PERBEDAAN
PENAFSIRAN DAN SEBAB-SEBABNYA
A.
Pendahuluan
Sebagai
kitab petunjuk yang sholih li kulli zaman wa makan, Al-Qur’an al-Karim
senantiasa dibaca dan ditafsirkan dalam kehidupan penafsir di setiap masanya.
Al-Qur’an yang turun pada zaman Nabi, teksnya tidak akan lagi berubah, tetap
sebagaimana 30 juz yang kita baca itu, akan tetapi pemaknaan selalu berkembang
sesuai dengan persoalan yang dihadapi setiap waktu. Bahkan Muhammad Mansur
menyebutkan bahwa tafsir adalah anak zaman. Iakan selalu mendemonstrasikan
karakter ruang waktu di mana dan kapan ia lahir.[1]
Maka tidak mengherankan apabila begitu banyak kitab tafsir yang kita temui
memiliki warna, corak, metode, pendekatan yang tidak sama bahkan terkadang satu
sama lain saling bertentangan. Perbedaan penafsiran inilah yang menjadi masalah
diantara masalah-masalah dalam tafsir al-Qur’an. Karena tak jarang kita
tercengan dengan produk penafsiran yang mungkin aneh, bertentangan, unik,
maupun terkesan ‘wah’ bagi kita karena belum tahu seluk beluk kenapa al-Qur’an
yang satu melahirkan beraneka ragam bentuk penafsiran.
Adanya
keragaman atau perbedaan dalam penfsiran al-Qur’an adalah merupakan kenyataan
yang tidak bisa dipungkiri. Abd al-Wahhab Abd al-Salam Thawilah sebagaimana
dikutip Abdul Karim menulis; ‘adanya perbedaan dalam memahami teks al-Qur’an
merupakan suatu keniscayaan mengingat karakter manusia yang selalu berbeda
pendapat dalam memahami atau menyikapi sesuatu, serta karakter bahasa Arab yang
memiliki bahasa yang sangat luas dan makna serta uslub yang berbeda dalam
berbicara kepada hati dan akal’[2].
Hal inilah yang akan pemakalah bahas dalam makalah ini di bawah judul “Perbedaan
Penafsiran dan Sebab-sebabnya”.
B.
Rumusan
Masalah
Pembahasan
dalam makalah ini dapat pemakalah rumuskan sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimakasud dengan perbedaan dalam penafsiran al-Qur’an ?
2.
Apa
saja penyebab perbedaan penafsiran al-Qur’an ?
3.
Bagaimana
perbedaan penafsiran menjadi sebuah masalah ?
C.
Pembahasan
1.
Perbedaan dalam Penafsiran al-Qur’an
Dalam
bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an, kata ‘ikhtilaf’ adalah yang
mewakili kata perbedaan, dalam arti perbedaan pendapat, berselisih atau tidak
sepaham[3].
Sementara itu DR. Wasim Fathullah sebagaimana dikutip Abdul Karim
mendefinisikan ikhtilaf (perbedaan) dalam penafsiran al-Qur’ān sebagai
“ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat
atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ālā
dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang
tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.[4]
Definisi
ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam menafsirkan
al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf.
Akan tetapi, Musa’id ibn Sulaiman al-Ṭayyār dalam Fuṣūl fī Uṣul al-Tafsīr sebagaimana
juga dikutip Abdul Karim membagi ikhtilaf menjadi dua jenis yaitu Ikhtilāf
tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif) dan Ikhtilāf taḍaḍḍ
(perbedaan yang bersifat kontradiktif).
Adapun
yang dimaksud dengan ikhtilāf tanawwu’ adalah:
·
Sebuah kondisi dimana memungkinkan penerapan
makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat yang dimaksud, dan ini hanya
memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang shahih.
·
Makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna
satu sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda.
·
Terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak
saling menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.
Contoh ikhtilāf tanawwu’
seperti beberapa penafsiran Mufassir mengenai tafsir ash shirotol mustaqim
dalam Q.S. al-Fatichah. Ketika kita mencoba menengok Tafsir al-Khozin kita kan
temui bahwa beliau Syaikh ‘Alauddin menafsirkan dengan thoriqah hasanah (jalan yang baik),
kemudian beliau juga mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan shirotol
mustaqim dengan agama islam[5]. Berbeda dengan penafsiran Al-Bagawi, beliau menjadikan kitab
Allah sebagai makna penafsiran dari Shirotol Mustaqim, juga kemudian
mengutip penafsiran Ibnu Mas’ud bahwa yang dimaksud Shirotol Mustaqim adalah
jalan menuju syurga.[6]
Beberapa makna yang ada memang semuanya berbeda namun kesemuanya tidak saling
menafikan satu sama lain karena Al-Qur’an merupakan sumber petunjuk bagi orang
Islam dimana setiap pribadi muslim senantiasa mengharapkan keselamatan dunia
akhirat dan masuk syurga di hari kemudian.
Sedangkan
ikhtilāf taḍaḍḍ adalah makna-makna yang saling menafikan satu sama lain,
dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu di antaranya
diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.[7] Sebagai
contoh adalah ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi’i dengan Imam Ahmad pada
ayat :
Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun[8].
Lafadz (أو لامستم النّساء ...), menurut Imam Asy-Syafi’i, menyentuh di situ makna hakiki
karena tidak ada illat/sebab dan qorinah/petunjuk yang
mengharuskan terjadinya pemalingan makna ke makna majazi[9],
karenanya menyentuh perempuan menurutnya membatalkan wudhu, sebaliknya menurut
Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat majazy berdasarkan pada ayat :
Jika
kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh
orang yang memegang ikatan nikah.[10]
Karenanya
menurutnya menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu walaupun berdosa jika
bukan mahramnya, karena hukum keduanya memang berbeda.[11]
2.
Sebab-sebab perbedaan penafsiran
Hal-hal
yang menyebabkan berbagai perbedaan dalam penafsiran yang muncul dapat digolongkan
menjadi dua kelompok, yaitu faktor internal dan eksternal[12].
a.
Faktor internal
Faktor
internal adalah hal-hal yang ada didalam teks Al-Qur’a itu sendiri yang
dianggap sebagai penyebab perbedaan penafsiran, antara lain:
1)
Kondisi
obyektif teks Al-qur’an itu sendiri yang memungkinkan dibaca secara beragam.
Dalam kajian ilmu tafsir perbedaan ragam dalam membaca al-Qur’an
disebut dengan qiraat. Qiraat berkonotasi sebagai suatu aliran yang
melafalkan Al Qur’an yang dipelopori oleh salah seorang Imam qiraat yang
berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari segi pengucapan huruf-huruf
atau hay’ahnya, tapi periwayatannya qiraat tersebut darinya serta jalur
yang dilaluinya disepakati. Meskipun qiraat bukan satu-satunya yang
dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum), namun tak dapat
dipungkiri bahwa perbedaan qiraat ada yang berpengaruh besar terhadap
produk hukum. Sebagai contoh penafsiran kata dalam ayat:
Dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu[13]
Berkaitan dengan ayat di atas, di antara imam qira’at tujuh,
_sebagaimana Rosihan Anwar yang dikutip Ahmad Mukhlish_, yaitu Abu Bakar
Syu’bah (qira’at ‘Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah, dan al-Kisa’i membaca kata “yathhurna”
dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya
menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama
fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang
membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan
berhubungan dengan istrinya yang sedang
haid, kecuali telah suci atau telah berhenti dari keluarnya darah haid.[14] Sedangkan berdasarkan qira’at يَطَّهَّرْنَ maka penafsiran akan bergeser menjadi
“Janganlah kamu bersenggama dengan mereka sampai mereka bersuciالمطهّر)).
Kemudian ditambahkan Hassanuddin AF sebagaimana Izza Rohman_ bahwa, ulama masih berbeda pendapat dalam
menafsirkan التطهّر di sini. Ada yang menafsirkannya sebagai al-istighsal bi
al-ma’i (mandi dengan air), ada yang menafsirkannya menjadi al-wudhu’
(berwudhu), ghasl al-farj (mencuci farj), dan ghasl al-mauhi`wa
al-wudhu’ (mencuci tempat keluarnya dan berwudhu).[15]
2)
Kondisi
obyektif dari kata-kata dalam Al-qur’an yang memungkinkan untuk ditafsirkan
secara beragam.
Di dalam al-Qur’an sering
kali satu kata mempunyai banyak arti, sebagaimana bahasa Arab yang kaya akan
makna. Kadang suatu kata dapat berarti hakiki atau majazi.
Seperti kata dharaba tidak selamanya berati ‘memukul tapi juga bisa
berarti ‘membuat’ atau ‘memberikan contoh’.
3)
Adanya
ambiguitas atau makna ganda yang terdapat dalam Al-qur’an.
Dengan adanya kata-kata musytarak (bermakna ganda) sperti
kata al-Quru’ yang dapat berarti suci dapat pula haid. Demikian
pula kata-kata yang dapat diartikan hakiki atau majas, seperti kata lamasa
yang dalam kata au lamastum al—nisa’ dapat berarti menyentuh atau jimak.[16]
b.
Faktor Eksternal
Faktor
eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar teks Al-Qur’an yaitu
meliputi:
1)
Kondisi
subyektif si mufassir sendiri seperti kondisi sosio kultural, politik, dan
bahkan keahlian atau ilmu yang ditekuninya. Termasuk pula riwayat-riwayat atau
sumber yang dijadikan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat. Seperti halnya
al-Farra’ dengan Ma’anil Qur’annya yang cenderung mengupas
persoalan-persoalan gramatik dalam al-Qur’an[17],
tentu akan berbeda dengan al_Zamakhsyari dengan al_Kasysyafnya yang
lebih terkenal dengan pengungkapan kemu’jizatan al-Qur’an dalam balaghonya
disamping bagaimana beliau membela mu’tazilah yang diikutinya dengan ra’yu
yang digunakannya[18].
2)
Persinggungan
dunia Islam dengan peradaban di luar Islam seperti yunani, persia, dan dunia
barat. Ini dapat kita lihat dengan jelas bagaimana tokoh-tokoh mufassir
kontemporer dengan berbagai metode dan pemikirannya yang diambil dari Barat.
Seperti Mahmoud Muhammad Thaha dengan teori evolusi syari’ahnya, Shahrur dengan teori
limitnya, Muhammad Arkoun dengan 3 pendekatan semiotik, antropologis dan historisnya,
dan lain-lainya yang tentunya berbeda dengan penafsiran para mufassir di era
klasik.[19]
3)
Kondisi
politik dan teologis yang ada melingkupi tempat mufassir[20].
Contoh pengaruh mencolok ini dapat kita lihat dalam Tafsir fi Dzhilalil
Qur’an karya Sayyid kutub yang ditulis dipenjara lantaran pembelaannya
terhadap ikhwanul muslimin,_tentu akan berbeda nuansanya dengan Tafsir
al-Misbah misalnya, dimana Quraisy Shihab yang hidup di Indonesia dengan kondisi
politik dan teologis seperti ini. Pada isi penafsiran Sayyid Qutub mengarah
pada pergerakan. Beliau mulai menyerukan kebangkitan Islam dan menyerukan
dimulainya kehidupan berdasarkan Islam. Sayyid Quthb menyerukan kepada umat
agar kembali aqidah salafush shalih. Pemikiran beliau sendiri adalah pemikiran
salafi jihadi, yang bersih dari noda. Pemikirannya terfokus pada tema tauhid
yang murni, penjelasan makna hakiki La Ilaaha illallah, penjelasan sifat
hakiki iman seperti disebutkan al-Qur’an dan as-Sunnah,dan kewajiban jihad.[21]
3.
Perbedaan Penafsiran sebagai Problem
Penafsiran yang beranekaragam bentuk, corak, metodenya, orientasi
ataupun motivasi penafsir satu sisi merupakan kekayaan khazanah Islam dalam
tafsir. Akan tetapi di sisi lain keberadaannya merupakan sebuah masalah besar
yang perlu mendapatkan perhatian karena al-Qur’an yang dalam penururunannya
merupakan petunjuk bagi segenap manusia namun pada keberadaannya penyikapan
kepada Kitab Suci ini seringkali beruwujud pembelaan suatu kelompok untuk
menyerang kelompok lain yang sama-sama beragama Islam.
Dalam hal ini ketika para mufassir melahirkan penafsiran yang
berbeda-beda dan beraneka ragam, pemakalah melihat bahwa masalah yang ada dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni problem dalam penafsiran (dan sekitarnya) itu sendiri dan
problem bagi kita sebagai orang yang hidup di saat sudah lahir berbagai macam
penafsiran atau pemakalah sebut sebagai pembaca produk tafsir.
Yang pertama, dalam
penafsiran tersendiri, problem tersebut dapat kita lihat ketika penyebab
perbedaan penafsiran yang beraneka ragam sebagaimana disebutkan di atas,
diantaranya muncul penafsiran yang tidak murni lagi sebagai upaya untuk
menggali makna yang ada di dalam al-Qur’an untuk nantinya dapat dipahami dan
diamalkan kandungannya. Namun ada kalanya penafsiran sebagai akibat keasyikan
mufassir yang membidangi ilmu tertentu sehingga pembahasan yang dilakukan jauh
melebihi dari membuka tabir makna al-Qur’an, akan tetapi sibuk berdiskusi
tentang suatu tema yang ada dalam suatu ayat. Mereka menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer, seperti
astronomi, geologi, kimia, biologi dan yang lainnya untuk menjelaskan sasaran
dan makna-maknanya.
Pro kontra pun tak dapat dihindari di kalangan ulama. Sebagian yang
tidak setuju berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah buku ilmu pengetahuan,
melainkan kitab petunjuk untuk ummat manusia. Masalahnya adalah, jika seseorang
berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat al-Qur’an,
maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh oleh teori yang baru, maka akan
menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan bahkan seolah kebenaran
ayat al-Qur’an dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan.[22]
Al-Qur’an bukanlah buku ilmu pengetahuan, tapi di dalamnya mengandung banyak
ayat yang mengandung pesan-pesan moral akan pentingnya mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Ada juga diantara penafsiran yang dihasilkan oleh orang dari
kalangan madzhab tertentu baik fikih ataupun kalam, mereka dengan teguh membela
madzhabnya dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu, dengan tidak segan menggunakan
penakwilan makna suatu kata dalam ayat yang dhohir untuk disesuaikan dengan
prinsip madzhabnya, dan bahkan demi menyerang madzhab lain. Sebagaimana para
mufassir Mu’tazilah dalam menyikapi ayat:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
Wajah-wajah
orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhnnya mereka melihat. (Q.S.
Qiyamah : 22-23)
Mereka mengatakan sebagaimana dikutip Shobirin dan Umma Farida,
“Ketahuilah bahwa saudara-saudara kami dengan tegas menyangkal apa yang diduga
oleh orang-orang yang meyakini kemungkinan melihat Allah (ru’yah) dengan
alasan firman Allah tersebut, dengan mengajukan beberapa argumen. Mereka menjelaskan bahwa kata nazhar
di sini tidak berarti melihat, dan melihat tidak merupakan salah satu makna dari nazhar. Nazhar
itu bermacam-macam, antara lain (1) menggerakkan biji mata ke arah suatu benda
untuk melihatnya, (2) menunggu, (3) simpati dan berbaik hati, dan (4) berfikir
dan merenung. Mereka mengatakan, “jika melihat (ru’yah) bukan salah satu
bagian dari nazhar, berarti
pendapat yang mempersamakan arti nazhar dengan ru’yah tidak
relevan dengan arti lahiriah tersebut. Sehingga diperlukan mencari ta’wil ayat
dengan arti lain selain ru’yah itu. Sebagian dari tokoh mu’tazilah memberikan
pena’wilan dengan arti menunggu pahala meskipun kenyatannya pahala yang
ditunggu itu tidak disebut dalam ayat di atas.[23]
Adapun yang ke dua, problem yang ada ketika banyak sekali
perbedaan dalam penafsiran, terkadang menjadikan pembaca bingung dalam memahami
al-Qur’an. Maka, pembaca harus cermat dan cerdas memilih dan memilah pendapat mufassir
dalam menyingkap makna al-Qur’an untuk dijadikan petunjuk. Karena Ummat Islam
dapat menjadi lebih baik apabila mereka senantiasa berpedoman kepada Kitabullah
sebagaimana yang telah dilakukan oleh para salafus sholih, membacanya
dengan benar dari segi bacaan, menghayati dan memahaminya, baik di masjid,
musholla atau rumah-rumah, di dalam sholat atau di luarnya, sehingga nampaklah
bekasan-bekasan bacaan al-Qur’an pada diri mereka[24].
D.
Penutup
1.
Simpulan
Perbedaan/ikhtilaf penafsiran dapat diartikan sebagai
ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat
atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ālā
dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang
tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.
Adapun penyebab terjadinya perbedaan penafsiran banyak sekali yang
dapat digolongkan ke dalam faktor internal yang ada dalaal-Qur’an itu sendiri,
dan di luar al-Qur’an sebagai faktor eksternal. Kemudian masalah yang muncul
dari perbedaan penafsiran dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni
problem dalam penafsiran (dan
sekitarnya) itu sendiri dan problem bagi pembaca produk tafsir.
2.
Kata
Penutup
Demikianlah sedikit uraian pemakalah tentang perbedaan penafsiran
dan hal-hal yang menyebabkannya. Tentunya masih jauh dari kata sempurna, bahkan
kesalahannyapun tak dapat dipungkiri ada di sana sini. Namun dengan segala
kerendahan hati, pemakalah memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan
kemanfaatan adanya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim
Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
progresif, cet. 14, 1997.
Dosen Tafsir
Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004.
Sobirin dan
Umma Farida, Madzahib At-Fafsir,Kudus:STAIN KUDUS,2008
Syaikh Abu Muhammad Husain bin Mas’ud al-Baghawi,
Ma’alim at-Tanzil, juz 1, hlm. 54 dalam Maktabah Syamilah
Syaikh
‘Alauddin Ali bin Muhamma al-Khazin, Lubab
at-Ta’wil fi Ma’ani at_Tanzil, Juz
1, hlm. 3 dalam Maktabah Syamilah
Teungku M.
Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Rizki Putra,
cet. 5, 2013
Abdul Karim,
Menarik Benang Merah Pluralitas Penafsiran Al-Qur’an, dalam https://abdulkarim06.wordpress.com/2013/01/29/menarik-benang-merah-pluralitas-penafsiran-al-quran-3/[1]
Ahmad Mukhlish, Pengaruh perbedaan Qira’at terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an dalam http://mukhlis11ahmad.blogspot.com/2014/11/pengaruh-perbedaan-qiraat-terhadap.html
Artikel seputar
Islam, Al-Qur'an, Perbandingan Agama, Trik Tips Umum dan lain sebagainyaBeberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama
dalam http://musliminews.blogspot.com/2014/07/beberapa-faktor-terjadinya-ikhtilaf_4.html
Izza Rohman, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Penafsiran dalam https://quranicsciences.wordpress.com/2008/11/17/perbedaan-qiraat-dan-pengaruhnya-terhadap-penafsiran/
Muh Natsir, Studi
Analisis tentang Tafsir fi Dzilalil Qur’an, dalam http://borntobeamujahid.blogspot.com/2009/05/study-analisis-tentang-tafsir-fi.html
[1] Muhammad
Mansur, Ma’anil Al-Qur’an Karya Al-Farra’ dalam Studi Kitab Tafsir, edit.
A. Rofiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004, hlm. 11.
[2]Abdul Karim,
Menarik Benang Merah Pluralitas Penafsiran Al-Qur’an, dalam https://abdulkarim06.wordpress.com/2013/01/29/menarik-benang-merah-pluralitas-penafsiran-al-quran-3/
(Kamis, 05 Maret 2015: 11.06 WIB)
[3]Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
progresif, cet. 14, 1997, hlm. 362.
[4]Abdul Karim, Op.Cit.
[5]Syaikh
‘Alauddin Ali bin Muhamma al-Khazin, Lubab
at-Ta’wil fi Ma’ani at_Tanzil, Juz
1, hlm. 3 dalam Maktabah Syamilah
[6]Syaikh Abu Muhammad Husain bin Mas’ud al-Baghawi,
Ma’alim at-Tanzil, juz 1, hlm. 54 dalam
Maktabah Syamilah
[7]Abdul Karim, Op.Cit.
[8]Al-Qur’an
al-Karim Surah an-Nisa’ ayat 43.
[9] Majaz adalah
"Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya." Seperti :
singa untuk laki-laki yang pemberani. Yang dimaksud dengan
"yang digunakan" : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan
hakikat dan majaz. Yang dimaksud dengan "bukan pada
asal peletakannya" adalah Hakikat.Tidak boleh membawa lafadz
pada makna majaznya kecuali dengan dalil yang shohih yang menghalangi lafadz
tersebut dari maksud yang hakiki, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai
qorinah (penguat). (http://rumahislam.com/nabi-dan-rasul/50-ushul-fiqih/171-hakikat-majaz.html) 11 Maret 2015
[10]Al-Qur’an
al-Karim Surah an-Baqarah ayat 237.
[11]Beberapa Faktor
Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama dalam http://musliminews.blogspot.com/2014/07/beberapa-faktor-terjadinya-ikhtilaf_4.html
(Kamis, 05 Maret 2015: 12.45 WIB)
[12] Sobirin dan
Umma Farida, Madzahib At-Fafsir,Kudus:STAIN KUDUS,2008, hlm.10-12
[14]Ahmad Mukhlish, Pengaruh perbedaan Qira’at terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an dalam http://mukhlis11ahmad.blogspot.com/2014/11/pengaruh-perbedaan-qiraat-terhadap.html (15 Maret 2015 14.20)
[15]Izza Rohman, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Penafsiran dalam https://quranicsciences.wordpress.com/2008/11/17/perbedaan-qiraat-dan-pengaruhnya-terhadap-penafsiran/ (15 Maret 2015, 14.5
[16]
Sobirin dan
Umma Farida, Op.Cit.,
[17] Dosen Tafsir
Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004, hlm.12
[18] Ibid. Hlm.59
[19]Sobirin dan
Umma Farida, Op.Cit., hlm. 157-164
[20] Ibid.,
hlm.9-13
[21]Muh Natsir, Studi
Analisis tentang Tafsir fi Dzilalil Qur’an, dalam http://borntobeamujahid.blogspot.com/2009/05/study-analisis-tentang-tafsir-fi.html
(Kamis, 12 Maret 2015, 01:36 WIB)
[22] Sobirin dan
Umma Farida, Op.Cit., hlm. 92
[24] Teungku M.
Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Rizki Putra,
cet. 5, 2013, hlm. 200.