أعوذ بالله من الشيطان الرجيم - بسم الله الرحمن الرحيم
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Ḥasyr Ayat 22 )
Al-Biqā’i sebagiaman
dikutip Quraish Shihab, berkomentar tentang kata (هو) huwa pada ayat di
atas, bahwa Dia Yang wujud-Nya dari Dzat-Nya sendiri sehingga Dia sama
sekali tidak disentuh oleh ‘adam (ketiadaan) dalam bentuk apapun. Dan
dengan demikian tidak ada wujud yang pantas disifati dengan kata tersebut
selain-Nya, karena Dialah yang selalu wujud sejak dahulu hingga kemudian yang
tak terhingga. Dialah yang hadir pada setiap benak, dan yang gaib (tidak
terjangkau) keangungan-Nya oleh semua indra, dan karena itu pula gunung retak
karena takut kepada-Nya. Dengan demikian menurut Quraish Shihab kata (هو) huwa yang mendahului
kata al-Raḥmān dan al-Raḥīm berfungsi
mengkhususkan kedua sifat itu dalam pengertiannya yang sempurna hanya untuk
Allah SWT. [1]
Kata (الله) Allāh sepintas tidak
diperlukan lagi karena kata huwa telah menunjuk kepada-Nya. Tetapi ini
agaknya untuk menggambarkan semua sifat-sifat-Nya, sebelum menyebut sifat-sifat
tertentu, karena kata Allah menunjuk pada Dzat yang wajib wujud-Nya itu dengan
semua sifat-sifat-Nya, baik sifat Dzat maupun sifat fi’il. Apabila dikatakan
“Allah”, maka apa yang diucapkan itu telah mencakup nama-nama-Nya yang lain.
Sedang bila Anda mengucap nama-Nya yang lain -
misalnya al- Raḥīm atau al-Malik maka ia hanya menggambarkan sifat Rahmat atau
sifat kepemilikan-Nya. [2]
Kata (الغيب) al-gaib berarti
segala sesuatu yang tak tampak di pandangan dari alam raya ini, sedangkan (الشهادة) al-syahādah
berarti sebaliknya, yakni segala yang tampak dan tertangkap oleh pandangan. Ada
juga mufassir yang mengartikan al-gaib dengan akhirat dan al-syahādah
dengan dunia. Serta ada juga yang mengartikan al-gaib dengan rahasia
dan al-syahādah dengan terang-terangan.[3] Sedangkan
al-Qurṭubi memaknainya dengan antara yang sudah ada dan yang akan ada. [4]Didahulukannya
kata al-gaib atas al-syahādah dalam ayat ini karena sesuatu yang
gaib dan tak tampak merupakan ketiadaan yang lebih dahulu adanya sebelum datang
sesuatu yang tampak yang wujudnya datang kemudian.[5]
Kata al-raḥmān
begitu juga kata al-raḥīm terambil dari kata rahmat. Kata ‘raḥmat’
dapat dipahami sebagai sifat żat sehingga ‘raḥmān’ dan ‘raḥīm’ merupakan sifat
zat Allah SWT, dan juga dapat dipahami sebagai sesuatu yang dicurahkan. Menurut
pakar bahasa Ibnu Faris, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab bahwa semua kata
yang terdiri dari huruf-huruf Rā, Ḥā’ dan Mīm, mengandung makna “kelemahlembutan,
kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturrahim adalah hubungan
kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang[6].
Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin
antara anggota-anggotanya. Al-Raḥīm sebagai sifat Allah berarti Dia
adalah wujud/dzat yang yang memiliki sifat rahmat, sedangkan al-Raḥmān
mempunyai arti bahwa Allah mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk-Nya.[7] Penyebutan sifat al-Raḥmān dan al-Raḥīm
setelah menegaskan pengetahuan-Nya yang menyeluruh mengisyaratkan bahwa Dia
Maha Mengetahui keadaan makhluk-Nya sehingga semua diberikan rahmat sesuai
kebutuhan dan kewajarannya menerima. [8]
Ayat ini sampai ayat terakhir (ayat ke 24) merupakan penutup uraian surah. Sebelum ini berulang-ulang disebut nama
Allah atau pengganti nama-Nya serta sifat-sifat-Nya. Kesemuanya menunjuk
keagungan Allah SWT. Ayat ini menunjuk-Nya dengan kata “Dia” yakni Dia yang menurunkan
al-Qur’an dan yang disebut-sebut pada ayat-ayat sebelum ayat
ini. Sesungguhnya Allah Yang Menurunkan
Al-Qur’an adalah Dzat Yang tiada tuhan yang patut untuk disembah kecuali Dia,
tiada tuhan yang lain. Dan setiap sesembahan selain Dia adalah batil. Dan
sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Mengetahui segala sesuatu yag samar dari
pengindraan dan segala sesuatu yang tampak. Tiada kesamaran sedikitpun bagi-Nya
apa yang ada di bumi dan di langit, baik itu barang mulia atau hina, kecil ata
besar, baik berupa barang terkecil seperti semut yang hitam yang berada dalam
kegelapan, semuanya Allah Tahu. Dan sesungguhnya Dia mempunya rahmat yang luas
yang mencakup seluruh makhluk, Dialah dzat yang Maha pengasih dan penyayang
baik di dunia ataupun di akhirat.[9]
Dia, Allah Yang tiada tuhan yang berhak
disembah, serta tiada Pencipta dan pengendali alam raya selain Dia, Dia Maha
Mengetahui yang gaib baik yang nisbiy/relative maupun yang mutlak dan
yang nyata. Dikatakan, adalah sama bagi Allah antara yang terang dan
rahsia, antara yang Nampak dan tidak tampak, diktan juga Allah mengetahui
keadaan dunia dan akhirat.[10]
Dia-lah saja al-Raḥmān Pencurah rahmat yang bersifat sementara untuk seluruh makhluk dalam pentas kehidupan dunia ini lagi al-Raḥīm Pencurah rahmat yang abadi
bagi orang-orang yang beriman di akhirat nanti. [11]
Di dalam Tafsir fī Ẓilalil Qur’an, Sayyid
Quthb dalam menafsiri ayat ini menjelaskan bahwa keyakinan yang kokoh kepada
ilmu Allah tentang perkara-perkara lahiriah dan perkara yang tersembunyi akan
membangun kesadaran dalam hati tentang pengawasan Allah terhadap perkara
perkara yang rahasia dan terang-terangan. Manfaatnya, seorang hamba akan
melaksanakan segala sesuatu dengan perasaan diawasi oleh Allah dan mawas diri
kepada-Nya. Keyakinan itu akan menghantarkan hamba terhadap perasaan bahwa
manusia tidak hidup sendirian walaupun dia sedang menyendiri atau sedang
bermunajat. Kemudian selalu disesuaikan dengan perasaan itu, dan hatinya tidak
akan melupakan dan melalaikan dirinya sendiri.[12]
Perasaan ketenangan
dan damai dalam nurani kepada rahmat Allah dan kenikmatan-Nya akan semakin
kokoh. Kemudian antara perasaan ketakutan dengan harapan pun pasti menjadi
seimbang dan demikian pula antaa perasaan terguncang dengan ketenangan. Dalam
pandangan seorang mukmin, Allah tidak akan mengusir hamba-hamba-Nya melainkan
hanya mengawasi mereka. Allah tidak menginginkan keburukan bagi mereka, namun
menginginkan petunjuk dan kebaikan bagi mereka. Dia tidak membiarkan mereka
tanpa pertolongan-Nya menghadapi sendirikejahatan dan hawa nafsunya. Inilah
hati seorang hamba ketika menyelami dan meyakini sifat al-Raḥmān dan al-Raḥīm[13].
والله أعلم.......
[1] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.
14, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 135
[2] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.
14, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 135
[3] Abul Qasim
Mahmud bin Amr Al- Zamakhsyari, Al-Kassyaf ‘an Gawamiḍ al-Tanzīl, juz.
4, Darul Kitab al-Arabi, Beirut, t.th.., hlm. 509
[4] Abu Abdillah
Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakr al-Qurṭubi, Al-Jāmi’ li Aḥkāmil Qur’an, Juz 18,
Darul Kutub Al- Miṣriyah, Kaero, 1964, hlm. 45.
[8] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.
14, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 135
[9] Wahbah
Al-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, juz 28, hlm. 109 dalam Maktabah Syamilah
[10] Alā'uddin Ali bin Muhammadbin Ibrahim, Lubābut Ta'wīl fī Ma’āni
Tanzīl, Juz 4, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, t.th., hlm. 277
[11] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.
14, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 134
[12] Sayid Qutb, Tafsir fi Zhilali- Qur'an: di Bawah Naungan Al-Qur'an,
jld. XI, Terj. As'ad Yasin, Gema
Insani Press, Jakarta, 2003, hlm. 223
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?