Minggu, 15 Maret 2015

0 PERBEDAAN PENAFSIRAN



PERBEDAAN PENAFSIRAN DAN SEBAB-SEBABNYA





A.  Pendahuluan
Sebagai kitab petunjuk yang sholih li kulli zaman wa makan, Al-Qur’an al-Karim senantiasa dibaca dan ditafsirkan dalam kehidupan penafsir di setiap masanya. Al-Qur’an yang turun pada zaman Nabi, teksnya tidak akan lagi berubah, tetap sebagaimana 30 juz yang kita baca itu, akan tetapi pemaknaan selalu berkembang sesuai dengan persoalan yang dihadapi setiap waktu. Bahkan Muhammad Mansur menyebutkan bahwa tafsir adalah anak zaman. Iakan selalu mendemonstrasikan karakter ruang waktu di mana dan kapan ia lahir.[1] Maka tidak mengherankan apabila begitu banyak kitab tafsir yang kita temui memiliki warna, corak, metode, pendekatan yang tidak sama bahkan terkadang satu sama lain saling bertentangan. Perbedaan penafsiran inilah yang menjadi masalah diantara masalah-masalah dalam tafsir al-Qur’an. Karena tak jarang kita tercengan dengan produk penafsiran yang mungkin aneh, bertentangan, unik, maupun terkesan ‘wah’ bagi kita karena belum tahu seluk beluk kenapa al-Qur’an yang satu melahirkan beraneka ragam bentuk penafsiran.
Adanya keragaman atau perbedaan dalam penfsiran al-Qur’an adalah merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Abd al-Wahhab Abd al-Salam Thawilah sebagaimana dikutip Abdul Karim menulis; ‘adanya perbedaan dalam memahami teks al-Qur’an merupakan suatu keniscayaan mengingat karakter manusia yang selalu berbeda pendapat dalam memahami atau menyikapi sesuatu, serta karakter bahasa Arab yang memiliki bahasa yang sangat luas dan makna serta uslub yang berbeda dalam berbicara kepada hati dan akal’[2]. Hal inilah yang akan pemakalah bahas dalam makalah ini di bawah judul “Perbedaan Penafsiran dan Sebab-sebabnya”.

B.  Rumusan Masalah
Pembahasan dalam makalah ini dapat pemakalah rumuskan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimakasud dengan perbedaan dalam penafsiran al-Qur’an ?
2.      Apa saja penyebab perbedaan penafsiran al-Qur’an ?
3.      Bagaimana perbedaan penafsiran menjadi sebuah masalah ?

C.  Pembahasan
1.    Perbedaan dalam Penafsiran al-Qur’an
Dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an, kata ‘ikhtilaf’ adalah yang mewakili kata perbedaan, dalam arti perbedaan pendapat, berselisih atau tidak sepaham[3]. Sementara itu DR. Wasim Fathullah sebagaimana dikutip Abdul Karim mendefinisikan ikhtilaf (perbedaan) dalam penafsiran al-Qur’ān sebagai “ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ālā dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.[4]
Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam menafsirkan al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf. Akan tetapi, Musa’id ibn Sulaiman al-Ṭayyār dalam Fuṣūl fī Uṣul al-Tafsīr sebagaimana juga dikutip Abdul Karim membagi ikhtilaf menjadi dua jenis yaitu Ikhtilāf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif) dan Ikhtilāf taḍaḍḍ (perbedaan yang bersifat kontradiktif).
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilāf tanawwu’ adalah:
·      Sebuah kondisi dimana memungkinkan penerapan makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat yang dimaksud, dan ini hanya memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang shahih.
·      Makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda.
·      Terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.
Contoh ikhtilāf tanawwu’ seperti beberapa penafsiran Mufassir mengenai tafsir ash shirotol mustaqim dalam Q.S. al-Fatichah. Ketika kita mencoba menengok Tafsir al-Khozin kita kan temui bahwa beliau Syaikh ‘Alauddin menafsirkan dengan  thoriqah hasanah (jalan yang baik), kemudian beliau juga mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan shirotol mustaqim dengan agama islam[5]. Berbeda dengan penafsiran Al-Bagawi, beliau menjadikan kitab Allah sebagai makna penafsiran dari Shirotol Mustaqim, juga kemudian mengutip penafsiran Ibnu Mas’ud bahwa yang dimaksud Shirotol Mustaqim adalah jalan menuju syurga.[6] Beberapa makna yang ada memang semuanya berbeda namun kesemuanya tidak saling menafikan satu sama lain karena Al-Qur’an merupakan sumber petunjuk bagi orang Islam dimana setiap pribadi muslim senantiasa mengharapkan keselamatan dunia akhirat dan masuk syurga di hari kemudian.
Sedangkan ikhtilāf taḍaḍḍ adalah makna-makna yang saling menafikan satu sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu di antaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.[7] Sebagai contoh adalah ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi’i dengan Imam Ahmad pada ayat :
 
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun[8].

Lafadz (أو لامستم النّساء ...), menurut Imam Asy-Syafi’i, menyentuh di situ makna hakiki karena tidak ada illat/sebab dan qorinah/petunjuk yang mengharuskan terjadinya pemalingan makna ke makna majazi[9], karenanya menyentuh perempuan menurutnya membatalkan wudhu, sebaliknya menurut Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat majazy berdasarkan pada ayat :

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.[10]

Karenanya menurutnya menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu walaupun berdosa jika bukan mahramnya, karena hukum keduanya memang berbeda.[11]

2.    Sebab-sebab perbedaan penafsiran

Hal-hal yang menyebabkan berbagai perbedaan dalam penafsiran yang muncul dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu faktor internal dan eksternal[12].
a.    Faktor internal
Faktor internal adalah hal-hal yang ada didalam teks Al-Qur’a itu sendiri yang dianggap sebagai penyebab perbedaan penafsiran, antara lain:
1)   Kondisi obyektif teks Al-qur’an itu sendiri yang memungkinkan dibaca secara beragam.
Dalam kajian ilmu tafsir perbedaan ragam dalam membaca al-Qur’an disebut dengan qiraat. Qiraat berkonotasi sebagai suatu aliran yang melafalkan Al Qur’an yang dipelopori oleh salah seorang Imam qiraat yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari segi pengucapan huruf-huruf atau hay’ahnya, tapi periwayatannya qiraat tersebut darinya serta jalur yang dilaluinya disepakati. Meskipun qiraat bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum), namun tak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qiraat ada yang berpengaruh besar terhadap produk hukum. Sebagai contoh penafsiran kata dalam ayat:
Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu[13]
Berkaitan dengan ayat di atas, di antara imam qira’at tujuh, _sebagaimana Rosihan Anwar yang dikutip Ahmad Mukhlish_, yaitu Abu Bakar Syu’bah (qira’at ‘Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah, dan al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya  yang sedang haid, kecuali telah suci atau telah berhenti dari keluarnya darah haid.[14] Sedangkan berdasarkan qira’at يَطَّهَّرْنَ maka penafsiran akan bergeser menjadi “Janganlah kamu bersenggama dengan mereka sampai mereka bersuciالمطهّر)). Kemudian ditambahkan Hassanuddin AF sebagaimana Izza Rohman_  bahwa, ulama masih berbeda pendapat dalam menafsirkan التطهّر di sini. Ada yang menafsirkannya sebagai al-istighsal bi al-ma’i (mandi dengan air), ada yang menafsirkannya menjadi al-wudhu’ (berwudhu), ghasl al-farj (mencuci farj), dan ghasl al-mauhi`wa al-wudhu’ (mencuci tempat keluarnya dan berwudhu).[15]
2)      Kondisi obyektif dari kata-kata dalam Al-qur’an yang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam.
Di dalam al-Qur’an  sering kali satu kata mempunyai banyak arti, sebagaimana bahasa Arab yang kaya akan makna. Kadang suatu kata dapat berarti hakiki atau majazi. Seperti kata dharaba tidak selamanya berati ‘memukul tapi juga bisa berarti ‘membuat’ atau ‘memberikan contoh’.
3)      Adanya ambiguitas atau makna ganda yang terdapat dalam Al-qur’an.
Dengan adanya kata-kata musytarak (bermakna ganda) sperti kata al-Quru’ yang dapat berarti suci dapat pula haid. Demikian pula kata-kata yang dapat diartikan hakiki atau majas, seperti kata lamasa yang dalam kata au lamastum al—nisa’ dapat berarti menyentuh atau jimak.[16]

b.    Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar teks Al-Qur’an yaitu meliputi:
1)   Kondisi subyektif si mufassir sendiri seperti kondisi sosio kultural, politik, dan bahkan keahlian atau ilmu yang ditekuninya. Termasuk pula riwayat-riwayat atau sumber yang dijadikan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat. Seperti halnya al-Farra’ dengan Ma’anil Qur’annya yang cenderung mengupas persoalan-persoalan gramatik dalam al-Qur’an[17], tentu akan berbeda dengan al_Zamakhsyari dengan al_Kasysyafnya yang lebih terkenal dengan pengungkapan kemu’jizatan al-Qur’an dalam balaghonya disamping bagaimana beliau membela mu’tazilah yang diikutinya dengan ra’yu yang digunakannya[18].
2)      Persinggungan dunia Islam dengan peradaban di luar Islam seperti yunani, persia, dan dunia barat. Ini dapat kita lihat dengan jelas bagaimana tokoh-tokoh mufassir kontemporer dengan berbagai metode dan pemikirannya yang diambil dari Barat. Seperti Mahmoud Muhammad Thaha dengan teori evolusi syari’ahnya, Shahrur dengan teori limitnya, Muhammad Arkoun dengan 3 pendekatan semiotik, antropologis dan historisnya, dan lain-lainya yang tentunya berbeda dengan penafsiran para mufassir di era klasik.[19]
3)      Kondisi politik dan teologis yang ada melingkupi tempat mufassir[20]. Contoh pengaruh mencolok ini dapat kita lihat dalam Tafsir fi Dzhilalil Qur’an karya Sayyid kutub yang ditulis dipenjara lantaran pembelaannya terhadap ikhwanul muslimin,_tentu akan berbeda nuansanya dengan Tafsir al-Misbah misalnya, dimana Quraisy Shihab yang hidup di Indonesia dengan kondisi politik dan teologis seperti ini. Pada isi penafsiran Sayyid Qutub mengarah pada pergerakan. Beliau mulai menyerukan kebangkitan Islam dan menyerukan dimulainya kehidupan berdasarkan Islam. Sayyid Quthb menyerukan kepada umat agar kembali aqidah salafush shalih. Pemikiran beliau sendiri adalah pemikiran salafi jihadi, yang bersih dari noda. Pemikirannya terfokus pada tema tauhid yang murni, penjelasan makna hakiki La Ilaaha illallah, penjelasan sifat hakiki iman seperti disebutkan al-Qur’an dan as-Sunnah,dan kewajiban jihad.[21]

3.    Perbedaan Penafsiran sebagai Problem

Penafsiran yang beranekaragam bentuk, corak, metodenya, orientasi ataupun motivasi penafsir satu sisi merupakan kekayaan khazanah Islam dalam tafsir. Akan tetapi di sisi lain keberadaannya merupakan sebuah masalah besar yang perlu mendapatkan perhatian karena al-Qur’an yang dalam penururunannya merupakan petunjuk bagi segenap manusia namun pada keberadaannya penyikapan kepada Kitab Suci ini seringkali beruwujud pembelaan suatu kelompok untuk menyerang kelompok lain yang sama-sama beragama Islam.
Dalam hal ini ketika para mufassir melahirkan penafsiran yang berbeda-beda dan beraneka ragam, pemakalah melihat bahwa masalah yang ada dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni problem dalam  penafsiran (dan sekitarnya) itu sendiri dan problem bagi kita sebagai orang yang hidup di saat sudah lahir berbagai macam penafsiran atau pemakalah sebut sebagai pembaca produk tafsir.
Yang pertama, dalam penafsiran tersendiri, problem tersebut dapat kita lihat ketika penyebab perbedaan penafsiran yang beraneka ragam sebagaimana disebutkan di atas, diantaranya muncul penafsiran yang tidak murni lagi sebagai upaya untuk menggali makna yang ada di dalam al-Qur’an untuk nantinya dapat dipahami dan diamalkan kandungannya. Namun ada kalanya penafsiran sebagai akibat keasyikan mufassir yang membidangi ilmu tertentu sehingga pembahasan yang dilakukan jauh melebihi dari membuka tabir makna al-Qur’an, akan tetapi sibuk berdiskusi tentang suatu tema yang ada dalam suatu ayat. Mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer, seperti astronomi, geologi, kimia, biologi dan yang lainnya untuk menjelaskan sasaran dan makna-maknanya.
Pro kontra pun tak dapat dihindari di kalangan ulama. Sebagian yang tidak setuju berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab petunjuk untuk ummat manusia. Masalahnya adalah, jika seseorang berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat al-Qur’an, maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh oleh teori yang baru, maka akan menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan bahkan seolah kebenaran ayat al-Qur’an dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan.[22] Al-Qur’an bukanlah buku ilmu pengetahuan, tapi di dalamnya mengandung banyak ayat yang mengandung pesan-pesan moral akan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan.
Ada juga diantara penafsiran yang dihasilkan oleh orang dari kalangan madzhab tertentu baik fikih ataupun kalam, mereka dengan teguh membela madzhabnya dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu, dengan tidak segan menggunakan penakwilan makna suatu kata dalam ayat yang dhohir untuk disesuaikan dengan prinsip madzhabnya, dan bahkan demi menyerang madzhab lain. Sebagaimana para mufassir Mu’tazilah dalam menyikapi ayat:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ   4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ  
Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhnnya mereka melihat. (Q.S. Qiyamah : 22-23)

Mereka mengatakan sebagaimana dikutip Shobirin dan Umma Farida, “Ketahuilah bahwa saudara-saudara kami dengan tegas menyangkal apa yang diduga oleh orang-orang yang meyakini kemungkinan melihat Allah (ru’yah) dengan alasan firman Allah tersebut, dengan mengajukan beberapa argumen.  Mereka menjelaskan bahwa kata nazhar di sini tidak berarti melihat, dan melihat tidak merupakan  salah satu makna dari nazhar. Nazhar itu bermacam-macam, antara lain (1) menggerakkan biji mata ke arah suatu benda untuk melihatnya, (2) menunggu, (3) simpati dan berbaik hati, dan (4) berfikir dan merenung. Mereka mengatakan, “jika melihat (ru’yah) bukan salah satu bagian  dari nazhar, berarti pendapat yang mempersamakan arti nazhar dengan ru’yah tidak relevan dengan arti lahiriah tersebut. Sehingga diperlukan mencari ta’wil ayat dengan arti lain selain ru’yah itu. Sebagian dari tokoh mu’tazilah memberikan pena’wilan dengan arti menunggu pahala meskipun kenyatannya pahala yang ditunggu itu tidak disebut dalam ayat di atas.[23]
Adapun yang ke dua, problem yang ada ketika banyak sekali perbedaan dalam penafsiran, terkadang menjadikan pembaca bingung dalam memahami al-Qur’an. Maka, pembaca harus cermat dan cerdas memilih dan memilah pendapat mufassir dalam menyingkap makna al-Qur’an untuk dijadikan petunjuk. Karena Ummat Islam dapat menjadi lebih baik apabila mereka senantiasa berpedoman kepada Kitabullah sebagaimana yang telah dilakukan oleh para salafus sholih, membacanya dengan benar dari segi bacaan, menghayati dan memahaminya, baik di masjid, musholla atau rumah-rumah, di dalam sholat atau di luarnya, sehingga nampaklah bekasan-bekasan bacaan al-Qur’an pada diri mereka[24].

D.  Penutup
1.    Simpulan
Perbedaan/ikhtilaf penafsiran dapat diartikan sebagai ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ālā dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.
Adapun penyebab terjadinya perbedaan penafsiran banyak sekali yang dapat digolongkan ke dalam faktor internal yang ada dalaal-Qur’an itu sendiri, dan di luar al-Qur’an sebagai faktor eksternal. Kemudian masalah yang muncul dari perbedaan penafsiran dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni problem dalam  penafsiran (dan sekitarnya) itu sendiri dan problem bagi pembaca produk tafsir.

2.    Kata Penutup
Demikianlah sedikit uraian pemakalah tentang perbedaan penafsiran dan hal-hal yang menyebabkannya. Tentunya masih jauh dari kata sempurna, bahkan kesalahannyapun tak dapat dipungkiri ada di sana sini. Namun dengan segala kerendahan hati, pemakalah memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan kemanfaatan adanya. Terima kasih.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka progresif, cet. 14, 1997.
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004.
Sobirin dan Umma Farida, Madzahib At-Fafsir,Kudus:STAIN KUDUS,2008
Syaikh Abu Muhammad Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, juz 1, hlm. 54 dalam Maktabah Syamilah
Syaikh ‘Alauddin Ali bin Muhamma al-Khazin, Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at_Tanzil,  Juz 1, hlm. 3 dalam Maktabah Syamilah
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Rizki Putra, cet. 5, 2013
Abdul Karim, Menarik Benang Merah Pluralitas Penafsiran Al-Qur’an, dalam https://abdulkarim06.wordpress.com/2013/01/29/menarik-benang-merah-pluralitas-penafsiran-al-quran-3/[1]

Ahmad Mukhlish, Pengaruh perbedaan Qira’at terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an dalam http://mukhlis11ahmad.blogspot.com/2014/11/pengaruh-perbedaan-qiraat-terhadap.html

Artikel seputar Islam, Al-Qur'an, Perbandingan Agama, Trik Tips Umum dan lain sebagainyaBeberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama dalam http://musliminews.blogspot.com/2014/07/beberapa-faktor-terjadinya-ikhtilaf_4.html

Izza Rohman, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Penafsiran dalam https://quranicsciences.wordpress.com/2008/11/17/perbedaan-qiraat-dan-pengaruhnya-terhadap-penafsiran/

Muh Natsir, Studi Analisis tentang Tafsir fi Dzilalil Qur’an, dalam http://borntobeamujahid.blogspot.com/2009/05/study-analisis-tentang-tafsir-fi.html



[1] Muhammad Mansur, Ma’anil Al-Qur’an Karya Al-Farra’ dalam Studi Kitab Tafsir, edit. A. Rofiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004, hlm. 11.
[2]Abdul Karim, Menarik Benang Merah Pluralitas Penafsiran Al-Qur’an, dalam https://abdulkarim06.wordpress.com/2013/01/29/menarik-benang-merah-pluralitas-penafsiran-al-quran-3/ (Kamis, 05 Maret 2015: 11.06 WIB)
[3]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka progresif, cet. 14, 1997, hlm. 362.
[4]Abdul Karim, Op.Cit.
[5]Syaikh ‘Alauddin Ali bin Muhamma al-Khazin, Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at_Tanzil,  Juz 1, hlm. 3 dalam Maktabah Syamilah
[6]Syaikh Abu Muhammad Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, juz 1, hlm. 54 dalam Maktabah Syamilah
[7]Abdul Karim, Op.Cit.
[8]Al-Qur’an al-Karim Surah an-Nisa’ ayat 43.
[9] Majaz adalah "Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya." Seperti : singa untuk laki-laki yang pemberani. Yang dimaksud dengan  "yang digunakan" : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Yang dimaksud dengan "bukan pada asal  peletakannya" adalah Hakikat.Tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan dalil yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat). (http://rumahislam.com/nabi-dan-rasul/50-ushul-fiqih/171-hakikat-majaz.html) 11 Maret 2015
[10]Al-Qur’an al-Karim Surah an-Baqarah ayat 237.
[11]Beberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama dalam http://musliminews.blogspot.com/2014/07/beberapa-faktor-terjadinya-ikhtilaf_4.html (Kamis, 05 Maret 2015: 12.45 WIB)
[12] Sobirin dan Umma Farida, Madzahib At-Fafsir,Kudus:STAIN KUDUS,2008, hlm.10-12
[13] . Al-Qur’an al-Karim Surah Al- Baqarah ayat 222.

[14]Ahmad Mukhlish, Pengaruh perbedaan Qira’at terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an dalam http://mukhlis11ahmad.blogspot.com/2014/11/pengaruh-perbedaan-qiraat-terhadap.html (15 Maret 2015 14.20)

[15]Izza Rohman, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Penafsiran dalam https://quranicsciences.wordpress.com/2008/11/17/perbedaan-qiraat-dan-pengaruhnya-terhadap-penafsiran/ (15 Maret 2015, 14.5

[16] Sobirin dan Umma Farida, Op.Cit.,
[17] Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004, hlm.12
[18] Ibid. Hlm.59
[19]Sobirin dan Umma Farida, Op.Cit., hlm. 157-164
[20] Ibid., hlm.9-13
[21]Muh Natsir, Studi Analisis tentang Tafsir fi Dzilalil Qur’an, dalam http://borntobeamujahid.blogspot.com/2009/05/study-analisis-tentang-tafsir-fi.html (Kamis, 12 Maret 2015, 01:36 WIB)
[22] Sobirin dan Umma Farida, Op.Cit., hlm. 92
[23]Ibid., hlm. 85
[24] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Rizki Putra, cet. 5, 2013, hlm. 200.