Sabtu, 26 November 2016

0 Tafsir Q.S. Al-Ḥasyr Ayat 22


أعوذ بالله من الشيطان الرجيم - بسم الله الرحمن الرحيم

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Ḥasyr Ayat 22 )


Al-Biqā’i sebagiaman dikutip Quraish Shihab, berkomentar tentang kata (هو) huwa pada ayat di atas, bahwa Dia Yang wujud-Nya dari Dzat-Nya sendiri sehingga Dia sama sekali tidak disentuh oleh ‘adam (ketiadaan) dalam bentuk apapun. Dan dengan demikian tidak ada wujud yang pantas disifati dengan kata tersebut selain-Nya, karena Dialah yang selalu wujud sejak dahulu hingga kemudian yang tak terhingga. Dialah yang hadir pada setiap benak, dan yang gaib (tidak terjangkau) keangungan-Nya oleh semua indra, dan karena itu pula gunung retak karena takut kepada-Nya. Dengan demikian menurut Quraish Shihab kata (هو) huwa yang mendahului kata al-Ramān dan al-Raḥīm berfungsi mengkhususkan kedua sifat itu dalam pengertiannya yang sempurna hanya untuk Allah SWT. [1]

Kata (الله) Allāh sepintas tidak diperlukan lagi karena kata huwa telah menunjuk kepada-Nya. Tetapi ini agaknya untuk menggambarkan semua sifat-sifat-Nya, sebelum menyebut sifat-sifat tertentu, karena kata Allah menunjuk pada Dzat yang wajib wujud-Nya itu dengan semua sifat-sifat-Nya, baik sifat Dzat maupun sifat fi’il. Apabila dikatakan “Allah”, maka apa yang diucapkan itu telah mencakup nama-nama-Nya yang lain. Sedang bila Anda mengucap nama-Nya yang lain -  misalnya al- Raḥīm atau al-Malik maka ia hanya menggambarkan sifat Rahmat atau sifat kepemilikan-Nya. [2]

Kata (الغيب) al-gaib berarti segala sesuatu yang tak tampak di pandangan dari alam raya ini, sedangkan (الشهادة) al-syahādah berarti sebaliknya, yakni segala yang tampak dan tertangkap oleh pandangan. Ada juga mufassir yang mengartikan al-gaib dengan akhirat dan al-syahādah dengan dunia. Serta ada juga yang mengartikan al-gaib dengan rahasia dan al-syahādah dengan terang-terangan.[3] Sedangkan al-Qurṭubi memaknainya dengan antara yang sudah ada dan yang akan ada. [4]Didahulukannya kata al-gaib atas al-syahādah dalam ayat ini karena sesuatu yang gaib dan tak tampak merupakan ketiadaan yang lebih dahulu adanya sebelum datang sesuatu yang tampak yang wujudnya datang kemudian.[5]

Kata al-raḥmān begitu juga kata al-raḥīm terambil dari kata rahmat. Kata ‘raḥmat’ dapat dipahami sebagai sifat żat sehingga ‘raḥmān’ dan ‘raḥīm’ merupakan sifat zat Allah SWT, dan juga dapat dipahami sebagai sesuatu yang dicurahkan. Menurut pakar bahasa Ibnu Faris, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Rā, Ḥā’ dan Mīm, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturrahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang[6].

Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin antara anggota-anggotanya. Al-Raḥīm sebagai sifat Allah berarti Dia adalah wujud/dzat yang yang memiliki sifat rahmat, sedangkan al-Raḥmān mempunyai arti bahwa Allah mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk-Nya.[7] Penyebutan sifat al-Ramān  dan al-Raḥīm setelah menegaskan pengetahuan-Nya yang menyeluruh mengisyaratkan bahwa Dia Maha Mengetahui keadaan makhluk-Nya sehingga semua diberikan rahmat sesuai kebutuhan dan kewajarannya menerima. [8]

Ayat ini sampai ayat terakhir (ayat ke 24) merupakan penutup uraian surah. Sebelum ini berulang-ulang disebut nama Allah atau pengganti nama-Nya serta sifat-sifat-Nya. Kesemuanya menunjuk keagungan Allah SWT. Ayat ini menunjuk-Nya dengan kata “Dia” yakni Dia yang menurunkan al-Qur’an dan yang disebut-sebut pada ayat-ayat sebelum ayat ini. Sesungguhnya Allah Yang Menurunkan Al-Qur’an adalah Dzat Yang tiada tuhan yang patut untuk disembah kecuali Dia, tiada tuhan yang lain. Dan setiap sesembahan selain Dia adalah batil. Dan sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Mengetahui segala sesuatu yag samar dari pengindraan dan segala sesuatu yang tampak. Tiada kesamaran sedikitpun bagi-Nya apa yang ada di bumi dan di langit, baik itu barang mulia atau hina, kecil ata besar, baik berupa barang terkecil seperti semut yang hitam yang berada dalam kegelapan, semuanya Allah Tahu. Dan sesungguhnya Dia mempunya rahmat yang luas yang mencakup seluruh makhluk, Dialah dzat yang Maha pengasih dan penyayang baik di dunia ataupun di akhirat.[9]

Dia, Allah Yang tiada tuhan yang berhak disembah, serta tiada Pencipta dan pengendali alam raya selain Dia, Dia Maha Mengetahui yang gaib baik yang nisbiy/relative maupun yang mutlak dan yang nyata. Dikatakan, adalah sama bagi Allah antara yang terang dan rahsia, antara yang Nampak dan tidak tampak, diktan juga Allah mengetahui keadaan dunia dan akhirat.[10] Dia-lah saja al-Raḥmān Pencurah rahmat yang bersifat sementara  untuk seluruh makhluk  dalam pentas kehidupan  dunia ini  lagi al-Raḥīm Pencurah rahmat yang abadi bagi orang-orang yang beriman di akhirat nanti. [11]

Di dalam Tafsir fī Ẓilalil Qur’an, Sayyid Quthb dalam menafsiri ayat ini menjelaskan bahwa keyakinan yang kokoh kepada ilmu Allah tentang perkara-perkara lahiriah dan perkara yang tersembunyi akan membangun kesadaran dalam hati tentang pengawasan Allah terhadap perkara perkara yang rahasia dan terang-terangan. Manfaatnya, seorang hamba akan melaksanakan segala sesuatu dengan perasaan diawasi oleh Allah dan mawas diri kepada-Nya. Keyakinan itu akan menghantarkan hamba terhadap perasaan bahwa manusia tidak hidup sendirian walaupun dia sedang menyendiri atau sedang bermunajat. Kemudian selalu disesuaikan dengan perasaan itu, dan hatinya tidak akan melupakan dan melalaikan dirinya sendiri.[12]

Perasaan ketenangan dan damai dalam nurani kepada rahmat Allah dan kenikmatan-Nya akan semakin kokoh. Kemudian antara perasaan ketakutan dengan harapan pun pasti menjadi seimbang dan demikian pula antaa perasaan terguncang dengan ketenangan. Dalam pandangan seorang mukmin, Allah tidak akan mengusir hamba-hamba-Nya melainkan hanya mengawasi mereka. Allah tidak menginginkan keburukan bagi mereka, namun menginginkan petunjuk dan kebaikan bagi mereka. Dia tidak membiarkan mereka tanpa pertolongan-Nya menghadapi sendirikejahatan dan hawa nafsunya. Inilah hati seorang hamba ketika menyelami dan meyakini sifat al-Ramān  dan al-Raḥīm[13].

والله أعلم.......



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 14,  Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 135
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 14,  Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 135
[3] Abul Qasim Mahmud bin Amr Al- Zamakhsyari, Al-Kassyaf ‘an Gawamiḍ al-Tanzīl, juz. 4, Darul Kitab al-Arabi, Beirut, t.th.., hlm. 509
[4] Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakr al-Qurṭubi, Al-Jāmi’ li Aḥkāmil Qur’an, Juz 18, Darul Kutub Al- Miṣriyah, Kaero, 1964, hlm. 45.
[5] Wahbah Al-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir,  juz 28, Darur Fikr, Damaskus, t.th., hlm. 107.
[6] Ibid., hlm. 17-18
[7] Ibid., hlm. 17-18
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 14,  Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 135
[9] Wahbah Al-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir,  juz 28, hlm. 109 dalam Maktabah Syamilah
[10] Alā'uddin Ali bin Muhammadbin Ibrahim, Lubābut Ta'wīl fī Ma’āni Tanzīl, Juz 4, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, t.th., hlm. 277
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 14,  Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 134
[12] Sayid Qutb, Tafsir fi Zhilali- Qur'an: di Bawah Naungan Al-Qur'an, jld. XI, Terj. As'ad Yasin, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hlm. 223
[13] Ibid.

0 Comments

Bagaimana Pendapat Anda ?