Rabu, 04 Maret 2015

0 PENGENDALIAN DIRI


HAKIKAT PENGENDALIAN DIRI PERSPEKTIF TAFSIR AR-RAZI

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Keberadaan manusia di dunia ini bukan tanpa tugas dan amanah yang dijalankan. Semua kenikmatan dan fasilitas hidup baik yang sifatnya materi maupun non materi, jasmani ataupun rohani, adalah sarana yang diberikan Tuhan agar manusia mengabdikan diri kepada Allah SWT sebagai Dzat yang Mencipta dan yang berkuasa. Akan tetapi di dalam keharusan manusia untuk tunduk dan patuh ini, Allah juga mempersiapkan tantangan, hambatan dan godaan agar manusia melawan, memberantas dan menundukkan musuhnya hingga ia sampai pada tujuan hidupnya yaitu mengabdi kepada Sang Kholiq Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ  
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali Imran: 14)

Beberapa kecenderungan yang ada dalam diri manusia tersebut dalam ayat di atas yaitu kesenangan terhadap lawan jenis (wanita), anak-anak, harta kekayaan baik berupa perhiasan, hewan hewan tunggangan dan ladang yang memang keberadaannya adalah perhiasan hidup di dunia. Sebagian manusia mengelu-elukan dan mengagungkan hal-hal tersebut dan para pemiliknya. Namun hal itu hanya keindahan semu, sebatas kesenangan dunia. Yang paling baik di sisi Allah adalah yang bernilai ibadah yang akan dibawa mati untuk menghadapNya kembali.
Seiring perkembangan zaman dan laju pesatnya kecanggihan teknologi, manusia seakan diperbudak nafsu yang telah menguasainya. Kemudahan demi kemudahan yang ditawarkan tak jarang membuat manusia lupa akan jati diri mereka sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan dengan akal dan hatinya dan bisa saja melebihi malaikat, namun sering terjatuh pada lembah kehinaan yang rendah bakan bisa lebih rendah derajatnya dari hewan. Korupsi, asusila, pembunuhan, kekerasan, pencurian, permusuhan adalah bagian dari kasus-besar yang sering melintas di indera kita baik secara langsung kita saksikan atau kita peroleh dari informasi media. Hal ini menunjukkan ketidakselarasan hidup yang perlu dibenahi dan diwaspadai bersama.
Setan sebenarnya tidak mempunyai kemampuan untuk menyesatkan manusia, kecuali kalau manusia membantunya dengan membuka sisi kebinatangannya. Karena itulah setan pernah berjanji di hadapan Allah, bahwa ia akan menyesatkan semua manusia kecuali hamba-hamba Allah yang ikhlas[1]. Hal ini menginformasikan kepada kita bahwa sebenarnya yang bisa disesatkan oleh setan adalah hamba-hamba Allah yang membuka sisi kebinatangannya, tidak mereka yang menutup rapat sisi kebinatangannya. Al-Ghazali menyebut sisi ini sebagai pintu gerbang setan atau madakhilus syaithan[2]. Oleh karenanya ada dua hal yang harus dilakukan manusia agar ia dapat mengendalikan dirinya dalam rangka memenangkan per-tempuran agung itu, yaitu shalat dan sabar. Minta tolonglah kamu (dalam jihad akbar ini) dengan melakukan shalat dan sabar yang tak mudah dan berat tuk dijalankan kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.[3]
Pengendalian diri berarti kesanggupan untuk menahan, mengekang, atau menguasai tindakan, perkataan, pikiran, dan diri sendiri[4]. Adalah hal penting yang harus dilakukan manusia sebagai makhluq yang bertanggung jawab atas semua perbuatannya di hadapan Sang Penciptanya. Apa lagi dalam al-Qur’an, manusia tidak hanya bertugas menyelamatkan dirinya sendiri, namun juga keluarganya dari siksa api neraka sebagai akibat bagaimana ia hidup di dunia ini. Sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah SWT al-Qur’an surat at-Tahrim ayat enam.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim : 6).

Kemudian, pemahaman yang efektif terhadap firman Tuhan tidaklah mudah. Sehingga kita perlu merujuk kepada pendapat para Mufassir dalam menjelaskan maksud dari firman Tuhan. Dalam hal ini sosok Fahruddin ar-Razi adalah yang peneliti pilih. Fakruddin al-Razi yang nama lengkapnya yaitu Muhammad bin ‘Umar bin Husain bin Hasan bin ‘Ali, al-Tamimy, al-Bakry, al-Thabariy al-Razy adalah salah seorang ulama’ yang terkenal pada abad ke-6 H dari kalangan Sunni. Ia dikenal sebagai ulama’ yang banyak melontarkan ide-ide yang dikembangkan oleh Imam Ash’ary dan berpegang pada mahdzab Imam asy-Syafi’i. Dia terkenal di masanya dan bahkan sampai sekarang, dan juga selalu disebut-sebut namanya baik dikalangan mutakallim (Ahli ilmu kalam) dan ahli lughah apalagi dikalangan ahli tafsir.[5]
Kecerdasan beliau dalam hal filsafat tidak diragukan lagi oleh para Ulama’, hal itu bias dilihat dalam isi tafsir ar Razi sendiri yang isinya banyak menjelaskan al Qur’an dengan kajian ilmu logika. Di dalamnya beliau meramu berbagai disiplin ilmu seperti kedokteran, mantiq, filasafat dan hikmah, tanpa mengenyampinglkan makna inti al-Qur’an dan spirit ayat-ayatnya, dengan menggeret  teks-teks al-Qur’an jika muncul masalah logika dan istilah-istilah ilmiah.
Disamping itu beliau juga membuat karya tersendiri khusus pembahasan filsafat yakni dengan adanya kitab Syarah al Isyarat, Lubab al Isyarat, dan Al Mulkhis fi al filsafat. Sehingga bagi peneliti, memilih tafsir ar-Razi cocok dengan pemikiran mahasiswa dalam belajar menganalisis masalah untuk kemudian memberikan solusi khususnya menggali arti pengendalian diri untuk kemudian dapat diaplikasikan dalam menghadapi hidup ini.
Inilah yang menarik sehingga menggerakkan  hati  penulis  untuk  membuat  penelitian  dengan  tujuan  untuk mengetahui lebih mendalam tentang arti pengendalian diri perspektif Tafsir Ar-Razi  yang  berjudul “HAKIKAT PENGENDALIAN DIRI PERSPEKTIF TAFSIR AR-RAZI”.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakng di atas, masalah pokok yang akan diteliti penulis yaitu:
1.    Bagaiamana pandangan Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib tentang hakikat pengendalian diri ?
2.    Bagaimana cara mengendalikan diri menurut Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib ?

C.  Tujuan Penelitian
1.    Untuk mengetahui bagaiamana pandangan Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib tentang hakikat pengendalian diri
2.    Untuk mengetahui bagaimana cara mengendalikan diri menurut Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib

D.  Manfaat Penelitian
1.    Secara teoritis
a.       Pada penelitian ini diharapkan dapat memperkaya nuansa keimuan dalam kajian tafsir dan memberikan pemahaman arti dan makna kandungan al-Qur’an, khususnya jurusan Ushuluddin STAIN Kudus
b.      Dapat memberikan kontribusi dalam bidang keilmuan tentang tafsir, khususnya yang berkaitan dengan pemahaman arti pengendalian diri
c.       Untuk dijadikan sebagai dasar pijakan dalam dataran aplikatif pada kehidupan sekarang khususnya bagi ummat Islam, agar dapat dijadikan pijakan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat atau kehidupan sehari-hari.
2.      Secara praktis
a.       Untuk menambah pengetahuan tentang pengendalian diri yang ada dalam dalam ilmu tafsir
b.      Agar dapat dikonsumsi peneliti yang akan datang dalam kajian ilmu tafsir, terutama yang berhubungan dengan Tafsir Ar-Razi tentang pengendalian diri
c.       Sebagai kontribusi untuk peneliti khususnya, dan umumnya untuk masyarakat tentang pengendalian diri disertai penerapan dalam konteks peningkatan kualitas tafsir sehingga dapat dijadikan suatu acuan dari berbagai sumber-sumber hukum.

E.  Tinjauan Pustaka
Selama peneliti menelususri atau membaca literature ada beberapa tulisan yang membahas tentang pengendalian diri, peneliti temukan :
Pertama, Yusuf Eko Pambudi, program studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2012, dengan Sekripsinya yang berjudul PENGARUH PENGENALAN DIRI, PENGENDALIAN DIRI, MOTIVASI, EMPATI DAN KETERAMPILAN SOSIAL TERHADAP PERTIMBANGAN PENENTUAN RISIKO AUDIT (Studi Kasus Pada Mahasiswa Program Pendidikan Profesi Akuntan di Daerah Istimewa Yogyakarta). Berdasarkan hasil penelitiannya (taraf signifikansi 5% dan t tabel  1,99) diketahui (1) Ada pengaruh positif dan signifikan Pengenalan Diri terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit dengan R 0,565; R 2  0,319 dan t hitung  sebesar 5,644 (2) Pengendalian Diri terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit dengan R 0,518; R 2  0,269 dan t hitung  sebesar 4,996 (3) Ada pengaruh positif dan signifikan Motivasi terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit dengan R 0,268; R 2 0,072 dan t hitung  sebesar 2,291 (4) Ada pengaruh positif dan signifikan Empati terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit dengan R 0,398; R 2  0,158 dan t hitung  sebesar 3,576 (5) Ada pengaruh positif dan signifikan Keterampilan Sosial terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit dengan nilai R 0,329; R 2  0,108 dan t hitung  sebesar 2,871 (6) Ada pengaruh positif dan signifikan Pengenalan Diri, Pengendalian Diri, Motivasi, Empati, dan Keterampilan Sosial terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit R 0,644; R 2  0,414 dan F hitung  sebesar 9,051 lebih besar dari t tabel  2,36 dengan taraf signifikansi 5%.
Ke dua, Aditya Anggraeni Evytasari, Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur tahun 2010, dengan skripsinya yang berjudul PENGARUH PENGENDALIAN DIRI, MOTIVASI DAN MINAT BELAJAR TERHADAP TINGKAT PEMAHAMAN AKUNTANSI (Studi Kasus Pada Mahasiswa Akuntansi UPN “Veteran” Jawa Timur). Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitiannya ini dapat disimpulkan bahwa pengendalian diri, motivasi tidak mempunyai pengaruh signifikan dan minat belajar mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat pemahaman akuntansi pada mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Maka kiranya bagi peneliti, arti pengendalian diri bagi peneliti menjadi penting untuk kembali dibahas dengan sudut pandang Tafsir.


BAB II
LANDASAN TEORI

A.  Arti Pengendalian Diri
Pengendalian diri atau kontrol diri (self control) dalam kamus psikologi, sebagaimana dikutip Luluk Ernawati mempunyai definisi sebagai kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada. Sementara Goldfried dan Merbaum, mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif sebagaimana yang dijelaskan Luluk berikutnya[6].
Kemudian dijelaskan Luluk juga, Zakiyah Darajat berpandangan bahwa orang yang sehat mentalnya akan dapat menunda buat sementara pemuasan kebutuhannya itu atau ia dapat mengendalikan diri dari keinginan-keinginan yang bisa menyebabkan hal-hal yang merugikan. Dalam pengertian yang umum pengendalian diri lebih menekankan pada pilihan tindakan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih luas, tidak melakukan perbuatan yang akan merugikan dirinya di masa kini maupun masa yang akan datang dengan cara menunda kepuasan sesaat. Disamping itu kontrol diri memiliki makna sebagai suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi.[7]

B.  Jenis-Jenis Kontrol Diri
Luluk Ernawati membagi Kontrol diri yang digunakan seseorang dalam menghadapi situasi tertentu, meliputi :
1.    Behavioral control, kemampuan untuk mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan dengan mencegah atau menjauhi situasi tersebut, memilih waktu yang tepat untuk memberikan reaksi atau membatasi intensitas munculnya situasi tersebut.
2.    Cognitive control, kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai dan menggabungkan suatu kejadian dalam sutu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan.
3.    Decision control, kemampuan seseorang untuk memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya dengan memilih berbagai kemungkinan (alternative) tindakan.
4.    Informational control, kemampuan seseorang dalam memprediksi dan mempersiapkan yang akan terjadi dan mengurangi ketakutan seseorang dalam menghadapi sesuatu yang tidak diketahui, sehingga dapat mengurangi stress.
5.    Retrospective control, kemampuan individu untuk memodifikasi pengalaman stress dalam usahanya mengurangi kecemasan.[8]

C.  Pengendalian Diri dalam Islam
Manusia mempunyai dua dimensi kepribadian. Pertama, yang disebut dengan al-bu’d al-malakuti atau dimensi kemalaikatan yang berasal dari alam malakut. Ada satu bagian dalam diri kita yang membawa kita ke arah kesucian, yang mendekatkan diri kita kepada Allah. Dimensi ini mendorong kita untuk berbuat baik yang ada dalam diri manusia. Dimensi kedua, adalah dimensi kebinatangan atau al-bu’d al-bahimi. Dimensi inilah yang mendorong manusia untuk berbuat buruk, membuat hati kita keras ketika melihat penderitaan orang lain, dan menimbulkan rasa iri kepada orang lain yang lebih beruntung. Dimensi ini juga menggerak-kan kita untuk marah dan dendam kepada sesama manusia. Inilah sisi buruk dalam diri manusia.[9]
Jika dimensi kemalaikatan membawa manusia dekat kepada Allah, dimensi kebinatangan membawa manusia dekat dengan setan. Setan sebenarnya tidak mempunyai kemampuan untuk menyesatkan manusia, kecuali kalau manusia membantunya dengan membuka sisi kebinatangannya. Karena itulah setan pernah berjanji di hadapan Allah, Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas. (QS. Shad 82-83). Sebenarnya yang bisa disesatkan oleh setan adalah hamba-hamba Allah yang membuka sisi kebinatangannya. Al-Ghazali menyebut sisi ini sebagai pintu gerbang setan atau madakhilus syaithan.[10]
Bila orang sering membuka pintu gerbang kebinatangannya, setan dapat masuk melakukan provokasi di dalamnya. Oleh karena itu, bagian kebinatangan yang ada dalam diri manusia sering disebut dengan pasukan setan. Melalui pasukan setan inilah setan dapat mengarahkan manusia untuk berbuat buruk. Dua dimensi ini, malakuti dan bahimi, terus menerus bertempur dalam satu peperangan abadi yang dalam Islam disebut dengan al-jihad al-akbar, peperangan yang besar. Jihad yang agung itu adalah peperangan melawan bagian dari diri manusia yang ingin membawa kita jauh dari Allah. Tugas kita adalah memperkuat al-bu’du al-malakuti itu, supaya kita memenangkan pertempuran agung.[11]
Ada dua hal yang harus dilakukan manusia agar ia dapat memenangkan per-tempuran agung itu, yaitu shalat dan sabar.
(#qãZŠÏètFó$#ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 $pk¨XÎ)ur îouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûüÏèϱ»sƒø:$# ÇÍÎÈ  
Minta tolonglah kamu (dalam jihad akbar ini) dengan melakukan shalat dan sabar, sesungguhnya itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (QS Al-Baqarah 45).

Kenapa harus sholat dan sabar, karena sholat sendiri mempunyai fungsi dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (Q.S. Al-Ankabut ayat 45). Sedangkan esensi sabar adalah menggerakkan segala kekuatan kepada sesuatu yang bermanfaat baik pada diri sendiri ataupun orang lain, dan menahan diri dari segala yang merugikan dan membahayakan diri sendiri atau orang lain[12]. Manfaat dan madlorot dalam hal ini tentunya berparameter keimanan. Karena menolong pencuri pun bias saja menuai manfaat. Bias jadi dengan menolong pencuri ia akan mendapat bagian dari hasil pencurian, namun tidak akan bias lepas dari ancaman dan siksaan Allah besok di akhirat yang tentu saja membahayakan dan merugikan.


BAB III
METODE PENELITIAN

A.  Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti lakuan ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang sumber datanya dikumpulkan dari bahan-bahan pustaka, bisa berupa buku, surat kabar, dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan obyek atau sasaran penelitian.[1]
Sehingga sumber data primer yang peneliti gunakan adalah kitab  Tafsir Mafatih al-Ghaaib karya beliau Fakhruddīn Ar-Rāzi yang juga di dukung dengan data-data sekunder yang peneliti dapatkan dari beberapa literature terkait di perpustakaan juga dalam website.

B.  Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang melibatkan sumber data-data dokumen, baik dari dokumen pribadi maupun dokumen resmi, termasuk semua sumber tertulis dan literatusr-literatur lainnya.[2]

C.  Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data yang ada, langkah peneliti adalah sebagai berikut :
1.      Reduksi data yakni merangkum data-data yang ada kemudian data tersebut dipilih dan diseleksi sesuai dengan focus penelitian, dan dicari pola-polanya
2.      Klasifikasi data berdasarkan ciri dan kategori yang telah ditetapkan
3.      Melakukan display data. Menganalisisnya dengan mencakup Verstehen, interpretasi dan yang lainnya hingga sampai pada penemua jawaban atas permasalah yang telah peneliti rumuskan.[3]


[1] Ulya, Metode Penelitian Tafsir, Kudus: Nora Media Enterprise, 2010, hlm. 19
[2] Ibid., hlm. 29
[3] Ibid., hlm. 41

BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN

A.  Biografi Ar-Razi
Nama lengkap Ar-Razi adalah Muhammad bin ‘Umar bin husain bin hasan bin ‘Ali Attaimī Al-Bakri Al-Rāzi As Syafi’i. Beliau juga punya nama kunyah yang terkenal yakni Abū ‘Abdillah dan Abū Ma’ali seperti yang disebutkan dalam kitab balaghoh Uqud al Juman, dan juga Abu al Fadhl dan Ibnu Khotib al Roy seperti yang disebutkan tokoh ulama’ lain[13]. Akan tetapi dari sekian itu semua nama yang paling familiar dari beliau dalam literature klasik ialah Fakhruddīn Ar-Rāzi.
Ar Razi yang memiliki  perawakan berbadan tegak, berjanggut lebat, memiliki suara yang keras dan juga bersikap sopan santun dilahirkan di Kota Ray, yakni salah satu kota ternama di negara Iran yakni Negara islam yang kaya akan ilmuwan. sampai sekarang pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H/1149 M dan beliau wafat pada bulan syawal, 606 H/1209 M.
Sejak kecil Ar-Rāzi sudah dididik oleh ayahnya sendiri, Syaikh Dhiyauddīn, ulama terkemuka pada masanya yang berjuluk Khatib Ar-Ray, beliau adalah seoramg tokoh, ulama dan pemikir yang dikagumi oleh masyarakat Ray[14], disitulah Ar-Rāzi berkembang menjadi manusia soleh dan pencinta ilmu, setelah beliau menyelesaikan pada ayahnya barulah beliau melakukan perjalanan keberbagai kota seperti Khurasan dimana disana banyak ulama besar yang berasal dari negri itu‘Abdullah bin mubārak, Imām Bukhāri, Imām Tirmiżi dan ulama besar lainnya, Dari khurasan atau lebih dikenal lagi dengan bukhara, beliau melanjutkan perjalanannya ke irak, terus ke syam, namun lebih banyak waktunya digunakan di khawarzimi untuk belajar memperbanyak ilmunya, kemudia teakhir beliau berangkat ke negri kota heart di daerah afganistan untuk belajar mengajar[15].
Oleh karena ketekunan beliau dalam belajar ditambah dengan kecerdasan dan kehebatan beliau maka beliau ternyata tidak hanya menguasai dan mendalami 1 cabang imu saja, akan tetapi beliau juga mabahair fi jami’il ulum. Di bawah ini akan kami sampaikan sedikit catatan beliau dengan ilmu yang dikuasainya
1.    Ar Razi Sang Ahli Fikih
Dalam aliran fiqih beliau bermadzhab dengan menggunakan Syafi’iyyah sebagai pedomanya, sehingga beliau juga  mendapatkan julukan  al Imām karena beliau menguasai ilmu fikih. Adapun karya beliau dalam bidang fiqih ialah Kitab Thoriq al ‘ala iyah (4 jilid) dan Syarah al Wajiz karya Imam Al Ghozali
2.    Ar Razi Sang Ahli Ushul Fikih
Sudah menjadi pembicaraan banyak Ulama’ bahwa Ar rozi ketika dalam masa rihlah ‘ilmiahnya beliau sudah bias menghafal kitab Ushul Fikih nya imam Al Ghozali yang berjudul Al Mustashfa, dan juga kitab Syarah al Mu’tamad karya Abi al Husain al bashri
3.    Ar Razi Sang Ahli Ilmu Kalam
Aliran Sunni Asy’ariyah yang menjadi salah satu aliran ilmu kalam kaum Nahdliyyin Indonesia merupakan aliran yang diikiuti oleh Ar Razi dalam bidang ilmu kalam. Sejak muda sudah hafal diluar kepala kitab As Syamil karya Imam Haramain, oleh karena itu beliau akhirnya juga membuat karya dalam ilmu kalam ini dengan munculnya kitab Ta’sis at taqdis,dan juga kitab asrar at tanzil wa anwar at ta’wil
4.    Ar Razi Sang Filosof
Kecerdasan beliau dalam hal filsafat tidak dapat diragukan lagi oleh para Ulama’, hal itu bias dilihat dalam isi tafsir ar Razi sendir yang isinya banyak menjelaskan al Qur’an dengan pendekatan filsafat. Disamping itu beliau juga membuat karya tersendiri khusus pembahasan filsafat yakni dengan adanya kitab Syarah al Isyarat, Lubab al Isyarat, dan Al Mulkhis fi al filsafat.
5.    Ar Razi Sang Dokter
Keilmuan kedokteran yang dimiliki Ar Razi rasanya memang sudah ada pada beliau sejak dulu, akan tetapi beliau baru sangat sibuk dengan urusan kedokteran ketika setelah beliau selesai bergelut dengan ilmu-ilmu yang lain, sehingga akhirnya beliau menulis kitab Masa’il At Tib dan Al Jami’ul Kabir Fi at tib.
6.    Ar Razi Sang Mufassir
Dalam bidang ini, keahlian beliau tidak dapat dipungkiri lagi karena dalam pembahasan beliau di dalam kitab Tafsirnya yakni Tafsir Al Kabir sangat mendetail sehingga pembahasanya sampai 12 jilid[16].

B.  Penafsiran Ar-Razi terhadap Ayat-ayat Pengendalian Diri
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang membahas pengendalian diri yang peneliti bahas adalah Q.S. At-Tahrim ayat 6, Al-Baqarah ayat 45, dan Al-Ankabut ayat 45, berikut akan peniliti paparkan bagaimana ar-Razi menafsirkan ayat-ayat tersebut.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
}قُواْ أَنفُسَكُمْ } أي بالانتهاء عما نهاكم الله تعالى عنه ، وقال مقاتل : أن يؤدب المسلم نفسه وأهله ، فيأمرهم بالخير وينهاهم عن الشر ، وقال في «الكشاف» : { قُواْ أَنفُسَكُمْ } بترك المعاصي وفعل الطاعات ، { وَأَهْلِيكُمْ } بأن تؤاخذوهم بما تؤاخذون به أنفسكم ، وقيل : { قُواْ أَنفُسَكُمْ } مما تدعو إليه أنفسكم إذ الأنفس تأمرهم بالشر وقرىء : { وأهلوكم } عطفاً على واو { قُواْ } وحسن العطف للفاصل ، و { نَارًا } نوعاً من النار لا يتقد إلا بالناس والحجارة ، وعن ابن عباس هي حجارة الكبريت ، لأنها أشد الأشياء حراً إذا أوقد عليها ، وقرىء : { وَقُودُهَا } بالضم ، وقوله : { عَلَيْهَا ملائكة } يعني الزبانية التسعة عشر وأعوانهم { غِلاَظٌ شِدَادٌ } في أجرامهم غلظة وشدة أي جفاء وقوة ، أو في أفعالهم جفاء وخشونة ، ولا يبعد أن يكونوا بهذه الصفات في خلقهم ، أو في أفعالهم بأن يكونوا أشداء على أعداء الله ، رحماء على أولياء الله كما قال تعالى : { أَشِدَّاء عَلَى الكفار رُحَمَاء بَيْنَهُمْ } [ الفتح : 29 ] وقوله تعالى : { وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ } يدل على اشتدادهم لمكان الأمر ، لا تأخذهم رأفة في تنفيذ أوامر الله تعالى والانتقام من أعدائه ، وفيه إشارة إلى أن الملائكة مكلفون في الآخرة بما أمرهم الله تعالى به وبما ينهاهم عنه والعصيان منهم مخالفة للأمر والنهي .
{Peliharalah dirimu} dengan berhenti dari sesuatau yang dilarang Allah, Muqotil  berkata:”Hendaklah seorang muslim mendidik didirnya sendiri dan keluarganya dengan memerintahkan kebaikan dan mencegahnya dari keburukan”. Al-Zamaksyari dalam Al-Kassyaf menafsirkan:” {Peliharalah dirimu} dengan meninggalkan kemaksiatan dan menjalankan ketaatan, {dan keluargamu} dengan memperlakukan mereka sebagaimana kau memperlakukan dirimu (memerintahkan thoat dan mencegah maksiat)”. Ada yang menafsirkan: {Peliharalah dirimu} dari ajakan nafsu-nafsumu karena nafsu senantiasa mengajak kepada kejelekan”, seraya membaca { وأهلوكم } di-athafkan pada wawu { قُواْ } dan baiknya ‘athaf untuk memisah (fashl), dan {api neraka} adalah jenis api yang tidak dapat menyala kecuali dengan manusia dan bebatuan. Diriwayatkan dari Ibn Abas, bahwa yang dimaksud adalah batu karbit, karena batu ini adalah jenis batu yang yangpaling sangat panasnya ketika dinyalakan api. Lafadh { وَقُودُهَا } dibaca dhommah. {Penjaganya malaikat-malaikat} yaitu malaikat Zabaniyyah yang jenisnya ada 19. {yang kasar, keras} bentuknya kasar dan keras yakni keras perangainya lagi kuat, atau kasar dalam bertindak. Tidak jauh berbeda dengan mereka yang sama perangainya dalam sifat-sifat ini atau dalam tindakan berupa sikapa keras terhadap musuh-musuh Allah akan tetapi lemah lembut/belas kasih terhadap para kekasih Allah, sebagaimana firman-Nya
 { أَشِدَّاء عَلَى الكفار رُحَمَاء بَيْنَهُمْ } [ الفتح : 29 ]
Firman Allah:{dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan}menunjukkan tekanan pada perintah. Tiada rasa kasihan pada mereka dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan menyiksa musuh-musuh Allah. Hal ini menunjukkan bahwa para malaikat diberi tugas (mukallaf) di akhirat sesuai dengan perintah dan larangan Allah terhadap mereka, dan yang durhaka adalah sebagian dari mereka yang tidak memenyhi menentang perintah dan larangan.
(#qãZŠÏètFó$#ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 $pk¨XÎ)ur îouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûüÏèϱ»sƒø:$# ÇÍÎÈ  
ذكروا في الصبر والصلاة وجوهاً ، أحدها : كأنه قيل واستعينوا على ترك ما تحبون من الدنيا والدخول فيما تستثقله طباعكم من قبول دين محمد صلى الله عليه وسلم بالصبر أي يحبس النفس عن اللذات ، فإنكم إذا كلفتم أنفسكم ذلك مرنت عليه وخف عليها ثم إذا ضممتم الصلاة إلى ذلك تم الأمر ، لأن المشتغل بالصلاة لا بد وأن يكون مشتغلاً بذكر الله عز وجل وذكر جلاله وقهره وذكر رحمته وفضله ، فإذا تذكر رحمته صار مائلاً إلى طاعته وإذا تذكر عقابه ترك معصيته فيسهل عند ذلك اشتغاله بالطاعة وتركه للمعصية ، وثانيها : المراد من الصبر ههنا هو الصوم لأن الصائم صابر عن الطعام والشراب ، ومن حبس نفسه عن قضاء شهوة البطن والفرج زالت عنه كدورات حب الدنيا ، فإذا انضاف إليه الصلاة استنار القلب بأنوار معرفة الله تعالى وإنما قدم الصوم على الصلاة لأن تأثير الصوم في إزالة ما لا ينبغي وتأثيره الصلاة في حصول ما ينبغي والنفي مقدم على الإثبات ، ولأنه عليه الصلاة والسلام قال : « الصوم جنة من النار » . وقال الله تعالى : { إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر } [ العنكبوت : 45 ] لأن الصلاة تمنع عن الاشتغال بالدنيا وتخشع القلب ويحصل بسببها تلاوة الكتاب والوقوف على ما فيه من الوعد والوعيد والمواعظ والآداب الجميلة ، وذكر مصير الخلق إلى دار الثواب أو دار العقاب رغبة في الآخرة ونفرة عن الدنيا فيهون على الإنسان حينئذ ترك الرياسة ، ومقطعة عن المخلوقين إلى قبلة خدمة الخالق ونظير هذه الآية قوله تعالى : { يا أيها الذين آمنوا استعينوا بالصبر والصلاة إن الله مع الصابرين } [ البقرة : 153 ]
قلنا : ليس المراد أن الذي يلحقهم من التعب أكثر مما يلحق الخاشع وكيف يكون ذلك الخاشع يستعمل عند الصلاة جوارحه وقلبه وسمعه وبصره ، ولا يغفل عن تدبر ما يأتي به من الذكر والتذلل والخشوع ، وإذ تذكر الوعيد لم يخل من حسرة وغم ، وإذا ذكر الوعد فكمثل ذلك ، وإذا كان هذا فعل الخاشع فالثقل عليه بفعل الصلاة أعظم ، وإنما المراد بقوله : وإنها ثقيلة على من لم يخشع أنه من حيث لا يعتقد في فعلها ولا في تركها عقاباً ، فيصعب عليه فعلها . فالحاصل أن الملحد إذا لم يعتقد في فعلها منفعة ثقل عليه فعلها ، لأن الاشتغال بما لا فائدة فيه يثقل على الطبع ، أما الموحد فلما اعتقد في فعلها أعظم المنافع وفي تركها أعظم المضار لم يثقل ذلك عليه لما يعتقد في فعله من الثواب والفوز العظيم بالنعيم المقيم والخلاص من العذاب الأليم. مثاله إذا قيل للمريض : كل هذا الشيء المر فإن اعتقد أن له فيه شفاء سهل ذلك عليه ، وإن لم يعتقد ذلك فيه صعب الأمر عليه .
Para ulama menutrkan beberapa bentuk dalam sabar dan sholat
1.    Seakan dikatakan ;”mintalah pertolongan untuk meninggalkan kesenangan hidup di dunia dan masuk pada hal yang memberatkanmu berupa menerima agama Nabi Muhammad SAW dengan sabar, yakni menahan nafsu dari kesenangan-kesenangan. Karena sesungguhnya  kamu semua membebankan nafsumu maka ia akan menjadi lunak utuk sabar dan menjadi ringan kemudian ketika kamu telah mengumpulkan sholat dengan sabr maka menjadi sempurnalah perkara. Karena orang yang sibuk dengan solat pasti/seharusnya sibuk mengingat Allah, keagunganNya, keperkasaanNya,  rohmat dan keutamanNya. Ketika hamba mengingat rohmat Allah, maka dia menjadi condong untuk mentaatinya, dan ketika mengingat siksanya maka dia akan meninggalkan kemaksiatan sehingga menjadikan mudah baginya untuk sibuk dengan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan.
2.    Yang dimaksud dengan sabar di sini adalah puasa. Karena orang yang puasa adalah orang yang sabar menahan makan dan minum. Barang siapa yang menahan dirinya dari memenuhi syahwat perut dan farji maka akan hilang kotoran-kotoran cinta dunia. Ketika puasa digabung dengan sholat maka akan menjadikan hati bersinar dengan cahaya ma’rifatullah. Mendahulukan puasa dari sholat beralasan bahwa fungsi puasa dalam menghilangkan hal-hal yang tak seharusnya ada (keburukan) di dahulukan atas mendatangkan hal-hal yang seharusnya ada (kebaikan). Oleh karenanya Nabi SAW bersabda :”Puasa adalah tameng (dari) api neraka”, dan juga Allah berfirman: “Sesungguhnya Sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar“. Alasannya, karena sholat dapat mencegah dari kesibukan dunia, menjadikan hati khusyu’, dapat menghasilkan bacaan al-Qur’an, menjalankan apa yang menjadi janji dan ancaman, mau’idhoh, dan akhlaq yang baik, mengingat tempat kembalinya makhluq baik ke syurga atau neraka, suka akhirat, lari dari dunia, sehingga memudahkan bagi manusia saat itu untuk meninggalkan kekuasaan, meninggalkan makhluq untuk menghadap mengabdi pada Sang Kholiq.
Kami katakan: yang dimaksud bukanlah kepayahan yang ditemui mereka yang lebih banyak daripada yang ditemui orang yang khusyu’. Karena orang yang khusyu’ ketika menjalankan sholat tidak hanya menggunakan anggota badannya tatpi juga hati, pendengar dan penglihatannya. Dia tidak melupakan dari mengangan-angan apa yang menjadi dzikir, tadzallul, khusyu’nya. Ketika mengingat ancaman dia akan selalu perihatin dan sedih, ketika mengingat janji juga seperti itu. Jika ini menjadi perilaku orang khusyu’ maka yang lebih berat adalah yang dilakukan orang yang khusyu’. Adapun beratnya orang yang tidak khusyu’ adalah dilihat dari segi ketidakadanya i’tikad dalam menjalankan dan tidak takut adanya siksa saat meninggalkannya. Sehingga menjadi sulit menjalankannya. Walhasil, para penentang dan pembangkang ketika tidak adanya keyakinan manfaat dalam menjalankannya  maka ia akan merasakan berat. Karena sibuk dengan hal-hal yang tak berfaidah tentunya akan memberatkan. Adapun bagi orang-orang yang beriman, ketika dirinya yakin bahwa akan ada manfaat yang besar ketika menjalankan solat berupa pahala dan keberuntungan besar serta selamat dari api neraka yang menyakitkan dan akan menemui kerugian dan madhorot ketika meninggalkannya, maka tidak akan menjadikan berat baginya . seperti orang sakit yang ingin sembuh, ia akan dengan ringan hati untuk minum obat meskipun pahit.
 žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3
فنقول : المراد أن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر مطلقاً وعلى هذا قال بعض المفسرين الصلاة هي التي تكون مع الحضور وهي تنهى ، حتى نقل عنه صلى الله عليه وسلم « من لم تنهه صلاته عن المعاصي لم يزدد بها إلا بعداً » ونحن نقول الصلاة الصحيحة شرعاً تنهى عن الأمرين مطلقاً وهي التي أتى بها المكلف لله حتى لو قصد بها الرياء لا تصح صلاته شرعاً وتجب عليه الإعادة ، وهذا ظاهر فإن من نوى بوضوئه الصلاة والتبرد قيل لا يصح فكيف من نوى بصلاته الله وغيره إذا ثبت هذا فنقول الصلاة تنهى من وجوه الأول : هو أن من كان يخدم ملكاً عظيم الشأن كثير الإحسان ويكون عنده بمنزلة ، ويرى عبداً من عباده قد طرده طرداً لا يتصور قبوله ، وفاته الخبر بحيث لا يرجى حصوله ، يستحيل من ذلك المقرب عرفاً أن يترك خدمة الملك ويدخل في طاعة ذلك المطرود فكذلك العبد إذا صلى لله صار عبداً له ، وحصل له منزلة المصلي يناجي ربه ، فيستحيل منه أن يترك عبادة الله ويدخل تحت طاعة الشيطان المطرود ، لكن مرتكب الفحشاء والمنكر تحت طاعة الشيطان فالصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر الثاني  هو أن من يباشر القاذورات كالزبال والكناس يكون له لباس نظيف إذا لبسه لا يباشر معه القاذورات وكلما كان ثوبه أرفع يكون امتناعه وهو لابسه عن القاذورات أكثر فإذا لبس واحد منهم ثوب ديباج مذهب يستحيل منه مباشرة تلك الأشياء عرفاً ، فكذلك العبد إذا صلى لبس لباس التقوى لأنه واقف بين يدي الله واضع يمينه على شماله؛ على هيئة من يقف بمرأى ملك ذي هيبة ، ولباس التقوى خير لباس يكون نسبته إلى القلب أعلى من نسبة الديباج المذهب إلى الجسم ، فإذن من لبس هذا اللباس يستحيل منه مباشرة قاذورات الفحشاء والمنكر ثم إن الصلوات متكررة واحدة بعد واحدة فيدوم هذا اللبس فيدوم الامتناع.
Orang yang bersinggungaan dengan hal-hal keji sebagaimana kotoran binatang, dan tukang sapu mempunyai pakaian yang bersih yang ketika dipakainya tidak mengenai kotoran tersebut. Apabila pakaiannya lebih tinggi maka bisa mencegah kotoran lebih banyak. Apabila diantara mereka ada yang memakai pakaian sutra madzhab maka orang itu tidak akan terkena sesuatu. Begitu juga dengan hamba ketika solat maka dia memakai pakaian taqwa. Karena ia berdiri di hadapan Allah seraya bersikap layaknya di hadapan raja yang berwibawa. Pakaian taqwa adalah pakaian terbaik untuk hati yang mana ia bagaikan pakaian sutra untuk badan. Jadi, barang siapa yang memakai pakaian ini tidak akan terkena kotoran kekejian dan kemungkaran. Kemudian solat yang diulang-ulang dengan kontiniu maka akan senantiasa terjaga selalu.

C.  Analisis Data
1.    At-Tahrim ayat 6
Dalam ayat ini ar-Razi memberkan penjelasan tentang makna penjagaan yang diperintahkan Allah kepada manusia. Yang pertama,yaitu menjaga berarti mendidik diri sendiri dan keluarga dari hal-hal yang dilarang Allah dengan memerintahkan kepada kebaikan (ketaatan) dan mencegah dari kejelekan (kemaksiatan). Yang kedua, melawan nafsu, karena kecenderungan nafsu yang senantiasa memerintahkan pada kejelekan yang disebut dengan menuruti hawa nafasu. Mengendalikan diri berarti melawan nafsu dan senantiasa mengarahkan diri pada hal-hal yang bertolak dengan nafsu (jelek).
Apabila jiwa ini tak selamat dan terjerumus pada lembah kemungkaran maka sebagai akibatnya adalah neraka yang menyakitkan. Bahan bakar neraka adalah manusia dan batu (karbit). Bisa dibayangkan betapa pedihnya tatkala api menemui bahan bakrnya, tentu akan membara dalam panas siksanya. Di dalamya ada malaikat yang bengis lagi kasar tak kenal belas kasihan karena tugasnya memang begitu menyiksa manusia yang durhaka kepada Allah SWT, dan malaikat-malaikat itu akan senantiasa menjalankan perintahNya untuk menyiksa.
2.      Al-Baqarah ayat 45
Kaitannya dengan pengendalian diri, sesungguhnya manusia tiada daya dan kekuasaan bahkan atas dirinya sendiri, hingga pada pengendalian diri sekalipun. Ayat ini memberikan solusi bagaimana agar kita mampu memerangi hasrat buruk yang timbul baik dari godaan dari dalam diri sendiri atau dari luar, yaitu dengan meminta tolong kepada Allah seraya sabar dan sholat. Terkait ayat ini, ar-Rozi dalam penafsirannya menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan sabar dan sholat.
Pertama,dalam hal perintah untuk meminta tolong yang dimaksud adalah meminta tolong untuk meninggalkan kesenangan dunia dan masuk kepada menerima agama Nabi Muhammad dengan sabar, yaitu menahan nafsu dari kesenangan. Ketika sabar digabung dengan sholat maka akan menjadi sempurna. Alasan yang mendasar, seorang dikatakan musholli ketika dalam sholatnya sibuk akan dzikrulloh (mengingat Allah), keagungan-Nya, keperkasaan-Nya, serta mengingat rahmat dan anugrah-Nya dan keadaan demikian (dzikrullah) juga melekat saat di luar sholat.  Ketika seseorang ingat akan rahmat Allah maka ia akan semangat mentatatiNya, dan ketika ingat akan siksaan Allah dia akan takut dan meninggalkan kemaksiatan. Akhirnya mudah baginya untuk sibuk dengan ketatan dan meninggalkan kemaksiatan. Ketika seorang hamba mencapai hal ini, seorang hamba akan mudah mengendalikan dirinya. Tidak mudah marah pada hal yang kurang tepat, karena mudah marah adalah larangan dan dijauhi teman. Apalagi sampai bertindak korupsi yang jelas-jelas merugikan diri dan orang lain, dan tindakan buruk dan merugikan lainnya.
Kedua, tentang sabar, a-Razi menjelaskan bahwa yang dimaksud sabar di sini adalah puasa. Karena orang yang puasa adalah dia yang sabar menahan makan dan minum. Barang siapa menahan dirinya dari memenuhi syahwat perut dan farji maka akan hilang kotoran-kotoran cinta dunia. Dan ketika ditambah dengan sholat maka akan bersinarlah hati dengan cahaya ma’rifatullah.
3.    Al-Ankabut ayat 45
Ayat ke 45 dari surah al-Baqarah di atas dapat diperjelas mengapa untuk memerangi hawa nafsu dengan sabar dan sholat ? karena dalam ayat ke 45 ini dijelaskan fungsi sholat yaitu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Ar-Rozi dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan, yang dimaksud sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar adalah sebagaimana beliau mengutip pendapatnya sebagian mufassirin yang mendahulinya, yaitu sholat yang disertai kehadiran hati. Bukan hanya solat secara dhohir yang tergambarkan syarat rukunnya dan gerakan-gerakannya mulai dari takbir sampai dengan salam namun dalam sholat, seorang musholli juga menghadapkan hatinya bahwa ia sedang menghadap Allah SWT. Ar-Rozi menegaskan sholat yang sah adalah solat yang murni karena Allah, jika masih dikotori rasa pamer maka tidaklah sah solat tersebut dan wajib mengulanginya. Jika wudlu yang diniatkan untuk menjalankan sholat juga dibarengi dengan mendinginkan badan saja tidak sah mnurut sebagian pendapat, bagaimana mungkin diterimanya sholat dengan niat selain Allah.
Kemudian beliau memberikan perumpamaan indah dengan sentuhan filsafat dengan kedalaman makna sebagaimana berikut.
1.    Orang yang mengabdi pada raja yang agung, banyak kebaikannya dan orang tadi sudah mempunyai tempat di samping raja, sementara orang itu melihat pelayan-pelayan yang lain tertolak pelayananannya hingga tak tergambarkan terterima pengabdiannya,   maka ia akan tetap dengan pengabdiannya itu, tidak akan pindah pada pengabdia yang tertolak sebagaimana ia lihat pada pelayan-pelayan selainnya. Begitu juga orang yang sholat karena Allah ia akan menjadi hamba Allah, dan ia akan mendapatkan tempat bermunajat kepada Tuhannya, maka ia tidak mungkin akan meninggalkan peribadatannya dan pindah mentatai setan  yang tersingkirkan. Orang yang terbiasa/banyak melakukan perbuatan keji dan mungkar adalah dibawah ketaatan pada setan sedangkan sholat mencegah dari pekerjaan keji dan mungkar
2.      Orang yang bersinggungaan dengan hal-hal keji adalah seperti kotoran binatang, dan tukang sapu mempunyai pakaian yang bersih yang ketika dipakainya tidak mengenai kotoran tersebut. Apabila pakaiannya lebih tinggi maka bisa mencegah kotoran lebih banyak. Apabila diantara mereka ada yang memakai pakaian sutra madzhab maka orang itu tidak akan terkena sesuatu. Begitu juga dengan hamba ketika solat maka dia memakai pakaian taqwa. Karena ia berdiri di hadapan Allah seraya bersikap layaknya di hadapan raja yang berwibawa. Pakaian taqwa adalah pakaian terbaik untuk hati yang mana ia bagaikan pakaian sutra untuk badan. Jadi, barang siapa yang memakai pakaian ini tidak akan terkena kotoran kekejian dan kemungkaran. Kemudian solat yang diulang-ulang dengan kontiniu maka akan senantiasa terjaga selalu.

D. Penutup
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf yang sebesar-besarnya

[1] Bisa Lihat al-Qur’an surat Shad ayat 82-83
[3] Bisa lihat al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 45
[5] http://alamtarlam.blogspot.com/2013/03/tafsir-mafatih-al-ghaib.html
[6] Luluk Ernawati, Makalah Pengendalian Diri dalam http://pai-bp.blogspot.com/2014/08/pengendalian-diri-self-control.html (1 November 2014, 10:15)
[7] Luluk Ernawati, Makalah Pengendalian Diri dalam http://pai-bp.blogspot.com/2014/08/pengendalian-diri-self-control.html (1 November 2014, 10:15)
[8] Luluk Ernawati, Makalah Pengendalian Diri dalam http://pai-bp.blogspot.com/2014/08/pengendalian-diri-self-control.html (1 November 2014, 10:15)
[9] Ensiklopedia Khazanah Islam Dunia, MELATIH KESABARAN DALAM PENGENDALIAN DIRI MENUJU RIDHO ILLAHI, dalam https://www.facebook.com/permalink.php?id=56742695 9937721&story_fbid=608584192488664 (1 Nvember 2014, 20:34)
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ahmad Farid, Tazkiyah Al-Nufus, Beirut Libanon: Darul Qalam, tt., hlm. 86
[13] Fakhr al rozi, Muhammad.2005. Tafsir al fakhr al razi 1. Libanon : Dar al Fikr. Hal 5
[14] Abd Mu’īn An-Namīr, Ilmu Tafsīr, cet 1, kairo Dārul kutūb Al-Miṣri, 1985, hlm, 124
[15] Sya’bān Muḥammad Isma’īl, Uṡul Al-Fiqh : Tarīkhuhū wa Rijāluhū, Mekkah : Dār As-Salām, 1998, hlm.238.

[16] Opcit. Ar Razi Hal 8

0 Comments

Bagaimana Pendapat Anda ?