Sabtu, 26 November 2016

0 Kontektualisasi Sifat Al-Raḥīm dalam Membentuk Perilaku Saleh Sosial


Setiap organisasi pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapainya. Secara umum, diantara tujuan organisiasi adalah memproduksi barang atau orang sesuai bentuk organisanya.[1] Jam’iyyah sebagai organisasi sosial keagamaan cenderung mendidik masyarakat atau anggotanya untuk menjadikan masyarakat yang saleh sosial. Kesalehan-kesalehan individu dari setiap tokoh diharapkan mampu membawa manfaat yang lebih luas sehingga tercipta masyarakat yang saleh sosial. Sedangkan saleh sosial dapat diindikasikan dengan berbagai perilaku; peka terhadap lingkungan, punya solidaritas, punya perasaan andarbeni (ikut memiliki) dalam masyarakat, empati, simpati dan sebagainya, dan itu semua tidak hanya diperlakukan kepada yang hidup tetapi juga kepada yang sudah meninggal[2]. Maka wujud kegiatan suatu jam’iyyah tidak lepas dari pengajian, żikir bersama, anjang sana, sodaqahan, musyawarah, dan lain sebagainya. Tidak jarang ketika salah satu anggota yang sedang tekena musibah atau sedang sakit, maka mereka anggota jam’iyyah dengan komando para tokoh menjenguk mereka yang sedang sakit. Dasar kegiatan mereka tidak lain adalah al-Qur’an dan al-Hadis sebagai pedoman ummat Islam secara umum yang mengandung tuntunan hidup di dunia ini.

Begitu juga dengan al-Asmā' al-Husnā. Di dalam al-Asmā’ al-Ḥusnā tedapat sinyal-sinyal atau isyarat-isyarat yang cukup komprehensif untuk dijadikan pedoman dan suritauladan dalam menjalani kehidupan di dunia ini sampai mempersiapkan diri untuk hidup sejahtera di akhirat. Quraish Shihab dalam bukunya Menyingkap Tabir Ilahi:Asmāul Ḥusnā dalam Perspektif Al-Qur’an,  mengomentari suatu nasehat yang oleh sebagian ulama dikatakan sebagai sabda nabi yang berbunyi, “Berakhlaklah dengan akhlak Allah”, dengan sebuah penjelasan, “keberhasilan meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya adalah cermin dari keberhasilan keberagamaan”[3]. Sifat-sifat yang indah dan sempurna yang dimiliki Allah, oleh manusia dapat dijadikan teladan sehingga dapat menjadikan manusia mulia di sisi-Nya sebagai akibat keberhasilannya menjadi hamba Allah yang saleh dan bertaqwa.

Adapun cara meneladani sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Al-Asmā' al-Ḥusnā dapat dilakukan dengan melalui tiga tahap. Pertama, dengan meningkatkan ma’rifah melalui pengetahuan dan ketaqwaan. Dalam tahapan ini seorang hamba dituntut untuk mempelajari dan meyakini kebesaran-kebesaran sifat-sifat Allah. Tidak mungkin seorang hamba yang tidak memahami  dengan benar akan sifat-sifat Allah dapat meneladani sifat-sifat-Nya itu. Yang terpenting adalah memahami betul posisi hamba terhadap sifat-sifat Tuhan dan menyeleksi sifat-sifat yang patut untuk hamba dan sifat-sifat yang khusus untuk Tuhan. Yang ke dua, membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu. Kesucian sifat Allah tidak akan dapat meresap kepada hamba yang kotor akan perbudakan nafsu syahwat yang diikutinya, sehingga penting sekali hamba berjuang melawan dan mengalahkan nafsu yang seringkali membuat lalai akan Allah SWT. Yang ke tiga adalah dengan menyucikan jiwa dengan berakhlak dengan akhlak Allah.

Diantara nama-nama Allah dalam Al-Asmā al-Ḥusnā yang dapat kita teladani al-Raḥīm, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an:
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ   [4]
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat di atas menjelaskan beberapa sifat yang dimiliki Allah, yakni Dzat Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dua diantara sifat tersebut adalah al-Raḥmān dan al-Raḥīm. Menurut pakar bahasa Ibnu Faris, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Rā, Ḥā’ dan Mīm, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”Al-Raḥīm sebagai sifat Allah berarti Dia adalah wujud/dzat yang yang memiliki sifat rahmat, sedangkan al-Raḥmān mempunyai arti bahwa Allah mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk-Nya.[5]

Menghayati dan meneladani kedua sifat Allah yang berasal dari kata ‘rahmat’ini, yakni al-Raḥmān dan al-Raḥīm seseorang akan merasakan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang tengah lengah, sehingga dapat mengalihkan mereka dari kelengahan menuju Allah. Dengan memberikan nasihat secara lemah lembut, dan memandang orang yang berdosa dengan pandangan kasih sayang. Kemudian tidak membiarkan orang-orang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan orang fakir di sekelilingnya maupun di negerinya kecuali berusaha untuk membantu dan menampik kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ke tiga, sehingga terpenuhi kebutuhannya. Jika semuanya tidak mampu, maka ia akan membantu dengan do’a serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaannya, sebagai tanda kasih sayang .[6]

Sementara itu dalam menafsiri ayat ini, M. Qurais Shihab menjelaskan bahwa, sifat Raḥman Allah adalah belas kasih kasih sayang untuk semua makhluk-Nya baik yang taat maupun yang durhaka yang diberikan di dunia. Sedangkan sifat Rahim Allah adalah khusus para hamba yang taat yang akan diberikan di akhirat kelak.[7] Dengan ini dapat dipahami bahwa, dalam sifat/nama Allah al-Raḥīm terdapat isyarat dua arah yaitu untuk taqwa dan untuk saleh sosial. Ketika ‘Rahim’ itu mengandung makna kasih sayang yang semestinya diberikan oleh Allah di akhirat kepada hamba-Nya yang bertaqwa. Maka, untuk mendapatkan kasih sayang Allah di akhirat seorang hamba harus menggapai ketaqwaan, dan agar seseorang mempunyai sifat taqwa secara  maksimal harus mempunyai sifat rahim yakni dengan menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama makhluk sebagaimana dijelaskan di atas.

Jika seorang hamba tidak punya sifat rahim itu, yakni kasih sayang terhadap sesama, maka ketaqwaannya masih dipertanyakan. Meskipun ia ahli ibadah, bahkan mungkin hajinya berkali-kali, tapi tidak punya sifat rahim, akhirnya suka marah, suka menyalahkan orang lain, merasa paling benar, maka belum bisa dikatakan sebagai hamba yang bertaqwa. Dijelaskan dalam al-Qur’an:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.[8]
Ayat di atas memberikan pesan bahwa ketika hamba kembali ke akhirat di membutuhkan bekal ketaqwaan untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Karena untuk kehidupan setelah kematian, pilihan hamba hanya dua, yakni surga atau neraka.

Kemudian, menilai, mengkasifikaasi, mengidentifikasi orang itu bertaqwa atau tidak, tidak cukup dari segi ibadahnya saja. Tapi harus didukung dengan perilaku. Kalau taqwa dalam surat al-Baqarah paling tidak ada lima indikasi yang harus dipenuhi; iman dengan hal-hal ghaib, mendirikan shalat, berinfaq, iman kepada kitab, dan iman kepada akhirat. Sebagaimana firman Allah berikut ini:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4)   
yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.[9]

Kemudian jika diteruskan pada surat Ali Imran akan ditemukan indikator lain.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.[10]
Di dalam ayat di atas terdapat tiga indikator penting bagi orang yang bertaqwa yaitu berinfaq di waktu lapang maupun sempit, menahan amarah dan memaafkan kesalahan manusia. Dari ketiga indikator ini terlihat bertingkat berat dalam menjalaninya. Mungkin untuk yang pertama, berinfaq itu gampang. Misalnya seorang hamba punya kelebihan harta terus infaq, hal itu mudah-mudah saja, atau mungkin sedang dalam keadaan sempit kemudian berharap kelapangan, berinfaq pun menjadi ringan. Tapi al kāẓimīna al gaiḍ (menahan amarah), apalagi wa al ‘āfīna ‘an al nās (memaafkan orang lain), terutama memaafkan yang salah ungguh tidak mudah. Dua yang akhir ini yakni mengekang emosi dan mengekang amarah, tidak dendam adalah implementasi dari raḥīm.

Antara indikasi dalam surat al-Baqarah dengan surat Ali Imran, keduanya saling berhubungan. Kedunya adalah isyarat kesalehan individual dan kesalehan sosial yang tidak dapat dipisahkan dari seorang muslim. Kesalehan individual disebut juga dengan kesalehan ritual, yakni bentuk kesalehan yang menekankan  dan mementingkan pelaksanaan  ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dan seterusnya. Kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba  formal, yang hanya hanya mementingkan ḥablun min Allāh, tidak disertai ḥablun min al nās. Sedangkan “kesalehan sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya  mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tidak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya.[11]

Perilaku yang mencerminkan peneladanan Al-Asmā al-Ḥusnā adalah relegius yang diharapkan. Oleh karena relegiuitas di dalam kehidupan masyarakat indikatornya sama, maka yang menjadi pembeda adalah prinsip dasar perilaku tersebut, apakah berangkat dari implementasi iman taqwanya atau bukan. Kalau landasannya bukan iman taqwa maka tiada guna, dalam arti itu hanya bernilai di dunia saja. Jadi, orang-orang non muslim pun semuanya bisa berperilaku saleh sosial. Maka perilaku saleh sosial tidak bisa disebut perilaku relegius jika si pelaku tidak melandasinya dengan iman dan taqwa, karena agama dan sosial itu menyatu.

Sebagaimana pembagian bentuk perilaku sosial menurut Max Weber, maka jika seseorang/masyarakat yang berperilaku saleh sosial dengan mendasarkan perilakunya tersebut pada peneladanan pada al-Asmā al-Ḥusnā yakni al-Ra'ūf dan al-Raḥīm, maka perilakunya tersebut termasuk bentuk perilaku sosial yang rasional berorientasi nilai. Karena para pelaku secara penuh meyakini akan kebenaran tindakan yang dilakukannya. Disamping benar menurut masyarakat juga benar dan sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya. Mereka kurang mempunyai tujuan tertentu yang hanya menguntungkan dirinya kecuali menyesuaikan perilakunya tersebut dengan nilai-nilai agama yang diyakininya.


[1] Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2005, hlm. 32
[2] Wawancara dengan Drs. KH. Mahlail Syakur Sf., M.A., Pengasuh dan Ketua Jam’iyyah Tahlīl dan Yāsīn al-Sa’ādah, Ahad, 24 Januari 2016
[3]M. Quraish Shihab, Op.Cit., hlm. xxxviii.
[4] Al-Qur'an Surat Al-Ḥasyr ayat 22-24, Al-Qur’an Al-Karīm dan Terjemah Bahasa Indonesia (Ayat Pojok), Deprtemen RI, Menara Kudus, Kudus, 2006, hlm. 548
[5] Ibid., hlm. 17-18
[6] Ibid., hlm. 24.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 14,  Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 134
[8] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 197, Op.Cit., hlm. 31.
[9] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 3-4, Op.Cit., hlm. 2.
[10] Al-Qur’an Surat Āli ‘Imrān ayat 134, Ibid., hlm. 67.
[11] Helmiati, Kesalehan Individual dan Kesalehan Sosial, dalam http://emikahar.blogspot.co.id/2012/03/kesalehan-individual-dan-kesalehan.html (25 Mei 2016; 10.14)

0 Tafsir Q.S. Al-Ḥasyr Ayat 22


أعوذ بالله من الشيطان الرجيم - بسم الله الرحمن الرحيم

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Ḥasyr Ayat 22 )


Al-Biqā’i sebagiaman dikutip Quraish Shihab, berkomentar tentang kata (هو) huwa pada ayat di atas, bahwa Dia Yang wujud-Nya dari Dzat-Nya sendiri sehingga Dia sama sekali tidak disentuh oleh ‘adam (ketiadaan) dalam bentuk apapun. Dan dengan demikian tidak ada wujud yang pantas disifati dengan kata tersebut selain-Nya, karena Dialah yang selalu wujud sejak dahulu hingga kemudian yang tak terhingga. Dialah yang hadir pada setiap benak, dan yang gaib (tidak terjangkau) keangungan-Nya oleh semua indra, dan karena itu pula gunung retak karena takut kepada-Nya. Dengan demikian menurut Quraish Shihab kata (هو) huwa yang mendahului kata al-Ramān dan al-Raḥīm berfungsi mengkhususkan kedua sifat itu dalam pengertiannya yang sempurna hanya untuk Allah SWT. [1]

Kata (الله) Allāh sepintas tidak diperlukan lagi karena kata huwa telah menunjuk kepada-Nya. Tetapi ini agaknya untuk menggambarkan semua sifat-sifat-Nya, sebelum menyebut sifat-sifat tertentu, karena kata Allah menunjuk pada Dzat yang wajib wujud-Nya itu dengan semua sifat-sifat-Nya, baik sifat Dzat maupun sifat fi’il. Apabila dikatakan “Allah”, maka apa yang diucapkan itu telah mencakup nama-nama-Nya yang lain. Sedang bila Anda mengucap nama-Nya yang lain -  misalnya al- Raḥīm atau al-Malik maka ia hanya menggambarkan sifat Rahmat atau sifat kepemilikan-Nya. [2]

Kata (الغيب) al-gaib berarti segala sesuatu yang tak tampak di pandangan dari alam raya ini, sedangkan (الشهادة) al-syahādah berarti sebaliknya, yakni segala yang tampak dan tertangkap oleh pandangan. Ada juga mufassir yang mengartikan al-gaib dengan akhirat dan al-syahādah dengan dunia. Serta ada juga yang mengartikan al-gaib dengan rahasia dan al-syahādah dengan terang-terangan.[3] Sedangkan al-Qurṭubi memaknainya dengan antara yang sudah ada dan yang akan ada. [4]Didahulukannya kata al-gaib atas al-syahādah dalam ayat ini karena sesuatu yang gaib dan tak tampak merupakan ketiadaan yang lebih dahulu adanya sebelum datang sesuatu yang tampak yang wujudnya datang kemudian.[5]

Kata al-raḥmān begitu juga kata al-raḥīm terambil dari kata rahmat. Kata ‘raḥmat’ dapat dipahami sebagai sifat żat sehingga ‘raḥmān’ dan ‘raḥīm’ merupakan sifat zat Allah SWT, dan juga dapat dipahami sebagai sesuatu yang dicurahkan. Menurut pakar bahasa Ibnu Faris, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Rā, Ḥā’ dan Mīm, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturrahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang[6].

Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin antara anggota-anggotanya. Al-Raḥīm sebagai sifat Allah berarti Dia adalah wujud/dzat yang yang memiliki sifat rahmat, sedangkan al-Raḥmān mempunyai arti bahwa Allah mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk-Nya.[7] Penyebutan sifat al-Ramān  dan al-Raḥīm setelah menegaskan pengetahuan-Nya yang menyeluruh mengisyaratkan bahwa Dia Maha Mengetahui keadaan makhluk-Nya sehingga semua diberikan rahmat sesuai kebutuhan dan kewajarannya menerima. [8]

Ayat ini sampai ayat terakhir (ayat ke 24) merupakan penutup uraian surah. Sebelum ini berulang-ulang disebut nama Allah atau pengganti nama-Nya serta sifat-sifat-Nya. Kesemuanya menunjuk keagungan Allah SWT. Ayat ini menunjuk-Nya dengan kata “Dia” yakni Dia yang menurunkan al-Qur’an dan yang disebut-sebut pada ayat-ayat sebelum ayat ini. Sesungguhnya Allah Yang Menurunkan Al-Qur’an adalah Dzat Yang tiada tuhan yang patut untuk disembah kecuali Dia, tiada tuhan yang lain. Dan setiap sesembahan selain Dia adalah batil. Dan sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Mengetahui segala sesuatu yag samar dari pengindraan dan segala sesuatu yang tampak. Tiada kesamaran sedikitpun bagi-Nya apa yang ada di bumi dan di langit, baik itu barang mulia atau hina, kecil ata besar, baik berupa barang terkecil seperti semut yang hitam yang berada dalam kegelapan, semuanya Allah Tahu. Dan sesungguhnya Dia mempunya rahmat yang luas yang mencakup seluruh makhluk, Dialah dzat yang Maha pengasih dan penyayang baik di dunia ataupun di akhirat.[9]

Dia, Allah Yang tiada tuhan yang berhak disembah, serta tiada Pencipta dan pengendali alam raya selain Dia, Dia Maha Mengetahui yang gaib baik yang nisbiy/relative maupun yang mutlak dan yang nyata. Dikatakan, adalah sama bagi Allah antara yang terang dan rahsia, antara yang Nampak dan tidak tampak, diktan juga Allah mengetahui keadaan dunia dan akhirat.[10] Dia-lah saja al-Raḥmān Pencurah rahmat yang bersifat sementara  untuk seluruh makhluk  dalam pentas kehidupan  dunia ini  lagi al-Raḥīm Pencurah rahmat yang abadi bagi orang-orang yang beriman di akhirat nanti. [11]

Di dalam Tafsir fī Ẓilalil Qur’an, Sayyid Quthb dalam menafsiri ayat ini menjelaskan bahwa keyakinan yang kokoh kepada ilmu Allah tentang perkara-perkara lahiriah dan perkara yang tersembunyi akan membangun kesadaran dalam hati tentang pengawasan Allah terhadap perkara perkara yang rahasia dan terang-terangan. Manfaatnya, seorang hamba akan melaksanakan segala sesuatu dengan perasaan diawasi oleh Allah dan mawas diri kepada-Nya. Keyakinan itu akan menghantarkan hamba terhadap perasaan bahwa manusia tidak hidup sendirian walaupun dia sedang menyendiri atau sedang bermunajat. Kemudian selalu disesuaikan dengan perasaan itu, dan hatinya tidak akan melupakan dan melalaikan dirinya sendiri.[12]

Perasaan ketenangan dan damai dalam nurani kepada rahmat Allah dan kenikmatan-Nya akan semakin kokoh. Kemudian antara perasaan ketakutan dengan harapan pun pasti menjadi seimbang dan demikian pula antaa perasaan terguncang dengan ketenangan. Dalam pandangan seorang mukmin, Allah tidak akan mengusir hamba-hamba-Nya melainkan hanya mengawasi mereka. Allah tidak menginginkan keburukan bagi mereka, namun menginginkan petunjuk dan kebaikan bagi mereka. Dia tidak membiarkan mereka tanpa pertolongan-Nya menghadapi sendirikejahatan dan hawa nafsunya. Inilah hati seorang hamba ketika menyelami dan meyakini sifat al-Ramān  dan al-Raḥīm[13].

والله أعلم.......



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 14,  Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 135
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 14,  Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 135
[3] Abul Qasim Mahmud bin Amr Al- Zamakhsyari, Al-Kassyaf ‘an Gawamiḍ al-Tanzīl, juz. 4, Darul Kitab al-Arabi, Beirut, t.th.., hlm. 509
[4] Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakr al-Qurṭubi, Al-Jāmi’ li Aḥkāmil Qur’an, Juz 18, Darul Kutub Al- Miṣriyah, Kaero, 1964, hlm. 45.
[5] Wahbah Al-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir,  juz 28, Darur Fikr, Damaskus, t.th., hlm. 107.
[6] Ibid., hlm. 17-18
[7] Ibid., hlm. 17-18
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 14,  Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 135
[9] Wahbah Al-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir,  juz 28, hlm. 109 dalam Maktabah Syamilah
[10] Alā'uddin Ali bin Muhammadbin Ibrahim, Lubābut Ta'wīl fī Ma’āni Tanzīl, Juz 4, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, t.th., hlm. 277
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 14,  Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 134
[12] Sayid Qutb, Tafsir fi Zhilali- Qur'an: di Bawah Naungan Al-Qur'an, jld. XI, Terj. As'ad Yasin, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hlm. 223
[13] Ibid.