) diketahui (1) Ada pengaruh positif dan
signifikan Pengenalan Diri terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit dengan
R 0,565; R 2 0,319 dan t hitung sebesar 5,644 (2) Pengendalian Diri terhadap
Pertimbangan Penentuan Risiko Audit dengan R 0,518; R 2 0,269 dan t hitung sebesar 4,996 (3) Ada pengaruh positif dan
signifikan Motivasi terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit dengan R
0,268; R 2 0,072 dan t hitung sebesar
2,291 (4) Ada pengaruh positif dan signifikan Empati terhadap Pertimbangan
Penentuan Risiko Audit dengan R 0,398; R 2
0,158 dan t hitung sebesar 3,576
(5) Ada pengaruh positif dan signifikan Keterampilan Sosial terhadap
Pertimbangan Penentuan Risiko Audit dengan nilai R 0,329; R 2 0,108 dan t hitung sebesar 2,871 (6) Ada pengaruh positif dan
signifikan Pengenalan Diri, Pengendalian Diri, Motivasi, Empati, dan
Keterampilan Sosial terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit R 0,644; R
2 0,414 dan F hitung sebesar 9,051 lebih besar dari t tabel 2,36 dengan taraf signifikansi 5%.
Ke dua, Aditya Anggraeni Evytasari, Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur tahun 2010, dengan skripsinya yang berjudul PENGARUH
PENGENDALIAN DIRI, MOTIVASI DAN MINAT BELAJAR TERHADAP TINGKAT PEMAHAMAN AKUNTANSI
(Studi Kasus Pada Mahasiswa Akuntansi UPN “Veteran” Jawa Timur). Berdasarkan
hasil analisis dan pembahasan penelitiannya ini dapat disimpulkan bahwa
pengendalian diri, motivasi tidak mempunyai pengaruh signifikan dan minat
belajar mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat pemahaman akuntansi pada
mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Maka kiranya bagi peneliti, arti pengendalian diri bagi peneliti menjadi
penting untuk kembali dibahas dengan sudut pandang Tafsir.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
Arti Pengendalian Diri
Pengendalian diri atau kontrol diri (self
control) dalam kamus psikologi, sebagaimana dikutip Luluk Ernawati
mempunyai definisi sebagai kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya
sendiri dan kemampuan untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada.
Sementara Goldfried dan Merbaum, mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu
kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku
yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif sebagaimana yang dijelaskan
Luluk berikutnya[6].
Kemudian dijelaskan Luluk
juga, Zakiyah Darajat berpandangan bahwa orang yang sehat mentalnya akan dapat
menunda buat sementara pemuasan kebutuhannya itu atau ia dapat mengendalikan
diri dari keinginan-keinginan yang bisa menyebabkan hal-hal yang merugikan.
Dalam pengertian yang umum pengendalian diri lebih menekankan pada pilihan
tindakan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih luas, tidak
melakukan perbuatan yang akan merugikan dirinya di masa kini maupun masa yang
akan datang dengan cara menunda kepuasan sesaat. Disamping itu kontrol diri
memiliki makna sebagai suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi
diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola
faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri
dalam melakukan sosialisasi.[7]
B. Jenis-Jenis
Kontrol Diri
Luluk Ernawati membagi Kontrol diri yang
digunakan seseorang dalam menghadapi situasi tertentu, meliputi :
1.
Behavioral control, kemampuan untuk mempengaruhi
atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan dengan mencegah atau
menjauhi situasi tersebut, memilih waktu yang tepat untuk memberikan reaksi
atau membatasi intensitas munculnya situasi tersebut.
2.
Cognitive control, kemampuan individu dalam
mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai
dan menggabungkan suatu kejadian dalam sutu kerangka kognitif sebagai adaptasi
psikologis atau untuk mengurangi tekanan.
3.
Decision control, kemampuan seseorang untuk
memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya
dengan memilih berbagai kemungkinan (alternative) tindakan.
4.
Informational control, kemampuan seseorang dalam
memprediksi dan mempersiapkan yang akan terjadi dan mengurangi ketakutan
seseorang dalam menghadapi sesuatu yang tidak diketahui, sehingga dapat
mengurangi stress.
5.
Retrospective control, kemampuan individu untuk memodifikasi
pengalaman stress dalam usahanya mengurangi kecemasan.[8]
C.
Pengendalian Diri dalam Islam
Manusia mempunyai dua dimensi kepribadian. Pertama,
yang disebut dengan al-bu’d al-malakuti atau dimensi kemalaikatan yang
berasal dari alam malakut. Ada satu bagian dalam diri kita yang membawa kita ke
arah kesucian, yang mendekatkan diri kita kepada Allah. Dimensi ini mendorong
kita untuk berbuat baik yang ada dalam diri manusia. Dimensi kedua, adalah
dimensi kebinatangan atau al-bu’d al-bahimi. Dimensi inilah yang
mendorong manusia untuk berbuat buruk, membuat hati kita keras ketika melihat
penderitaan orang lain, dan menimbulkan rasa iri kepada orang lain yang lebih
beruntung. Dimensi ini juga menggerak-kan kita untuk marah dan dendam kepada
sesama manusia. Inilah sisi buruk dalam diri manusia.[9]
Jika dimensi kemalaikatan membawa manusia dekat
kepada Allah, dimensi kebinatangan membawa manusia dekat dengan setan. Setan
sebenarnya tidak mempunyai kemampuan untuk menyesatkan manusia, kecuali kalau
manusia membantunya dengan membuka sisi kebinatangannya. Karena itulah setan
pernah berjanji di hadapan Allah, Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan
mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas. (QS. Shad 82-83). Sebenarnya
yang bisa disesatkan oleh setan adalah hamba-hamba Allah yang membuka sisi
kebinatangannya. Al-Ghazali menyebut sisi ini sebagai pintu gerbang setan atau
madakhilus syaithan.[10]
Bila orang sering membuka pintu gerbang kebinatangannya,
setan dapat masuk melakukan provokasi di dalamnya. Oleh karena itu, bagian
kebinatangan yang ada dalam diri manusia sering disebut dengan pasukan setan.
Melalui pasukan setan inilah setan dapat mengarahkan manusia untuk berbuat
buruk. Dua dimensi ini, malakuti dan bahimi, terus menerus bertempur dalam satu
peperangan abadi yang dalam Islam disebut dengan al-jihad al-akbar,
peperangan yang besar. Jihad yang agung itu adalah peperangan melawan bagian
dari diri manusia yang ingin membawa kita jauh dari Allah. Tugas kita adalah
memperkuat al-bu’du al-malakuti itu, supaya kita memenangkan pertempuran
agung.[11]
Ada dua hal yang harus dilakukan manusia agar ia
dapat memenangkan per-tempuran agung itu, yaitu shalat dan sabar.
(#qãZÏètFó$#ur
Îö9¢Á9$$Î/
Ío4qn=¢Á9$#ur
4
$pk¨XÎ)ur
îouÎ7s3s9
wÎ)
n?tã
tûüÏèϱ»sø:$#
ÇÍÎÈ
Minta
tolonglah kamu (dalam jihad akbar ini) dengan melakukan shalat dan sabar,
sesungguhnya itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (QS Al-Baqarah
45).
Kenapa harus sholat dan sabar, karena sholat
sendiri mempunyai fungsi dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (Q.S.
Al-Ankabut ayat 45). Sedangkan esensi sabar adalah menggerakkan segala kekuatan
kepada sesuatu yang bermanfaat baik pada diri sendiri ataupun orang lain, dan
menahan diri dari segala yang merugikan dan membahayakan diri sendiri atau
orang lain[12].
Manfaat dan madlorot dalam hal ini tentunya berparameter keimanan. Karena
menolong pencuri pun bias saja menuai manfaat. Bias jadi dengan menolong
pencuri ia akan mendapat bagian dari hasil pencurian, namun tidak akan bias
lepas dari ancaman dan siksaan Allah besok di akhirat yang tentu saja
membahayakan dan merugikan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Tipe Penelitian
Jenis
penelitian yang peneliti lakuan ini adalah penelitian kepustakaan (library
research) yaitu penelitian yang sumber datanya dikumpulkan dari bahan-bahan
pustaka, bisa berupa buku, surat kabar, dokumen-dokumen lain yang berkaitan
dengan obyek atau sasaran penelitian.[1]
Sehingga sumber
data primer yang peneliti gunakan adalah kitab Tafsir Mafatih al-Ghaaib karya beliau Fakhruddīn Ar-Rāzi yang juga di dukung dengan data-data sekunder yang peneliti
dapatkan dari beberapa literature terkait di perpustakaan juga dalam website.
B.
Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode dokumentasi,
yaitu teknik pengumpulan data yang melibatkan sumber data-data dokumen, baik
dari dokumen pribadi maupun dokumen resmi, termasuk semua sumber tertulis dan
literatusr-literatur lainnya.[2]
C.
Metode Analisis Data
Dalam
menganalisis data yang ada, langkah peneliti adalah sebagai berikut :
1.
Reduksi data yakni merangkum data-data yang ada kemudian data
tersebut dipilih dan diseleksi sesuai dengan focus penelitian, dan dicari
pola-polanya
2.
Klasifikasi data berdasarkan ciri dan kategori yang telah
ditetapkan
3.
Melakukan display data. Menganalisisnya dengan mencakup Verstehen,
interpretasi dan yang lainnya hingga sampai pada penemua jawaban atas
permasalah yang telah peneliti rumuskan.[3]
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
A.
Biografi Ar-Razi
Nama lengkap
Ar-Razi adalah Muhammad bin ‘Umar bin husain bin hasan bin ‘Ali Attaimī
Al-Bakri Al-Rāzi As Syafi’i. Beliau juga punya nama kunyah yang terkenal
yakni Abū ‘Abdillah dan Abū Ma’ali seperti yang disebutkan dalam kitab
balaghoh Uqud al Juman, dan juga Abu al Fadhl dan Ibnu Khotib al
Roy seperti yang disebutkan tokoh ulama’ lain[13]. Akan tetapi dari sekian itu semua nama yang
paling familiar dari beliau dalam literature klasik ialah Fakhruddīn Ar-Rāzi.
Ar Razi yang
memiliki perawakan berbadan
tegak, berjanggut lebat, memiliki suara yang keras dan juga bersikap sopan
santun dilahirkan di Kota Ray, yakni salah satu kota ternama di negara Iran
yakni Negara islam yang kaya akan ilmuwan. sampai sekarang pada tanggal 15
Ramadhan tahun 544 H/1149 M dan beliau wafat pada bulan syawal, 606 H/1209 M.
Sejak kecil
Ar-Rāzi sudah dididik oleh ayahnya sendiri, Syaikh Dhiyauddīn, ulama
terkemuka pada masanya yang berjuluk Khatib Ar-Ray, beliau adalah
seoramg tokoh, ulama dan pemikir yang dikagumi oleh masyarakat Ray[14], disitulah Ar-Rāzi berkembang menjadi manusia
soleh dan pencinta ilmu, setelah beliau menyelesaikan pada ayahnya barulah
beliau melakukan perjalanan keberbagai kota seperti Khurasan dimana disana
banyak ulama besar yang berasal dari negri itu‘Abdullah bin mubārak, Imām Bukhāri,
Imām Tirmiżi dan ulama besar lainnya, Dari khurasan atau lebih dikenal lagi dengan
bukhara, beliau melanjutkan perjalanannya ke
irak, terus ke syam, namun lebih banyak waktunya digunakan di khawarzimi untuk belajar memperbanyak ilmunya, kemudia teakhir beliau berangkat ke negri kota heart di daerah afganistan untuk belajar mengajar[15].
Oleh karena
ketekunan beliau dalam belajar ditambah dengan kecerdasan dan kehebatan beliau
maka beliau ternyata tidak hanya menguasai dan mendalami 1 cabang imu saja,
akan tetapi beliau juga mabahair fi jami’il ulum. Di bawah ini akan kami
sampaikan sedikit catatan beliau dengan ilmu yang dikuasainya
1.
Ar Razi Sang Ahli Fikih
Dalam aliran fiqih beliau bermadzhab dengan
menggunakan Syafi’iyyah sebagai pedomanya, sehingga beliau juga mendapatkan julukan al Imām karena beliau menguasai
ilmu fikih. Adapun karya beliau dalam bidang fiqih ialah Kitab Thoriq al
‘ala iyah (4 jilid) dan Syarah al Wajiz karya Imam Al Ghozali
2.
Ar Razi Sang Ahli Ushul Fikih
Sudah menjadi pembicaraan banyak Ulama’ bahwa Ar
rozi ketika dalam masa rihlah ‘ilmiahnya beliau sudah bias menghafal kitab
Ushul Fikih nya imam Al Ghozali yang berjudul Al Mustashfa, dan juga
kitab Syarah al Mu’tamad karya Abi al Husain al bashri
3.
Ar Razi Sang Ahli Ilmu Kalam
Aliran Sunni Asy’ariyah yang menjadi salah satu
aliran ilmu kalam kaum Nahdliyyin Indonesia merupakan aliran yang diikiuti oleh
Ar Razi dalam bidang ilmu kalam. Sejak muda sudah hafal diluar kepala kitab As
Syamil karya Imam Haramain, oleh karena itu beliau akhirnya juga membuat
karya dalam ilmu kalam ini dengan munculnya kitab Ta’sis at taqdis,dan
juga kitab asrar at tanzil wa anwar at ta’wil
4.
Ar Razi Sang Filosof
Kecerdasan beliau dalam hal filsafat tidak dapat
diragukan lagi oleh para Ulama’, hal itu bias dilihat dalam isi tafsir ar Razi
sendir yang isinya banyak menjelaskan al Qur’an dengan pendekatan filsafat.
Disamping itu beliau juga membuat karya tersendiri khusus pembahasan filsafat
yakni dengan adanya kitab Syarah al Isyarat, Lubab al Isyarat, dan Al
Mulkhis fi al filsafat.
5.
Ar Razi Sang Dokter
Keilmuan kedokteran yang dimiliki Ar Razi rasanya
memang sudah ada pada beliau sejak dulu, akan tetapi beliau baru sangat sibuk
dengan urusan kedokteran ketika setelah beliau selesai bergelut dengan
ilmu-ilmu yang lain, sehingga akhirnya beliau menulis kitab Masa’il At Tib
dan Al Jami’ul Kabir Fi at tib.
6.
Ar Razi Sang Mufassir
Dalam bidang ini, keahlian beliau tidak dapat
dipungkiri lagi karena dalam pembahasan beliau di dalam kitab Tafsirnya yakni Tafsir
Al Kabir sangat mendetail sehingga pembahasanya sampai 12 jilid[16].
B. Penafsiran Ar-Razi terhadap Ayat-ayat Pengendalian Diri
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang membahas
pengendalian diri yang peneliti bahas adalah Q.S. At-Tahrim ayat 6, Al-Baqarah
ayat 45, dan Al-Ankabut ayat 45, berikut akan peniliti paparkan bagaimana
ar-Razi menafsirkan ayat-ayat tersebut.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqè%
ö/ä3|¡àÿRr&
ö/ä3Î=÷dr&ur
#Y$tR
$ydßqè%ur
â¨$¨Z9$#
äou$yfÏtø:$#ur
$pkön=tæ
îps3Í´¯»n=tB
ÔâxÏî
×#yÏ©
w
tbqÝÁ÷èt
©!$#
!$tB
öNèdttBr&
tbqè=yèøÿtur
$tB
tbrâsD÷sã
ÇÏÈ
}قُواْ أَنفُسَكُمْ } أي بالانتهاء عما نهاكم الله تعالى
عنه ، وقال مقاتل : أن يؤدب المسلم نفسه وأهله ، فيأمرهم بالخير وينهاهم عن الشر ،
وقال في «الكشاف» : { قُواْ أَنفُسَكُمْ } بترك المعاصي وفعل الطاعات ، {
وَأَهْلِيكُمْ } بأن تؤاخذوهم بما تؤاخذون به أنفسكم ، وقيل : { قُواْ أَنفُسَكُمْ
} مما تدعو إليه أنفسكم إذ الأنفس تأمرهم بالشر وقرىء : { وأهلوكم } عطفاً على واو
{ قُواْ } وحسن العطف للفاصل ، و { نَارًا } نوعاً من النار لا يتقد إلا بالناس
والحجارة ، وعن ابن عباس هي حجارة الكبريت ، لأنها أشد الأشياء حراً إذا أوقد
عليها ، وقرىء : { وَقُودُهَا } بالضم ، وقوله : { عَلَيْهَا ملائكة } يعني
الزبانية التسعة عشر وأعوانهم { غِلاَظٌ شِدَادٌ } في أجرامهم غلظة وشدة أي جفاء
وقوة ، أو في أفعالهم جفاء وخشونة ، ولا يبعد أن يكونوا بهذه الصفات في خلقهم ، أو
في أفعالهم بأن يكونوا أشداء على أعداء الله ، رحماء على أولياء الله كما قال
تعالى : { أَشِدَّاء عَلَى الكفار رُحَمَاء بَيْنَهُمْ } [ الفتح : 29 ] وقوله
تعالى : { وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ } يدل على اشتدادهم لمكان الأمر ، لا
تأخذهم رأفة في تنفيذ أوامر الله تعالى والانتقام من أعدائه ، وفيه إشارة إلى أن
الملائكة مكلفون في الآخرة بما أمرهم الله تعالى به وبما ينهاهم عنه والعصيان منهم
مخالفة للأمر والنهي .
{Peliharalah
dirimu} dengan berhenti dari sesuatau yang dilarang Allah, Muqotil berkata:”Hendaklah seorang muslim mendidik didirnya
sendiri dan keluarganya dengan memerintahkan kebaikan dan mencegahnya dari
keburukan”. Al-Zamaksyari dalam Al-Kassyaf menafsirkan:” {Peliharalah dirimu}
dengan meninggalkan kemaksiatan dan menjalankan ketaatan, {dan keluargamu}
dengan memperlakukan mereka sebagaimana kau memperlakukan dirimu (memerintahkan
thoat dan mencegah maksiat)”. Ada yang menafsirkan: {Peliharalah dirimu} dari
ajakan nafsu-nafsumu karena nafsu senantiasa mengajak kepada kejelekan”, seraya
membaca {
وأهلوكم } di-athafkan pada wawu { قُواْ } dan baiknya
‘athaf untuk memisah (fashl), dan {api neraka} adalah jenis api yang
tidak dapat menyala kecuali dengan manusia dan bebatuan. Diriwayatkan dari Ibn
Abas, bahwa yang dimaksud adalah batu karbit, karena batu ini adalah jenis batu
yang yangpaling sangat panasnya ketika dinyalakan api. Lafadh { وَقُودُهَا } dibaca dhommah. {Penjaganya
malaikat-malaikat} yaitu malaikat Zabaniyyah yang jenisnya ada 19. {yang kasar,
keras} bentuknya kasar dan keras yakni keras perangainya lagi kuat, atau kasar
dalam bertindak. Tidak jauh berbeda dengan mereka yang sama perangainya dalam
sifat-sifat ini atau dalam tindakan berupa sikapa keras terhadap musuh-musuh
Allah akan tetapi lemah lembut/belas kasih terhadap para kekasih Allah,
sebagaimana firman-Nya
{ أَشِدَّاء عَلَى الكفار رُحَمَاء بَيْنَهُمْ } [ الفتح
: 29 ]
Firman Allah:{dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan}menunjukkan tekanan pada perintah.
Tiada rasa kasihan pada mereka dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan
menyiksa musuh-musuh Allah. Hal ini menunjukkan bahwa para malaikat diberi
tugas (mukallaf) di akhirat sesuai dengan perintah dan larangan Allah
terhadap mereka, dan yang durhaka adalah sebagian dari mereka yang tidak
memenyhi menentang perintah dan larangan.
(#qãZÏètFó$#ur
Îö9¢Á9$$Î/
Ío4qn=¢Á9$#ur
4
$pk¨XÎ)ur
îouÎ7s3s9
wÎ)
n?tã
tûüÏèϱ»sø:$#
ÇÍÎÈ
ذكروا
في الصبر والصلاة وجوهاً ، أحدها : كأنه قيل واستعينوا على ترك ما تحبون من الدنيا
والدخول فيما تستثقله طباعكم من قبول دين محمد صلى الله عليه وسلم بالصبر أي يحبس
النفس عن اللذات ، فإنكم إذا كلفتم أنفسكم ذلك مرنت عليه وخف عليها ثم إذا ضممتم
الصلاة إلى ذلك تم الأمر ، لأن المشتغل بالصلاة لا بد وأن يكون مشتغلاً بذكر الله
عز وجل وذكر جلاله وقهره وذكر رحمته وفضله ، فإذا تذكر رحمته صار مائلاً إلى طاعته
وإذا تذكر عقابه ترك معصيته فيسهل عند ذلك اشتغاله بالطاعة وتركه للمعصية ،
وثانيها : المراد من الصبر ههنا هو الصوم لأن الصائم صابر عن الطعام والشراب ، ومن
حبس نفسه عن قضاء شهوة البطن والفرج زالت عنه كدورات حب الدنيا ، فإذا انضاف إليه
الصلاة استنار القلب بأنوار معرفة الله تعالى وإنما قدم الصوم على الصلاة لأن
تأثير الصوم في إزالة ما لا ينبغي وتأثيره الصلاة في حصول ما ينبغي والنفي مقدم
على الإثبات ، ولأنه عليه الصلاة والسلام قال : « الصوم جنة من النار » . وقال
الله تعالى : { إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر } [ العنكبوت : 45 ] لأن الصلاة
تمنع عن الاشتغال بالدنيا وتخشع القلب ويحصل بسببها تلاوة الكتاب والوقوف على ما
فيه من الوعد والوعيد والمواعظ والآداب الجميلة ، وذكر مصير الخلق إلى دار الثواب
أو دار العقاب رغبة في الآخرة ونفرة عن الدنيا فيهون على الإنسان حينئذ ترك
الرياسة ، ومقطعة عن المخلوقين إلى قبلة خدمة الخالق ونظير هذه الآية قوله تعالى : { يا أيها الذين آمنوا استعينوا بالصبر
والصلاة إن الله مع الصابرين } [ البقرة : 153 ]
قلنا : ليس المراد أن الذي يلحقهم من التعب أكثر مما يلحق الخاشع
وكيف يكون ذلك الخاشع يستعمل عند الصلاة جوارحه وقلبه وسمعه وبصره ، ولا يغفل عن
تدبر ما يأتي به من الذكر والتذلل والخشوع ، وإذ تذكر الوعيد لم يخل من حسرة وغم ،
وإذا ذكر الوعد فكمثل ذلك ، وإذا كان هذا فعل الخاشع فالثقل عليه بفعل الصلاة أعظم
، وإنما المراد بقوله : وإنها ثقيلة على من لم يخشع أنه من حيث لا يعتقد في فعلها
ولا في تركها عقاباً ، فيصعب عليه فعلها . فالحاصل أن الملحد إذا لم يعتقد في فعلها
منفعة ثقل عليه فعلها ، لأن الاشتغال بما لا فائدة فيه يثقل على الطبع ، أما
الموحد فلما اعتقد في فعلها أعظم المنافع وفي تركها أعظم المضار لم يثقل ذلك عليه
لما يعتقد في فعله من الثواب والفوز العظيم بالنعيم المقيم والخلاص من العذاب
الأليم. مثاله إذا قيل للمريض : كل هذا الشيء المر فإن اعتقد أن له فيه شفاء سهل
ذلك عليه ، وإن لم يعتقد ذلك فيه صعب الأمر عليه .
Para ulama menutrkan
beberapa bentuk dalam sabar dan sholat
1.
Seakan dikatakan ;”mintalah pertolongan untuk meninggalkan
kesenangan hidup di dunia dan masuk pada hal yang memberatkanmu berupa menerima
agama Nabi Muhammad SAW dengan sabar, yakni menahan nafsu dari
kesenangan-kesenangan. Karena sesungguhnya
kamu semua membebankan nafsumu maka ia akan menjadi lunak utuk sabar dan
menjadi ringan kemudian ketika kamu telah mengumpulkan sholat dengan sabr maka
menjadi sempurnalah perkara. Karena orang yang sibuk dengan solat
pasti/seharusnya sibuk mengingat Allah, keagunganNya, keperkasaanNya, rohmat dan keutamanNya. Ketika hamba
mengingat rohmat Allah, maka dia menjadi condong untuk mentaatinya, dan ketika
mengingat siksanya maka dia akan meninggalkan kemaksiatan sehingga menjadikan
mudah baginya untuk sibuk dengan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan.
2.
Yang dimaksud dengan sabar di sini adalah puasa. Karena orang yang
puasa adalah orang yang sabar menahan makan dan minum. Barang siapa yang
menahan dirinya dari memenuhi syahwat perut dan farji maka akan hilang
kotoran-kotoran cinta dunia. Ketika puasa digabung dengan sholat maka akan
menjadikan hati bersinar dengan cahaya ma’rifatullah. Mendahulukan puasa
dari sholat beralasan bahwa fungsi puasa dalam menghilangkan hal-hal yang tak
seharusnya ada (keburukan) di dahulukan atas mendatangkan hal-hal yang
seharusnya ada (kebaikan). Oleh karenanya Nabi SAW bersabda :”Puasa adalah
tameng (dari) api neraka”, dan juga Allah berfirman: “Sesungguhnya Sholat dapat
mencegah dari perbuatan keji dan mungkar“. Alasannya, karena sholat dapat
mencegah dari kesibukan dunia, menjadikan hati khusyu’, dapat menghasilkan bacaan
al-Qur’an, menjalankan apa yang menjadi janji dan ancaman, mau’idhoh,
dan akhlaq yang baik, mengingat tempat kembalinya makhluq baik ke syurga atau
neraka, suka akhirat, lari dari dunia, sehingga memudahkan bagi manusia saat
itu untuk meninggalkan kekuasaan, meninggalkan makhluq untuk menghadap mengabdi
pada Sang Kholiq.
Kami katakan: yang dimaksud bukanlah kepayahan yang
ditemui mereka yang lebih banyak daripada yang ditemui orang yang khusyu’.
Karena orang yang khusyu’ ketika menjalankan sholat tidak hanya menggunakan
anggota badannya tatpi juga hati, pendengar dan penglihatannya. Dia tidak
melupakan dari mengangan-angan apa yang menjadi dzikir, tadzallul, khusyu’nya.
Ketika mengingat ancaman dia akan selalu perihatin dan sedih, ketika mengingat
janji juga seperti itu. Jika ini menjadi perilaku orang khusyu’ maka yang lebih
berat adalah yang dilakukan orang yang khusyu’. Adapun beratnya orang yang
tidak khusyu’ adalah dilihat dari segi ketidakadanya i’tikad dalam menjalankan
dan tidak takut adanya siksa saat meninggalkannya. Sehingga menjadi sulit
menjalankannya. Walhasil, para penentang dan pembangkang ketika tidak adanya
keyakinan manfaat dalam menjalankannya maka
ia akan merasakan berat. Karena sibuk dengan hal-hal yang tak berfaidah tentunya
akan memberatkan. Adapun bagi orang-orang yang beriman, ketika dirinya yakin
bahwa akan ada manfaat yang besar ketika menjalankan solat berupa pahala dan
keberuntungan besar serta selamat dari api neraka yang menyakitkan dan akan
menemui kerugian dan madhorot ketika meninggalkannya, maka tidak akan
menjadikan berat baginya . seperti orang sakit yang ingin sembuh, ia akan
dengan ringan hati untuk minum obat meskipun pahit.
cÎ)
no4qn=¢Á9$#
4sS÷Zs?
ÇÆtã
Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìs3ZßJø9$#ur
3
فنقول : المراد أن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر مطلقاً وعلى هذا
قال بعض المفسرين الصلاة هي التي تكون مع الحضور وهي تنهى ، حتى نقل عنه صلى الله
عليه وسلم « من لم تنهه صلاته عن المعاصي لم يزدد بها إلا بعداً » ونحن نقول
الصلاة الصحيحة شرعاً تنهى عن الأمرين مطلقاً وهي التي أتى بها المكلف لله حتى لو
قصد بها الرياء لا تصح صلاته شرعاً وتجب عليه الإعادة ، وهذا ظاهر فإن من نوى
بوضوئه الصلاة والتبرد قيل لا يصح فكيف من نوى بصلاته الله وغيره إذا ثبت هذا
فنقول الصلاة تنهى من وجوه الأول : هو أن من كان يخدم ملكاً عظيم الشأن كثير
الإحسان ويكون عنده بمنزلة ، ويرى عبداً من عباده قد طرده طرداً لا يتصور قبوله ،
وفاته الخبر بحيث لا يرجى حصوله ، يستحيل من ذلك المقرب عرفاً أن يترك خدمة الملك
ويدخل في طاعة ذلك المطرود فكذلك العبد إذا صلى لله صار عبداً له ، وحصل له منزلة
المصلي يناجي ربه ، فيستحيل منه أن يترك عبادة الله ويدخل تحت طاعة الشيطان
المطرود ، لكن مرتكب الفحشاء والمنكر تحت طاعة الشيطان فالصلاة تنهى عن الفحشاء
والمنكر الثاني
هو أن من يباشر القاذورات كالزبال والكناس يكون له لباس نظيف إذا
لبسه لا يباشر معه القاذورات وكلما كان ثوبه أرفع يكون امتناعه وهو لابسه عن
القاذورات أكثر فإذا لبس واحد منهم ثوب ديباج مذهب يستحيل منه مباشرة تلك الأشياء
عرفاً ، فكذلك العبد إذا صلى لبس لباس التقوى لأنه واقف بين يدي الله واضع يمينه
على شماله؛ على هيئة من يقف بمرأى ملك ذي هيبة ، ولباس التقوى خير لباس يكون نسبته
إلى القلب أعلى من نسبة الديباج المذهب إلى الجسم ، فإذن من لبس هذا اللباس يستحيل
منه مباشرة قاذورات الفحشاء والمنكر ثم إن الصلوات متكررة واحدة بعد واحدة فيدوم
هذا اللبس فيدوم الامتناع.
Orang yang bersinggungaan dengan hal-hal keji sebagaimana kotoran
binatang, dan tukang sapu mempunyai pakaian yang bersih yang ketika dipakainya
tidak mengenai kotoran tersebut. Apabila pakaiannya lebih tinggi maka bisa
mencegah kotoran lebih banyak. Apabila diantara mereka ada yang memakai pakaian
sutra madzhab maka orang itu tidak akan terkena sesuatu. Begitu juga dengan
hamba ketika solat maka dia memakai pakaian taqwa. Karena ia berdiri di hadapan
Allah seraya bersikap layaknya di hadapan raja yang berwibawa. Pakaian taqwa
adalah pakaian terbaik untuk hati yang mana ia bagaikan pakaian sutra untuk
badan. Jadi, barang siapa yang memakai pakaian ini tidak akan terkena kotoran
kekejian dan kemungkaran. Kemudian solat yang diulang-ulang dengan kontiniu
maka akan senantiasa terjaga selalu.
C. Analisis Data
1.
At-Tahrim ayat
6
Dalam ayat ini
ar-Razi memberkan penjelasan tentang makna penjagaan yang diperintahkan Allah
kepada manusia. Yang pertama,yaitu menjaga berarti mendidik diri sendiri
dan keluarga dari hal-hal yang dilarang Allah dengan memerintahkan kepada
kebaikan (ketaatan) dan mencegah dari kejelekan (kemaksiatan). Yang kedua, melawan
nafsu, karena kecenderungan nafsu yang senantiasa memerintahkan pada kejelekan
yang disebut dengan menuruti hawa nafasu. Mengendalikan diri berarti melawan
nafsu dan senantiasa mengarahkan diri pada hal-hal yang bertolak dengan nafsu
(jelek).
Apabila jiwa
ini tak selamat dan terjerumus pada lembah kemungkaran maka sebagai akibatnya
adalah neraka yang menyakitkan. Bahan bakar neraka adalah manusia dan batu
(karbit). Bisa dibayangkan betapa pedihnya tatkala api menemui bahan bakrnya,
tentu akan membara dalam panas siksanya. Di dalamya ada malaikat yang bengis
lagi kasar tak kenal belas kasihan karena tugasnya memang begitu menyiksa
manusia yang durhaka kepada Allah SWT, dan malaikat-malaikat itu akan
senantiasa menjalankan perintahNya untuk menyiksa.
2.
Al-Baqarah ayat
45
Kaitannya dengan pengendalian diri, sesungguhnya manusia tiada daya dan
kekuasaan bahkan atas dirinya sendiri, hingga pada pengendalian diri sekalipun.
Ayat ini memberikan solusi bagaimana agar kita mampu memerangi hasrat buruk
yang timbul baik dari godaan dari dalam diri sendiri atau dari luar, yaitu
dengan meminta tolong kepada Allah seraya sabar dan sholat. Terkait ayat ini,
ar-Rozi dalam penafsirannya menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan
sabar dan sholat.
Pertama,dalam hal
perintah untuk meminta tolong yang dimaksud adalah meminta tolong untuk
meninggalkan kesenangan dunia dan masuk kepada menerima agama Nabi Muhammad
dengan sabar, yaitu menahan nafsu dari kesenangan. Ketika sabar digabung dengan
sholat maka akan menjadi sempurna. Alasan yang mendasar, seorang dikatakan
musholli ketika dalam sholatnya sibuk akan dzikrulloh (mengingat Allah),
keagungan-Nya, keperkasaan-Nya, serta mengingat rahmat dan anugrah-Nya dan
keadaan demikian (dzikrullah) juga melekat saat di luar sholat. Ketika seseorang ingat akan rahmat Allah maka
ia akan semangat mentatatiNya, dan ketika ingat akan siksaan Allah dia akan
takut dan meninggalkan kemaksiatan. Akhirnya mudah baginya untuk sibuk dengan
ketatan dan meninggalkan kemaksiatan. Ketika seorang hamba mencapai hal ini,
seorang hamba akan mudah mengendalikan dirinya. Tidak mudah marah pada hal yang
kurang tepat, karena mudah marah adalah larangan dan dijauhi teman. Apalagi
sampai bertindak korupsi yang jelas-jelas merugikan diri dan orang lain, dan
tindakan buruk dan merugikan lainnya.
Kedua, tentang
sabar, a-Razi menjelaskan bahwa yang dimaksud sabar di sini adalah puasa.
Karena orang yang puasa adalah dia yang sabar menahan makan dan minum. Barang
siapa menahan dirinya dari memenuhi syahwat perut dan farji maka akan hilang
kotoran-kotoran cinta dunia. Dan ketika ditambah dengan sholat maka akan
bersinarlah hati dengan cahaya ma’rifatullah.
3. Al-Ankabut ayat 45
Ayat ke 45 dari surah al-Baqarah di atas dapat diperjelas mengapa untuk
memerangi hawa nafsu dengan sabar dan sholat ? karena dalam ayat ke 45 ini
dijelaskan fungsi sholat yaitu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Ar-Rozi dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan, yang dimaksud sholat dapat
mencegah perbuatan keji dan mungkar adalah sebagaimana beliau mengutip
pendapatnya sebagian mufassirin yang mendahulinya, yaitu sholat yang disertai
kehadiran hati. Bukan hanya solat secara dhohir yang tergambarkan syarat
rukunnya dan gerakan-gerakannya mulai dari takbir sampai dengan salam namun
dalam sholat, seorang musholli juga menghadapkan hatinya bahwa ia sedang
menghadap Allah SWT. Ar-Rozi menegaskan sholat yang sah adalah solat yang murni
karena Allah, jika masih dikotori rasa pamer maka tidaklah sah solat tersebut
dan wajib mengulanginya. Jika wudlu yang diniatkan untuk menjalankan sholat
juga dibarengi dengan mendinginkan badan saja tidak sah mnurut sebagian
pendapat, bagaimana mungkin diterimanya sholat dengan niat selain Allah.
Kemudian beliau memberikan perumpamaan indah dengan sentuhan filsafat
dengan kedalaman makna sebagaimana berikut.
1. Orang yang mengabdi pada raja yang agung,
banyak kebaikannya dan orang tadi sudah mempunyai tempat di samping raja,
sementara orang itu melihat pelayan-pelayan yang lain tertolak pelayananannya
hingga tak tergambarkan terterima pengabdiannya, maka
ia akan tetap dengan pengabdiannya itu, tidak akan pindah pada pengabdia yang
tertolak sebagaimana ia lihat pada pelayan-pelayan selainnya. Begitu juga orang
yang sholat karena Allah ia akan menjadi hamba Allah, dan ia akan mendapatkan
tempat bermunajat kepada Tuhannya, maka ia tidak mungkin akan meninggalkan
peribadatannya dan pindah mentatai setan
yang tersingkirkan. Orang yang terbiasa/banyak melakukan perbuatan keji
dan mungkar adalah dibawah ketaatan pada setan sedangkan sholat mencegah dari
pekerjaan keji dan mungkar
2.
Orang
yang bersinggungaan dengan hal-hal keji adalah seperti kotoran binatang, dan
tukang sapu mempunyai pakaian yang bersih yang ketika dipakainya tidak mengenai
kotoran tersebut. Apabila pakaiannya lebih tinggi maka bisa mencegah kotoran
lebih banyak. Apabila diantara mereka ada yang memakai pakaian sutra madzhab
maka orang itu tidak akan terkena sesuatu. Begitu juga dengan hamba ketika
solat maka dia memakai pakaian taqwa. Karena ia berdiri di hadapan Allah seraya
bersikap layaknya di hadapan raja yang berwibawa. Pakaian taqwa adalah pakaian
terbaik untuk hati yang mana ia bagaikan pakaian sutra untuk badan. Jadi,
barang siapa yang memakai pakaian ini tidak akan terkena kotoran kekejian dan
kemungkaran. Kemudian solat yang diulang-ulang dengan kontiniu maka akan
senantiasa terjaga selalu.
D. Penutup
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf yang sebesar-besarnya
[2]Ensiklopedia
Khazanah Islam Dunia dalam (https://www.facebook.com/
permalink.php?id= 567426959937721&story_fbid=608584192488664) 23 Oktober 2014, 20:45 WIB
[3] Bisa lihat al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 45
[5]
http://alamtarlam.blogspot.com/2013/03/tafsir-mafatih-al-ghaib.html
[6] Luluk Ernawati, Makalah Pengendalian Diri dalam http://pai-bp.blogspot.com/2014/08/pengendalian-diri-self-control.html
(1 November 2014, 10:15)
[7] Luluk Ernawati, Makalah Pengendalian
Diri dalam http://pai-bp.blogspot.com/2014/08/pengendalian-diri-self-control.html
(1 November 2014, 10:15)
[8] Luluk Ernawati, Makalah Pengendalian
Diri dalam http://pai-bp.blogspot.com/2014/08/pengendalian-diri-self-control.html
(1 November 2014, 10:15)
[9] Ensiklopedia
Khazanah Islam Dunia, MELATIH KESABARAN DALAM PENGENDALIAN DIRI MENUJU RIDHO ILLAHI, dalam https://www.facebook.com/permalink.php?id=56742695
9937721&story_fbid=608584192488664 (1 Nvember
2014, 20:34)
[13] Fakhr al rozi, Muhammad.2005. Tafsir al fakhr al razi 1.
Libanon : Dar al Fikr. Hal 5
[15] Sya’bān Muḥammad Isma’īl, Uṡul Al-Fiqh :
Tarīkhuhū wa Rijāluhū, Mekkah : Dār As-Salām, 1998, hlm.238.
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?