Setiap
organisasi pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapainya. Secara umum, diantara
tujuan organisiasi adalah memproduksi barang atau orang sesuai bentuk
organisanya.[1] Jam’iyyah sebagai
organisasi sosial keagamaan cenderung mendidik masyarakat atau anggotanya untuk
menjadikan masyarakat yang saleh sosial. Kesalehan-kesalehan individu dari
setiap tokoh diharapkan mampu membawa manfaat yang lebih luas sehingga tercipta
masyarakat yang saleh sosial. Sedangkan saleh sosial dapat diindikasikan dengan
berbagai perilaku; peka terhadap lingkungan, punya solidaritas, punya perasaan andarbeni (ikut
memiliki) dalam masyarakat, empati, simpati dan sebagainya, dan itu semua tidak
hanya diperlakukan kepada yang hidup tetapi juga kepada yang sudah meninggal[2]. Maka wujud kegiatan suatu
jam’iyyah tidak lepas dari pengajian, żikir bersama, anjang sana, sodaqahan,
musyawarah, dan lain sebagainya. Tidak jarang ketika salah satu anggota yang
sedang tekena musibah atau sedang sakit, maka mereka anggota jam’iyyah dengan
komando para tokoh menjenguk mereka yang sedang sakit. Dasar kegiatan mereka
tidak lain adalah al-Qur’an dan al-Hadis sebagai pedoman ummat Islam secara
umum yang mengandung tuntunan hidup di dunia ini.
Begitu
juga dengan al-Asmā' al-Husnā. Di dalam al-Asmā’ al-Ḥusnā tedapat
sinyal-sinyal atau isyarat-isyarat yang cukup komprehensif untuk dijadikan
pedoman dan suritauladan dalam menjalani kehidupan di dunia ini sampai
mempersiapkan diri untuk hidup sejahtera di akhirat. Quraish Shihab dalam
bukunya Menyingkap Tabir Ilahi:Asmāul Ḥusnā dalam Perspektif Al-Qur’an, mengomentari
suatu nasehat yang oleh sebagian ulama dikatakan sebagai sabda nabi yang
berbunyi, “Berakhlaklah dengan akhlak Allah”, dengan sebuah penjelasan,
“keberhasilan meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya adalah cermin dari
keberhasilan keberagamaan”[3]. Sifat-sifat yang indah
dan sempurna yang dimiliki Allah, oleh manusia dapat dijadikan teladan sehingga
dapat menjadikan manusia mulia di sisi-Nya sebagai akibat keberhasilannya
menjadi hamba Allah yang saleh dan bertaqwa.
Adapun
cara meneladani sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Al-Asmā'
al-Ḥusnā dapat dilakukan dengan melalui tiga tahap. Pertama, dengan
meningkatkan ma’rifah melalui pengetahuan dan ketaqwaan. Dalam tahapan ini
seorang hamba dituntut untuk mempelajari dan meyakini kebesaran-kebesaran
sifat-sifat Allah. Tidak mungkin seorang hamba yang tidak memahami dengan
benar akan sifat-sifat
Allah dapat meneladani sifat-sifat-Nya itu. Yang terpenting adalah memahami
betul posisi hamba terhadap sifat-sifat Tuhan dan menyeleksi sifat-sifat yang
patut untuk hamba dan sifat-sifat yang khusus untuk Tuhan. Yang ke dua,
membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu. Kesucian sifat Allah
tidak akan dapat meresap kepada hamba yang kotor akan perbudakan nafsu syahwat
yang diikutinya, sehingga penting sekali hamba berjuang melawan dan mengalahkan
nafsu yang seringkali membuat lalai akan Allah SWT. Yang ke tiga adalah dengan
menyucikan jiwa dengan berakhlak dengan akhlak Allah.
Diantara
nama-nama Allah dalam Al-Asmā al-Ḥusnā yang dapat kita
teladani al-Raḥīm, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an:
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ [4]
Dialah
Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat
di atas menjelaskan beberapa sifat yang dimiliki Allah, yakni Dzat Yang
Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Dua diantara sifat tersebut adalah al-Raḥmān dan al-Raḥīm. Menurut
pakar bahasa Ibnu Faris, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab bahwa semua kata
yang terdiri dari huruf-huruf Rā, Ḥā’ dan Mīm, mengandung
makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Al-Raḥīm sebagai
sifat Allah berarti Dia adalah wujud/dzat yang yang memiliki sifat rahmat,
sedangkan al-Raḥmān mempunyai arti bahwa Allah mencurahkan
rahmat kepada seluruh makhluk-Nya.[5]
Menghayati
dan meneladani kedua sifat Allah yang berasal dari kata ‘rahmat’ini, yakni al-Raḥmān dan al-Raḥīm seseorang
akan merasakan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang tengah lengah, sehingga
dapat mengalihkan mereka dari kelengahan menuju Allah. Dengan memberikan
nasihat secara lemah lembut, dan memandang orang yang berdosa dengan pandangan
kasih sayang. Kemudian tidak membiarkan orang-orang yang butuh kecuali berupaya
memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan orang fakir di sekelilingnya
maupun di negerinya kecuali berusaha untuk membantu dan menampik kefakirannya,
dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ke tiga, sehingga
terpenuhi kebutuhannya. Jika semuanya tidak mampu, maka ia akan membantu dengan
do’a serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaannya,
sebagai tanda kasih sayang .[6]
Sementara
itu dalam menafsiri ayat ini, M. Qurais Shihab menjelaskan bahwa, sifat Raḥman
Allah adalah belas kasih kasih sayang untuk semua makhluk-Nya baik yang taat
maupun yang durhaka yang diberikan di dunia. Sedangkan sifat Rahim Allah adalah khusus para
hamba yang taat yang akan diberikan di akhirat kelak.[7] Dengan ini dapat dipahami bahwa,
dalam sifat/nama Allah al-Raḥīm terdapat isyarat dua arah yaitu untuk taqwa dan untuk saleh
sosial. Ketika ‘Rahim’ itu mengandung makna kasih sayang yang semestinya
diberikan oleh Allah di akhirat kepada hamba-Nya yang bertaqwa. Maka, untuk
mendapatkan kasih sayang Allah di akhirat seorang hamba harus menggapai
ketaqwaan, dan agar seseorang mempunyai sifat taqwa secara maksimal harus
mempunyai sifat rahim yakni dengan menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama
makhluk sebagaimana dijelaskan di atas.
Jika
seorang hamba tidak punya sifat rahim itu, yakni kasih sayang terhadap sesama,
maka ketaqwaannya masih dipertanyakan. Meskipun ia ahli ibadah, bahkan mungkin
hajinya berkali-kali, tapi tidak punya sifat rahim, akhirnya suka marah, suka
menyalahkan orang lain, merasa paling benar, maka belum bisa dikatakan sebagai
hamba yang bertaqwa. Dijelaskan dalam al-Qur’an:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ
خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
Ayat
di atas memberikan pesan bahwa ketika hamba kembali ke akhirat di membutuhkan
bekal ketaqwaan untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Karena untuk
kehidupan setelah kematian, pilihan hamba hanya dua, yakni surga atau neraka.
Kemudian,
menilai, mengkasifikaasi, mengidentifikasi orang itu bertaqwa atau tidak, tidak
cukup dari segi ibadahnya saja. Tapi harus didukung dengan perilaku. Kalau
taqwa dalam surat al-Baqarah paling tidak ada lima indikasi yang harus
dipenuhi; iman dengan hal-hal ghaib, mendirikan shalat, berinfaq, iman kepada kitab, dan iman kepada akhirat. Sebagaimana firman Allah berikut ini:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4)
yaitu
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman
kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang
telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.[9]
Kemudian
jika diteruskan pada surat Ali Imran akan ditemukan indikator lain.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.[10]
Di
dalam ayat di atas terdapat tiga indikator penting bagi orang yang bertaqwa
yaitu berinfaq di waktu lapang maupun sempit, menahan amarah dan memaafkan
kesalahan manusia. Dari ketiga indikator ini terlihat bertingkat berat dalam
menjalaninya. Mungkin
untuk yang pertama, berinfaq itu gampang. Misalnya seorang hamba punya
kelebihan harta terus infaq, hal itu mudah-mudah saja, atau mungkin sedang
dalam keadaan sempit kemudian berharap kelapangan, berinfaq pun menjadi ringan.
Tapi al kāẓimīna al gaiḍ (menahan amarah), apalagi wa
al ‘āfīna ‘an al nās (memaafkan orang lain), terutama memaafkan yang
salah ungguh tidak mudah. Dua yang
akhir ini
yakni mengekang emosi dan mengekang amarah, tidak dendam adalah implementasi
dari raḥīm.
Antara
indikasi dalam surat al-Baqarah dengan surat Ali Imran, keduanya saling
berhubungan. Kedunya adalah isyarat kesalehan individual dan kesalehan sosial
yang tidak dapat dipisahkan dari seorang muslim. Kesalehan individual disebut
juga dengan kesalehan ritual, yakni bentuk kesalehan yang menekankan dan
mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat,
haji, zikir, dan seterusnya. Kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran
serba formal, yang hanya hanya mementingkan ḥablun min Allāh, tidak disertai ḥablun min al nās. Sedangkan “kesalehan
sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan
nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka
menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan
menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu
berempati, artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan
seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang
tidak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai
oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan
untuk orang-orang di sekitarnya.[11]
Perilaku yang mencerminkan peneladanan Al-Asmā al-Ḥusnā adalah relegius
yang diharapkan. Oleh karena relegiuitas di dalam kehidupan masyarakat
indikatornya sama, maka yang menjadi pembeda adalah prinsip dasar perilaku
tersebut, apakah berangkat dari implementasi iman taqwanya atau bukan. Kalau
landasannya bukan iman taqwa maka
tiada guna,
dalam arti itu hanya bernilai di
dunia saja. Jadi, orang-orang non muslim pun semuanya bisa berperilaku saleh sosial. Maka perilaku saleh
sosial tidak bisa disebut perilaku relegius jika si pelaku tidak melandasinya
dengan iman dan taqwa, karena agama dan sosial itu menyatu.
Sebagaimana pembagian bentuk perilaku sosial menurut Max Weber, maka jika seseorang/masyarakat yang
berperilaku saleh sosial dengan mendasarkan perilakunya tersebut pada
peneladanan pada al-Asmā al-Ḥusnā yakni al-Ra'ūf dan al-Raḥīm, maka perilakunya tersebut termasuk bentuk
perilaku sosial yang rasional berorientasi nilai. Karena para pelaku secara
penuh meyakini akan kebenaran tindakan yang dilakukannya. Disamping benar
menurut masyarakat juga benar dan sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.
Mereka kurang mempunyai tujuan tertentu yang hanya menguntungkan dirinya
kecuali menyesuaikan perilakunya tersebut dengan nilai-nilai agama yang
diyakininya.
[2] Wawancara dengan Drs.
KH. Mahlail Syakur Sf., M.A., Pengasuh dan Ketua Jam’iyyah Tahlīl dan Yāsīn
al-Sa’ādah, Ahad, 24 Januari 2016
[4] Al-Qur'an Surat Al-Ḥasyr
ayat 22-24, Al-Qur’an Al-Karīm dan Terjemah Bahasa Indonesia (Ayat
Pojok), Deprtemen RI, Menara Kudus, Kudus, 2006, hlm. 548
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 14, Lentera
Hati, Jakarta, 2002, hlm. 134
[11] Helmiati, Kesalehan
Individual dan Kesalehan Sosial, dalam http://emikahar.blogspot.co.id/2012/03/kesalehan-individual-dan-kesalehan.html
(25 Mei 2016; 10.14)