Selasa, 03 Maret 2015

0 BATAS-BATAS WAHYU


RESUME ARTIKEL : BATAS-BATAS WAHYU

Kelompok 3 :(312012)(312013)(312014)(312015) (312016)

=========================================================================

Sifat dan tujuan al-Qur’an menjadi perhatian sentral pembahasan modern mengenai sunnah. Pandangan klasik mengenai hubungan anatara sunnah dan Qur’an secara ringkas dinyatakan dalam pribahasa, “kebutuhan al-Qur’an terhadap sunnah lebih besar daripada sunnah terhadap al-Qur’an”. Tantangan terhadap penddapat mengenai hubungan organis antara al-Qur’an dan Sunnah ini tak sepenuhnya terjadi dalam sejarah pemikiran Islam. As-Syafi’I berpendapat bahwa al-Qur’an menjelaskan segala sesuatu dan tidak memerlukan pelengkap.

Di Subbenua India, penekanan bagi kebebasan al-Qur’an ini pertama kali muncul dalam karya Sayyid Ahmad Khan. Prinsip-prinsip penafsiran yang dia gariskan membebaskan disiplin tafsir hadits, menggantinya dengan prinsip akal dan alam. Ahli Qur’an mengembangkan kecenderungan ini, mereka menekankan al-Qur’an sebagai satu-satu sumber kewenangan keagamaan, dengan mengesampingkan hal lainnya. Ahli Qur’an juga berpendapan bahwa al-Qur’an bersifat komprehensif, yaitu suatu kitab yang mengungkapkan seluruh persyaratan keimanan dan merupakan pedoman lengkap bagi keimanan dan praktik.

Seiring perkembangan pemikiran al-Qur’an dan Tafsir , muncul kelompok atau golongan yang disebut dengan Ahli Qur’an. Secara garis besar, aliran ahli Qur’an ini berpendapat bahwa keberadaan Al-Qur’an sudah cukup dalam fungsinya sebagai hudan lin nas. Al-Qur’an dengan sendirinya sudah mencakup pokok-pokok Islam tanpa merujuk pada Sunnah Sekalipun.

Adapun tokoh-tokoh dalam aliran ini diantaranya adalah Chakralawi yang ingin membuktikan bahwa segala yang bernilai  dapat disarikan dari al-Qur’an. Sejalan dengan Chakralawi adalah Shidqi dan para pengikutnya. Mereka berusaha membuktikan bahwa pokok-pokok Islam – terutama persyaratan untuk melakukan shalat – dapat diturunkan dari al-Qur’an saja tanpa perlu merujuk pada as-Sunnah.

Kemudian di Subbenua India, ajaran keserbacukupan al-Qur’an terus berkembang. Bahkan generasi kedua ini sampai mengabaikan pengguna tafsir yang dirancang untuk membuktikan kekomprehensifan al-Qur’an yang menjadi sumber bagi Chakralawi. Pada generasi ini muncul nama-nama Khwaja Ahmad Din dan Jayrajpuri. Bagi Jayrajpuri, al-Qur’an memadai sebagai pedoman akal dan moralitas manusia yang memberikan prinsip yang diperlukan untuk bisa disimpulkan mengenai detail. Kapasitas al-Qur’an dalam dalam memberikan pedoman yang adaptif  sangatlah kukuh. Selanjutnya, setiap orang yang beriman berhak membaca, menafsirkan dan menerapkan al-Qur’an bagi dirinya, menghindari tradisi tafsir klasik dan pendukung tradisi tersebut.

Keberadaan Ahli Qur’an ini bukan sepi dari pertentangan. Bagi para pendukung Sunnah, doktrin cukupnya al-Qur’an hanyalah alasan untuk memainkan  secara longgar dan bebas makna al-Qur’an. Pendapat ini mendapat perlawanan oleh respon yang mengatakan bahwa al-Qur’an tidak bisa berdiri sendiri terpisah dari kesaksian Rosulullah. Nama-nama yang muncul sebagai penentang ahli Qur’an diantaranya Mistri Muhammad Ramadhan yang merupakan murid dari Chakralawi. Kemudian Abu Al-‘Ala Maududi yang tercatat sebagai penentang paling gigih doktrin cukupnya al-Qur’an. Maududi menegaskan akan fungsi sentral nabi adalah menjamin penafsiran wahyu yang mereka bawa.

Kemudian S.M. Yusuf yang memberikan penjelasan atas keniscayaan sunnah berdasarkan tidak bisa dipisahkannya wahyu dari implementasinya yang aktif. Dalam al-Qur’an, menurutnya, hubungan antara kata abstrak dan implementasi yang kongkret ini disebut dalam kata “al-Kitab wa al-Hikmah”. Hikmah menunjuk pada kelayakan penilaian seperti yang termanifestasikan dalam  kelayakan prilaku. Dan manifestasi dari hikmah Tuhan ini ada dalam sunnah Rasulullah SAW.

 Isu mendasar antara mereka yang mendukung cukupnya al-Qur’an dan para penentang mereka berupa ketidaksepakatan fundamental atas sifat wahyu dan penerapannya dalam masyarakat Islam. Dalam padangan ahli Qur’an, kitab ini merupakan seperangkat dasar prinsip dan pedoman umum tingkah laku moral. Akan tetapi detail hukumnya harus disesuaikan dengan keadaan. Para penentang mereka mengatakan hal ini berarti memola al-Qur’an menurut kehendak pribadi. Mereka mengatakan bahwa ahli al-Qur’an mengambil apa yang muncul dari pikiran mereka dan memproyeksikannya ke al-Qur’an, dan mengklaim memiliki autoritas untuk melakukan penafsiran, yang mereka sangkal tidak dimiliki Rasulullah SAW.

Dalam ajaran klasik salah satu pilar fundamental teori sunnah adalah argument bahwa Nabi Muhammad SAW tidak hanya menerima wahyu al-Qur’an tetapi juga wahyu husus yang terpisah dari al-Qur’an.

Dalam doktrin wahyu ganda ini, superioritas formal al-Qur’an terjaga dengan membedakan, seperti dilakukan oleh Ibnu Hazm disini, antara wahyu yang dibaca, yang keakuratannya terbukti benar kata demi kata dan wahyu yang tidak dibaca , yang hanya makna dan bukan kata-kata yang sama persisnya yang terbukti kebenarannya. Akan tetapi, menurut para fuqaha’ kewenangan kedua sumber ini adalah sama.

Terdapat ketidaksepakatan diantara ulama’ klasik mengenai bagaimana persisnya Allah menyampaikan sunnah kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa sunnah merupakan suatu produk wahyu langsung yang turun melalui malaikat, ulama’ lainnya meyakini bahwa Rasul sendiri terlibat langsung dalam prose situ, dan bahwa sunnah, dan paling tidak sebagian, merupakan produk ijtihadnya yang berdasarkan ilham.argumen utama para skriptualis al-Qur’an terhadap kedudukan kewahyuan sunnah mengambil bentuk perbandingan antara sunnah dan al-Qur’an;sunnah diukur melalui standart wahyu dan ternyata tidak memadai.

Kelemahan sunnah yang pertama adalah, tidak seperti al-Qur’an, sunnah tidak terjaga sedemikian rupa sehingga dapat dipercaya menunjukkan perkataan persis Allah.

Criteria kedua, untuk memperlihatkan sunnah tidak memenuhi standart wahyu;sedangkan wahyu secara eksternal dan verbal dikomunikasikan, sunnah mengandung tanda-tanda kepibadian Rasulullah SAW, wahyu dalam pandangan ini hanya menunjuk pada firman Allah SWT.

Kelemahan sunnah yang ketiga adalah berkaitan dengan pencatatannya dalam bentuk tulisan yang baru dilakukan dikemudian hari dan kecacatan penyampaiannya. Jika Allah menghendaki sunnah sebagai bagian penting Islam, Dia tentu akan membantunya tercatat dan terpelihara seperti al-Qur’an.

Shidqi dan kritikus India memandang penting isu penulisan hadis. Ini menunjukkan sejauh mana mereka mengidentifikasi wahyu dengan “kitab”. Hal ini juga menandakan pergeseran penting dari penekanan penyampaian secara lisan dan kesaksian manusia yang lazim dalam pemikiran Islam Klasik. Pada himpunan-himpunan hadis terbaik, bahkan dalam bukhari muslim, kebenaran dan kepalsuan berbaur. Disini kembali pendapat yang tidak mempercayai keautentikan historis hadis bercampur dengan asumsi theologies tentang sifat wahyu.

Menurut Parwez, dukungan terhadap gagasan bahwa sunnah merupakan wahyu tidak dapat dijumpai dalam al-Qur’an maupun hadis paling awal. Selain itu, karena baik Rasulullah para sahabat maupun para khalifah pertama tidak menganggap ada wahyu lain selain al-Qur’an, hal ini membuktikan bahwa diangkatnya sunnah didalam kedudukan ini merupakan ciptaan orang muslim kemudian. Doktrin ini pada kenyataannya meniru doktrin yahudi, wahyu Lisan Mishna.

Para pendukung sunnah berpendapat, gagasan bahwa sunnah merupakan wahyu tersirat dalam al-Qur’an. Sebagian ahli al-Qur’an tidak menyebut adanya wahyu selain al-Qur’an sendiri, sementara lawan mereka menyebut bahwa al-Qur’an mengandung bukti jelas wahyu diluar al-Qur’an. Pendapat yang paling sering dikutip dalam kaitan ini adalah penyamaan istilah hikmah dengan sunnah.

Para pendukung sunnah juga menemukan dukungan al-Qur’an dalam pembedaan berbagai cara penyampaian wahyu, “dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizing-Nya apa yang Dia kehendaki”(QS al-Syura {42} 51). Pembedaan penyampaian wahyu ini menurut Maududi memberikan bukti definitive bahwa disamping al-Qur’an, perintah lainnya datang kepada Rasulullah SAW.

Para penyangkal menjawab dengan argument tafsir mereka sendiri. Jayrajpuri misalnya, berpendapat bahwa kitab dan hikmah keduanya harus diidentifikasikan sebagai al-Qur’an. Buktinya ada dalam al-Qur’an bahwa hikmah harus dibaca. Karena hanya al-Qur’an yang merupakan wahyu yang dibaca, jika kitab dan hikmah dibaca, maka keduanya harus merujuk pada al-Qur’an. Upaya membedakan keduanya adalah sia-sia.

Salah satu tantangan terhadap status kewahyuan sunnah yang dianggap serius oleh para pendukung sunnah adalah tuduhan bahwa dalam hal keakuratan, penjagaan, dan pencatatan tertulis, sunnah tidak memenuhi standar wahyu. Respon paling lazim adalah penyangkalan, yang disertai dengan upaya membuktikan bahwa literature hadis pada kenyataannya dicatat dan disampaikan dengan akurat. Akan tetapi para ulama’ yang sangat konservatif akan mengakui bahwa penyangkalan tidak akan menyelesaikan permasalahan karena perbedaan antara kedua sumber itu tidaklah bisa disangkal. Hanya pembuat polemic yang paling konservatif yang akan mengklaim bahwa Allah melindungi hadis seperti al-Qur’an. Para penyangkal hadis menuntut untuk mengetahui mengapa, jika memang benar-benar wahyu, sunnah tidak sampai kepada kita dengan cara yang sama dengan al-Qur’an.

Menurut satu pendapat, keimanan mensyaratkan sunnah harus diterima sebagai wahyu meski ada ketidakpastian diseputar pencatatan dan penyampaiannya. Yang lain berpendapat bahwa penyangkal hadis keliru dalam criteria yang mereka gunakan untuk menentukan apa yang dapat dianggap sebagai wahyu. Maududi mengklaim bahwa perbedaan antara kedua jenis wahyu itu dalam bentuk penyampaian, dan penjagaan tidak terhindarkan sebagai akibat dari hakikat kedua sumber itu. Benar, dia mengakui bahwa sunnah tidaklah terpelihara dengan cara seperti al-Qur’an, tetapi ini bukanlah alasan yang memadai untuk menyimpulkan bahwa sunnah tidaklah dapat dipercaya.

Bagian kedua dari pendapat Maududi secara spesifik diarahkan kepada mereka yang beranggapan bahwa wahyu harus ditulis.

0 Comments

Bagaimana Pendapat Anda ?