Sabtu, 28 Februari 2015

2 KEWENANGAN RASULULLAH SAW. MENURUT KONSEPSI KLASIK DAN MODERN



A.  Pendahuluan
Rasulullah SAW. Sebagai pembawa risalah terakhir yang tiada nabi dan rasul lagi setelahnya, menjadikan ajarannya akan senantiasa diikuti dan diamalkan sepanjang masa. Akan tetapi masa demi masa yang sudah lebih dari 1400 tahun berjalan ini tidak lepas dari adanya perubahan perubahan. Bagitupun juga perubahan-perubahan pola pikir terhadap apa yang dibawa beliau sebagai pegangan hidup bagi ummat Islam, yakni Al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadits. Apakah seperti dipegangi secara utuh, mulai ditinggalkan atau dimanipulasi cara penggunaannya sehingga tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pada asalnya.
Al-Qur’an sebagai sumber Islam yang utama tidak ada kerguan di dalamnya, disamping proses sampainya kepada kita melalui jalan mutawatir juga Allah telah menjaminnya bahwa al-Qur’an akan senantiasa terjaga[1]. Berbeda dengan Al-Quran, al-Hadits yang mana sampainya kepada kita ada yang hanya mencapai derajat ahad saja, menjadikan kwalitas dan tingkat penggunaannya sebagai hujjah pun berbeda-beda. Ada yang shohih, hasan, dhoif bahkan maudhu’ sudah kita kenal telah dinisbatkn pada hadits.
Setelah Nabi wafat, kondisi hadits mengalami ketidak seimbangan, banyak persoalan yang muncul sehingga menjadi lahan kajian dan penelitian. Hal ini dikarenakan beberapa factor, pertama, adanya riwayat bilma’na. ke dua, adanya pemalsuan hadits. Ke tiga, pembukuan hadits jauh stelah pembukuan al-Qur’an. Dan ke empat, banyak ragam validitas berdasarkan ragamnya metode dalam periwayatan[2]. Maka, hal ini tidak mustahil menjadikan perbedaan cara pandang klasik dan modern perihal kewenangan Rasulullah sebagai Nabi, Rasul dan beberapa posisi lainnya karena sebagaimana kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan basyarun laa kal basyari yang diberikan banyak keistimewaan oleh Allah SWT.

B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini masalah yang akan pemakalah bahas adalah sebagai berikut :
1.    Apakah arti kewenangan Rasulullah SAW. ?
2.    Bagaimana kewenangan Rosulullah menurut konsepsi klasik ?
3.    Bagaimana konsepsi modern memandang kewenangan Rasulullah ?

C.  Pembahasan
1.    Arti Kewenangan Rasulullah SAW
Kewenangan secara bahasa beasal dari kata ‘wenang’ yang berarti hak dan kekuasaan, Kemudian mendapatkan imbuhan di awal berupa ke~ dan akhiran ~an. Saat membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia akan kita dapatkan arti kewenangan sebagai ‘kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain’ atau ‘hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu’.[3] Sedangkan Rasulullah yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW. bin Abdullah, nabi dan rasul terakhir yang diutus Allah SWT.
Kewenangan Rasulullah mengacu kepada hak dan kekuasaan yang diberikan Allah kepada Rasulullah SAW. dalam menjalankan risalah Allah sebgai nabi dan rasul terakhir untuk disampaikan kepada ummatnya. Apa yang dilakukan, diucapkan dan ketetapan beliau yang disebut sebagai sunnah merupakan ajaran yang kemudian ditiru dan diamalkan ummat baik yang semasa dengan beliau atau setelahnya disamping perintah mengamalkan yang ada dalam al-Qur’an. Maka dalam pembahasan makalah ini yang dimaksud kewenangan Rasulllah SAW adalah sunnah itu sendiri.[4]
Dalam al-Quran, Nabi diidentifikasi Allah dengan beberapa peran yang berbeda dan menyatu dalam dirinya: sebagai penyampai risalah (QS. al-Maidah: 102), sebagai penjelas al-Quran (QS. 16: 44), sebagai hakim  (QS. AlNisa: 65), sebagai figur yang ditaati    (QS. Al-Nisa: 64), dan sebagai teladan yang  baik  (QS.  Al-Ahzab:  21).  Otoritas-otoritas  Nabi  yang  disebutkan  di  atas telah  membentuk  keyakinan  kuat  kaum  muslimin  terhadap  otoritas  ( hujjiyah) sunnah.  Karena  itu,  perkataan  dan  praktek  Nabi  merupakan  hal  yang  sangat penting  dalam  kehidupan  kaum  muslim  sejak  awal.[5]

2.    Konsepsi klasik terhadap Kewenangan Rasul SAW
Dalam buku pegangan klasik, istilah sunnah menunjuk kepada contoh autoritatif yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. dan yang dicatat dalam tradisi (hadits,khabar) mengenai perktaannya, tindaannya, persetuajuannya atas perkataan atau perbuatan orang lain, serta karakteristik (sifat) kepribadiannya. Baik sunnah ataupun al-Qur’an berasal dari sumber yang satu, dan perbedaannya diantara keduannya hanyalah dalam bentuk, bukan dalam isi. Al-Quran merupakan wahyu yang matluw (terbaca secara ritual), sementara sunnah tidak (ghoiru matluw). [6]
Sedangkan blok-blok bangunan konsensus klasik mengenai sunnah diletakkan oleh Muhammad bin Idris Al-Syafi’I (w.204 H.). karena perdebatan sunnah muncul dan terdeteksi jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yakni selama masa hidup Al-Syafi’i. Adapun permasalahan seputar kewenangan Rasulullah yang dihadapi Al-Syafii adalah sebagai berikut.



a.    Definisi Sunnah
Konsensus ini berawal ketika para pengikut “madzhab” fiqih regional awal_di Hijaz, Irak dan Suriah_ yang berpegang pada definisi yang kurang ketat mengenai sunnah. Mereka memasukkan di dalam definisi mereka mengenai sunnah tidak hanya yang berasal dari Nabi SAW., tetapi juga berbagai sumber lain, termasuk contoh yang diberikan oleh para shabat Rasul, khalifah yang berkuasa dan praktik yan diterima secara umum di kalangan para ahli hukum dalam madzhab tersebut. Kemudian atas perjuangan beliau, sampai sekarang yang kita temukan tentang istilah sunnah senantiasa digunakan untuk selain Sunnah Nabi SAW.[7]

b.   Hubungan Sunnah dengan Hadits
Perbedaan penting antara gagasan orang-orang muslim awal dengan gagasan preode klasik, berkaitan dengan hubungan antara sunnah dan hadits. Kandungan sunnah, dalam penggunaan klasiknya bersifat spesifik: sunnah mengacu pada hadits shohih yang bersambung ke Nabi Muhammad SAW. sebaliknya, bagi banyak orang Muslim awal,  sunnah dan hadits secara konseptual tetap independen, dan kedua konsep itu tidak sepenuhnya bersatu, hingga setelah Al-Syafi’i. dalam riwayat sejarah awal, “sunnah” sering digunakan dalam pengertian yang secara umum menunjukkan “norma-norma yang bisa diterima” atau “adat istiadat” dan sunnah nabawiyyah merupakan seruan umum terhadap prinsip-prinsip  keadilan. Sedangkan hadits merupakan dokumentasi dari rekam jejak Rosulullah yang dismpaikan atau diriwayatkan baik menjadi norma atau adat atau bukan. Dan gagasan sunnah dan fenomena penyampaian hadits pun muncul dan tumbuh secara terpisah, mengikuti perkmbangan yang pararel meski independen hingga setelah Al-Syafi’i.[8]

c.    Hubungan Sunnah dengan al-Qur’an
Dalam hubungannya dengan al-Qur’an, Sunnah sebagai symbol kewenangan Nabi yang diamalkan oleh ummat, menemui permasalahannya ketika konflik mengguncang masyarakat. Keadaan demikian, menimbulkan kebutuhan untuk menemukan penyangga yang kuat dalam menghadapi masalah yang ada. Adapun isu yang mengguncang setatus relatif berbagai sumber autoritas hukum : al-Qur’an, Sunnah Rasul, sunnah para autoritas lainnya dan berbagai metode pertimbangan hukum seperti qiyas dan yang lainnya. Dalam polemik literatur perdebatan ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut: pragmatis hukum (ahl ra’yi), teolog spekulatif (ahl al-kalam), dan pendukung kuat hadits (ashab al-hadits). Ketiga kelompok ini mempercayai dirinya bertindak berdasarkan warisan Rasulullah saw. mereka tidak berselisih apakah mengikuti rasulullah atau tidak, akan tetapi pada soal bagaimana mengikutinya.
Jika ahl al-ra’y lebih menyukai praktik madzhab mereka sendiri yang telah diterima daripada penerapan sistematis sebuah teori universal mengenai kewenangan hukum dengan memposisikan sunnah sebagai salah satu sumber hukum diantara sumber hukum lainnya.
Sedangkan ahl al-kalam mengambil garis yang lebih radikal, yakni dengan menolak kewenangan hadits. Mereka hanya menerima hadits yang keakuratan riwayatnya seperti keandalan al-Qur’an. Adapun ashab al-hadits mengikuti proposisi bahwa hadits dari Rasulullah menjadi satu-satunya landasan yang tepat bagi sunnah. Kegiatan mereka berupa mengumpulkan, dan menyampaikan pengetahuan yang mereka terima mereka anggap sebagai representasi autentik warisan dan kewenangan Rasulullah.
Perdebatan 3 golongan di atas menjadikan terabadikannya rumusan klasik bahwa antara sunnah dan al-Qur’an sama-sama wahyu yang sama dalam subtansinya namun beda dalam bentuknya.[9]
Kemudian setelah masa Al-Syafi’I, problem yang muncul perihal sunnah berbeda lagi. Kali ini adalah tentang apakah semua yang Rasulullah ucapkan atau lakukan itu termasuk memiliki maksud hukum atau tidak. Stidaknya ada dua golongan.
Yang pertama mereka yang meniru Rasulullah  SAW dalam setiap detail sebagai masalah kewajiban hukum. Mereka adalah para faqih tradisionis yang ekstrem dari Madzhab Dzahiri. Adapun kelompok yang lain dari madzhab-madzhab selan Adzahiri berpendapat adanya kebutuhan akan langkah penafsiran antara tradisi dn penerapan hukumnya: tidak semua tradisi menjadi perintah yang harus diikuti.[10] 

3.    Konsepsi Modern terhadap Kewenangan Rasulullah SAW.
Sejak pertengahan abad ke-19 definisi autoritas[11] Sunnah menjadi masalah penting bagi para pemikir keagamaan Muslim. Hal ini paling tidak ada dua factor yang mempengaruhinya, yaitu sikap sarjana orientalis yang cenderung menyerang dengan mempermasalahkan keautentikan literature hadits. Yang ke dua adalah sikap para modernis yang kritis terhadap warisan klasik, dengan menolak taqlid dan menghimbau kebangkitan kembali sunnah sebagai landasan dalam kebangkitan reformasi Islam.
Semua  kaum  muslim  sepakat  dan  menerima  kewenangan  sunnah  Nabi. Tetapi  yang  menjadi  perbedaan,  terutama  di  kalangan  pemikir  modern-kontemporer  adalah  bagaimana  memaknai  kewenangan  sunnah  Nabi  tersebut.   Hal  ini disebabkan  oleh  berbagai  faktor  yang  memicu  perbedaan  tersebut.  Sifat  hadis yang  zhanni  al-wurud,  dimensi  kemanusiaan  Nabi  dalam  perkataan  dan  perbuatannya,  situasi  dan  kondisi  yang  melahirkan  menyebabkan  Nabi  mengucapkan  hadis  adalah  beberapa  faktor  yang  mendorong  pemahaman  yang  berbeda terhadap  kewenangan  sunnah,  hingga  melahirkan  pemikiran-pemikiran  yang beragam.
Pada era modern muncul beberapa Tipologi Pemikiran Kewenangan Sunnah[12]

a.    Tipologi Ideal-Totalistik
Tipologi ini memandang bahwa Nabi adalah teladan (uswah) sepenuhnya, dalam  setiap  aspek  secara  mendetail,  baik  persoalan  keagamaan  maupun persoalan keduniawian. Hal ini  mendapat justifikasi dari al-Quran di mana Allah berfirman:  Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik  bagimu  (yaitu)  bagi  orang  yang  mengharap  (rahmat)  Allah  dan  (kedatangan)  hari  kiamat  dan  dia  banyak  menyebut  Allah  (Q.S.  al-Ahzab:  21).
Karena  itu,  tipologi  pemikiran  ini  memandang  perkataan  dan  perbuatan  Nabi memiliki  kewenangan  yang  sangat  kuat  dalam  bangunan  Islam  dalam  seluruh dimensi,  ruang,  waktu  dan  situasi.  Bagi  tipologi  ini,  setiap  perkataannya  dapat dipercaya  dan  bernilai  hujjah  tasyrii  yang  mengikat  dan  wajib  diteladani  oleh seluruh masyarakat muslim di setiap ruang, waktu, dan situasi.
Tipologi  pemikiran  kewenangan  sunnah  model  ini  tampaknya  dibangun dari  tiga   pandangan:  Pertama,  hadis  sebagai  wahyu  dari  Allah. Kedua,  konsep  „ismah.  Dengan  konsep  ini  Nabi  dipandang  sebagai seorang  yang  mashum  (dilindungi  Allah  dari  salah  dan  dosa).  Konsep  ini  juga memiliki  rujukan  dari  riwayat-riwayat.  Salah  satu  riwayat  yang  paling  populer mendukung konsep ini adalah cerita di mana Nabi dibelah dadanya lalu disucikan hatinya. Ketiga, sifat keterpercayaan (shiddiq) Nabi. Sifat ini berkaitan erat dengan teori  ismah.  Keterpeliharaan  melahirkan  pandangan  bahwa  Nabi  adalah  orang yang dapat dipercaya secara penuh dalam semua sisi kehidupannya, pembicaraan maupun perbuatannya.[13]

b.    Tipologi Ideal-Restriktifistik
Tipologi  ini  juga  memandang  Rasulullah  sebagai  teladan  (uswah hasanah),  tetapi  tidak  bersifat  totalitas.  Dalam  pengertian  ini,  maka  hadis  atau sunnah  sebagai  rujukan  keteladanan  Nabi  dipahami  memiliki  batas-batas  dalam mengikat kaum muslim. Secara umum batasan tersebut terlihat dalam dua aspek.
Pertama,  aspek  kandungan  hadis  itu  sendiri.  Di  sini  keteladanan  Nabi  yang bersifat mengikat hanya dipahami dalam kaitannya dengan kandungan hadis yang bersifat  tasyriyah. Sementara kandungan hadis-hadis yang non-tasyriiyah  tidak menjadi  teladan  yang  bersifat  mengikat.  Kedua,  aspek  kevaliditisannya  sebagai sesuatu  yang  berasal  dari  Nabi.  Dalam  kaitan  ini,  maka  hadis-hadis  mutawatir yang dipandang memiliki status pasti sebagai riwayat yang bersumber dari Nabi (qathi  al-wurud),  bersifat  mengikat  dalam  seluruh  dimensi  keagamaan. Sedangkan  hadis  ahad  yang  diyakini  memiliki  status  dugaan  kuat  berasal  dari Nabi  (zhanni  al-wurud),  oleh  sebagian  penganut  tipologi  ini  dipandang  tidak memiliki  hujjiyah  dalam  persoalan-persoalan  berkaitan  dengan  akidah,  bahkan juga  dipandang  oleh  sebagian  pemikir,  dalam  persoalan-persoalan  hukum amaliyah. [14]

c.    Tipologi Ideal Generalistik
Tipologi  ini  memandang  Nabi  sebagai  teladan,  tetapi  tidak  dalam  detail perilaku beliau. Hal ini disebabkan karena  bagaimanapun sunnah pasti memiliki latar-belakang situasional. Oleh karena itu, otoritas sunnah tidak pada kandungan detailnya, tetapi lebih kepada semangat umumnya. Tipologi  ini  dimunculkan  oleh  Fazlur  Rahman.  Dalam  berbagai  penjelasannya, ia tampak mendukung sifat keteladanan Nabi. Bahkan dalam kritiknya terhadap  orang-orang  yang  disebutnya  progressif  yang  bermaksud  mengenyampingkan  hadis  dan  sunnah  Nabi  demi  membuka  “jalan  baru”  adalah  tidak memiliki pandangan yang jauh ke depan dan buta terhadap evolusi konsep sunnah dan  hadis  itu  sendiri.Tetapi  berkaitan  dengan  kewenangan  sunnah,  ia  lebih menekankan  pada  sunnah  ketimbang  hadis.  Menurutnya,  sunnah  tidak  sama dengan hadis. Sunnah merupakan perilaku Nabi, sementara hadis adalah informasi apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui oleh beliau.

d.    Tipologi Paradigmatik
Berbeda dengan dua tipologi sebelumnya yang memandang Nabi sebagai teladan,  tipologi  ini  memandang  Nabi  sebagai  perantara  dan  paradigma.  Dalam pengertian  ini,  Nabi  tidak  memiliki  otoritas  tersendiri  di  samping  al-Quran berkaitan dengan penjelasan syariat. Para pemikir ini hanya  menempatkan  Nabi  Muhammad  pada  status  tukang  pos  yang  hanya berkewajiban  menyampaikan  pesan. Maka otoritas  Nabi  untuk  diteladani  dan  diikuti telah dipangkas sedemikian rupa. Keteladanan Nabi tidak lebih dipandang sebagai sebuah paradigma di  mana Nabi hanya sebagai model bagaimana setiap generasi muslim menentukan detail Islam untuk mereka sendiri di bawah al-Quran.[15]

D.  Penutup
1.    Kesimpulan
Kewenangan Rasulullah merupakan apa yang dilakukan, diucapkan dan ketetapan beliau yang disebut sebagai sunnah selanjutnya menjadi ajaran yang ditiru dan diamalkan ummat baik yang semasa dengan beliau atau setelahnya disamping perintah mengamalkan yang ada dalam al-Qur’an.
Isu Kewenangn Rasulullah pada masa klasik terdeteksi pada masa Al-Syafii dengan permasalahan definisi Sunnah, perbedaan sunnah dan hadits dan hubungan  sunnah dan Al-Qur’an. Kemudian stelah beliau muncul permasalah dalam mengikuti Sunnah Nabi, apakahdengan keseluruhan ataukan dengan melakukan penafsiran untuk ditemukan mana yang harus diikuti dan tidak.
Adapun pada era modern setidaknya ada empat tipologi tentang kPemikiran Kewenangan Sunnah tipologi ideal-totalistik, tipologi ideal-restriktifistik, tipologi ideal generalistik dan tipologi paradigmatik .

2.    Kata Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami persembahkan. Segala kekurangan dan kesalahn mohon maaf dan mohon kritik adanya agar menjadikan lebih baik ke depannya.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim.
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000.
Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.M. Erfan Subahan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
M. Erfan Subahan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
Maizuddin M. Nur, Tipologi tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern, Fakultas Ushuluddin IAINKota Banda Aceh dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265989&val=7080&title=TIPOLOGI%20PEMIKIRAN%20TENTANG%20KEWENANGAN%20SUNNAH%20DI%20ERA%20MODERN
http://kbbi.web.id/otoritas.




1 Q.S. Al-Hijr, ayat 9.
[2] M. Erfan Subahan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003, hlm. 5
[3] Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, hlm. 1128.
[4] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 18.
[5] Maizuddin M. Nur, Tipologi tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern, Fakultas Ushuluddin IAINKota Banda Aceh dalam http://download.portalgaruda.o rg/article.php?article=265989&val=7080&title=TIPOLOGI%20PEMIKIRAN%20TENTANG%20KEWENANGAN%20SUNNAH%20DI%20ERA%20MODERN {22 Februari 2015, 10.35 WIB}
[6] Daniel W. Brown, Op.Cit., hlm. 19.
[7] Ibid.,, hlm. 20.
[8] Ibid., hlm. 24-26
[9] Ibid., hlm. 30
[10] Ibid., hlm. 33.
[11] kekuasaan yg sah yg diberikan kpd lembaga dl masyarakat yg memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya; 2 hak untuk bertindak; 3 kekuasaan; wewenang; 4 hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain. Lih. http://kbbi.web.id/otoritas
[12] Maizuddin M. Nur, Op.Cit.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.

2 Comments

Unknown mengatakan...

q tak nderek nopy mkalahe ah

Unknown mengatakan...

ftone pean ditampilke tho kang!

Bagaimana Pendapat Anda ?