MENYOAL KETIDAKNETRALAN MUFASSIR
A.
Pendahuluan
Mufassir satu sebagaimana manusia biasa lainnya mempunyai kehidupan,
pemikiran, cara pandang, dan kepribadian yang tidak sama dengan mufassir yang
lain. Disamping itu, apa yang dialami mufassir, kondisi ekonomi, ilmu yang
ditekuni, politik, keadaan sosial dan lain sebagainya turut mempengaruhi
penafsiran. Hal inilah diantara yang menjadi sebab Al-Qur’an yang satu itu
melahirkan beraneka ragam hasil penafsiran. Kegiatan menafsirkan al-Qur’an
adalah sebentuk kegiatan untuk melihat dan menguji validitas sebuah teks bagi kehidupan manusia, khususnya umat Islam.
Teks akan senantiasa hidup jika digumulkan dengan realitas apapun bentuknya sehingga dapat menjadi
pemecah problem kemanusiaan dengan bentuk manifestasi yang bermacam-macam
warnanya.[1]
Selanjutnya yang menjadi masalah adalah apabila perbedaan-perbedaan
penafsiran tersebut jauh dari ketertundukan mufassir kepada al-Qur’an yang
menjadi pedoman hidup. Namun al-Qur’an justru ditundukkan pada realitas yang
dihadapi mufassir, dan bahkan mufassir menundukkan al-Qur’an di bawah
kepentingan baik pribadi maupun kelompok dalam membela argumen yang diajukan mufassir
terhadap lawan biacaranya. Jika yang terjadi demikian, maka fungsi al-Qur’an
sebagai hudan li nas tidak terlihat dalam penafsiran, yang ada hanyalah
al-Qur’an dijadikan tameng dalam menghadapi lawan belaka.
Sejarah membuktikan bahwa fanatisme dan sektarianisme
pada akhirnya menjadi penyebab lahirnya orang-orang tertentu yang memberikan warna atas
penafsiran yang berfariasi. Bahkan di akhir abad pertengahan, sebagai akibat
fanatisme yang tinggi itulah lahirlah kecenderungan taqlid yang
menghapuskan toleransi. Bagi generasi ini, imam atau tokoh besar dalam madzhab
fikih tertentu misalnya menjadi basis dan standar penafsiran teks al-Qur’an.
Sehingga muncullah adagium: “setiap ayat atau hadits yang tidak sesuai
dengan (pendapat) sahabat-sahabat kami (harus) ditakwilkan atau dihapus”.[2]
Hal inilah yang menarik pemakalah untuk membahas kenetralan para
pentafsir al-Qur’an al-Karim sebagai kitab suci yang dijadikan pedoman umat
Islam di bawah judul ‘Ketidaknetralan Mufassir’.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, dapat pemakalah rumuskan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.
Bagaimana
arti kenetralan dan ketidaknetral dalam penafsiran ?
2.
Bagaimana
ketidaknetralan mufassir menjadi sebuah problem penafsiran ?
C.
Pembahasan
1.
Arti Netral dan Tidak Netral dalam Penafsiran
Saat kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia kita akan temukan
kata ‘netral’ dengan beberapa arti, yakni: tidak berpihak; tidak ikut atau
tidak membantu salah satu pihak, tidak berwarna; dapat dipakai untuk semua
warna, tidak di kelompok jantan atau betina, menunjukkan sifat yang secara
kimia tidak asam dan tidak basa, dan berarti bebas; tidak terikat oleh pekerjaan,
perkawinan dan sebagainya.[3]
Dalam kajian ini netral yang dinisbatkan kepada mufassir diartikan
sebagai ketidakbolehan mufassir memihak kepada pendapat siapapun kecuali
al-Qur’an dan Hadits[4].
Sehingga mufassir benar-benar memposisikan al-Qur’an sebagai hudan li nas (petunjuk
bagi manusia) dan bukan membela pendapat siapapun yang menjadi kecenderungan
mufassir dengan mengatasnamakan al-Qur’an sebagai dalil penguat argumen yang
dilontarkan. Dalam proses penafsiran, seorang mufassir harus membebaskan
dirinya sebebas-bebasnya dari berbagai keterikatan yang akan menghalanginya mencapai petunjuk
yang diberikan Allah SWT. di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan. Maka, ketidak
netralan yang merupakan kebalikan dari netral, dalam makalah ini dapat
diartikan sebagai keberpihakan mufassir kepada pendapat tertentu selain
al-Qur’an dan Hadits yang pada akhirnya menjadikan produk penafsirannya
melenceng dari kebenaran yang terkandung di dalam al-Qur’an itu sendiri.
Kenetralan mufassir ini penting sekali dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sehingga Abu al-A’la al-Mawdudi _sebagaimana dikutip Nashruddin Baidan_
memposisikannya sebagai syarat yang pertama
yang harus dipunyai oleh setiap orang yang bermaksud menafsirkan al-Qur’an.
Penegeasan Al-Mawdudi ini cukup beralasan bila diperhatikan berbagai tafsir
yang menyimpang sebagai akibat logis dari pengaruh aliran yang dianut oleh
mufassir.[5]
2.
Ketidaknetralan yang Menyimpang sebagai Sebuah Problem Penafsiran
Begitu pentingnya kenetralan mufassir dalam menyingkap makna-makna
yang terkandung dalam al-Qur’an sebagaimana disyaratkan Al-Mawdudi seperti
keterangan di atas. Akan tetapi dalam kenyataanya, banyak ditemui
ketidaknetralan yang dilakukan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Jika
kita mengamati beberapa kitab tafsir beserta penafsiran yang dihasilkan di
dalamnya, kita tentu akan temukan beberapa penafsiran yang tidak bisa dikatan
sebagai penjelas makna al-Qur’an dengan posisinya sebagai hudan li nas.
Banyak diantara mufassir yang masih terikat dengan golongan, madzhab, kelompok
yang diikuti dalam memaknai ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an. Kaum Rafidha
misalnya, ketika menafsirkan potongan ayat :
تبّت يدا أبى لهب وتبّ[6
Yang
terdapat dalam ayat pertama surah al-Lahab, ditafsiri dengan
Abu Bakar dan Umar. Sehingga pengertiannya menjadi “celakalah Abu Bakar dan
Umar dengar sebenar-benar celaka”. Demikian pula kata بقرة dalam ayat 67 dari surah al-Baqarah :
واذقال موسى لقومه إنّ الله يأمركم أن تذبحو بقرة
Mereka tafsirkan dengan ”‘Aisyah”,
sehingga ayat itu berkonotasi,”sesungguhnya Allah memerintahkan kamu
menyembelih ‘Aisyah’.
Penafsiran-penafsiran
ini dikarenakan mufassirnya membela kelompok Rafidhah sebagai kelompok yang
diikutinya. Rafidhah merupakan kelompok Syi’ah ekstrim. Mereka disebut
‘rafidhah’ karena menolak dan tidak mau mengakui khalifah (pemerintahan) Abu Bakar dan Umar. Maka
mereka berpendirian: Nabi menunjuk Ali menjadi Khalifah (kepala negara) untuk
menggantikan beliau. Mereka menganggap sesat
para sahabat Nabi yang tidak mau tunduk dan patuh kepada Ali. Mereka meyakini bahwa Ali senantiasa benar
dan maksum. Hal ini sebagaimana keterangan al-Ghurabi dalam Tarikh
al-Firaq al-Islamiyyah yang dikutip
Nashruddin Baidan. Tak ada rujukan dalam penafsiran ini baik secara lughawi maupun syar’i, kecuali
hanya didasarkan atas keyakinan subyektif yang diajarkan madzhabnya. Abu Bakar
dan Umar dipandang kaum Rafidhah telah
merampas hak Ali untuk menjadi khalifah,
demikian pula ‘Aisyah , juga berupaya ke arah itu karena menurut keyakinan
mereka Nabi telah berwasiat kepada Ali untuk menggantikan beliau. Guna
melegalisasi keyakinan itu mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan
garis madzhab yang mereka anut tersebut[7].
Hal serupa juga ada pada mufassir Mu’tazilah dalam menyikapi ayat:
وجوه يومئذ ناضرة. إلى ربها ناظرة.[8]
Mereka mengatakan sebagaimana dikutip Shobirin dan Umma Farida,
“Ketahuilah bahwa saudara-saudara kami dengan tegas menyangkal apa yang diduga
oleh orang-orang yang meyakini kemungkinan melihat Allah (ru’yah) dengan
alasan firman Allah tersebut, dengan mengajukan beberapa argumen. Mereka menjelaskan bahwa kata nazhar
di sini tidak berarti melihat, dan melihat tidak merupakan salah satu makna dari nazhar. Nazhar
itu bermacam-macam, antara lain (1) menggerakkan biji mata ke arah suatu benda
untuk melihatnya, (2) menunggu, (3) simpati dan berbaik hati, dan (4) berfikir
dan merenung. Mereka mengatakan, “jika melihat (ru’yah) bukan salah satu
bagian dari nazhar, berarti
pendapat yang mempersamakan arti nazhar dengan ru’yah tidak
relevan dengan arti lahiriah tersebut. Sehingga diperlukan mencari ta’wil ayat
dengan arti lain selain ru’yah itu. Sebagian dari tokoh mu’tazilah memberikan
pena’wilan dengan arti menunggu pahala meskipun kenyatannya pahala yang
ditunggu itu tidak disebut dalam ayat di atas.[9]
Karena terlalu mengagungkan rasio mereka cenderung
merasionalisasikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan paham mereka
sebagai mana telah disebutkan di atas.
Penafsiran seperti ini juga dilakukan kelompok batiniyah.
Metodologi yang mereka gunakan dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan takwil
(alegoris) yang bebas. Atribut ‘bebas’ ini dimaksudkan untuk membandingkan
dengan memiliki aturan-aturran tersendiri.
Dalam menafsirkan al-Qur’an mereka tidak terikat dalam aturan-aturan
yang ditetapkan secara baku di kalangan
mufassir mayoritas. Kebebasan yang diikutinya ini merupakan kebebasan yang
salah jalan. Justru sesungguhnya mereka tunduk pada makna batin sedang ia lari
dan memungkiri makna dhohir yang merupakan petujuk yang nyata. Kebebasan
mufassir adalah pembebasan dirinya sebebas-bebasnya dari berbagai
keterikatan yang akan menghalanginya
mencapai petunjuk yang diberikan Allah SWT. di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan[10],
bukan kebasan untuk lari dari petunjuk Allah. Oleh karena itu penakwilan mereka
dinilai sesat dan menyimpang. Mereka menggunakan takwil dengan bebas untuk
mengejar arti-arti batin yang tersimpan dalam tekstual ayat. Mereka beranggapan
bahwa al-Qur’an itu mempunyai dua makna, yaitu makna lahir dan makna batin.
Sedangkan yang dikehendaki adalah makna batinnya, karena yang dhahir itu dapat
dimaklumi dari ketentuan bahasa. Mereka berpegang pada firman Allah:
Lalu
diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada
rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.(Q.S. al-Hadid: 13)
Metode penafsiran mereka sebenarnya merupakan cerminan dari
keyakian yang mirip dengan falsafah Plato. Mereka percaya hukum-hukum agama
seperti sembahyang, puasa, haji dan ibadah lainnya hanya perlu buat lapisan
rakyat yang bodoh atau awam, dan bukan bagi orang-orang yang luar biasa (khawas)
seperti mereka. Akibatnya, setiap ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan taklif mereka
takwilkan dengan cara mengambi arti
batinnya. Sebagai contoh mereka menakwilkan wudlu dengan kepemimpinan imam, dan
tayamum diibaratkan mengambil bimbingan
dari pengganti imam yang berwenang di saat imam yang menjadi hujjah
sedang tidak ada.[11]
Contoh Penafsiran-penafsiran di atas memperlihatkan kepada keita
betapa kuatnya pengaruh alirah yang
mendominasi pemikiran mufassir sehingga ia senantiasa berusaha mengerahkan
seluruh kemampuan dan daya pikirnya
dalam menafsirkan ayat al-Qur’an supaya
cocok dengan paham yang dianutnya. Dalam ungkapan lain, para penganut suatu
aliran tertentu cenderung berupaya
menundukkan al-Qur’an di bawah pemikiran mereka. Bukan sebaliknya menjadikan
al-Qur’an sebagai pedoman atau panduan
dalam berfikir. Dari itu mereka tidak segan-segan memanipulasi makna yang dikandung olah suatu ayat, bahkan tanpa
malu sedikitpun memberikan makna yang cabul dan sangat jijik terhadap firman
Tuhan Yang Mulia dan Suci.
Dari uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa, jika
mufassir ingin selamat dari penafsiran yang menyimpang dari petunjuk al-Qur’an
dan dari garis-garis yang benar, maka mufassir mutlak harus melepaskan diri
dari paham yang dianutnya itu ketika menafsirkan Al-Qur’an; lalu ia menjadikan
al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman dan
panutan dalam proses penafsiran tersebut.
D.
Penutup
1.
Kesimpulan
Secara bahasa netral berarti: tidak berpihak; tidak ikut atau tidak
membantu salah satu pihak, atau berarti bebas; tidak terikat oleh pekerjaan,
perkawinan dan sebagainya. Sedangkan dalam kajian ini netral diartikan sebagai ketidakbolehan
mufassir memihak kepada pendapat siapapun kecuali al-Qur’an dan Hadits. Maka untuk lawannya yakni ketidaknetralan
dapat diartikan sebagai keberpihakan mufassir kepada pendapat tertentu selain
al-Qur’an dan Hadits yang pada akhirnya menjadikan produk penafsirannya
melenceng dari kebenaran yang terkandung di dalam al-Qur’an itu sendiri.
Ketidaknetralan mufassir dalam menafsirkan akan menjadi sebuah
problem ketika penafsir tidak lagi menjadikan al-Qur’an sebagai hudan lin
nas namun justru menundukkan al-Qur’an sebagai tameng pembela
madzhab/kelompok/aliran yang diikuti dan diyakininya. Sehingga hasil
penafsirannya menjadi melenceng dari kebenaran al-Qur’an itu sendiri. Maka, jika
mufassir ingin selamat dari penafsiran yang menyimpang dari petunjuk al-Qur’an,
maka mufassir mutlak harus melepaskan diri dari paham yang dianutnya itu ketika
menafsirkan Al-Qur’an.
2.
Kata Penutup
Demikianlah
makalah yang sedikit banyak mengurai permasalahan seputar ketidaknetralan
mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Segala kekurangan dan kesalahan mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat. Aminn...
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, Cet. IV, 1995.
Dosen Tafsir Hadits Fakultas
Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, edt.
A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004,
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru
Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2005.
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul
Qur’an,Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. II, 2012[1]Sobirin
dan Umma Farida, Madzahib At-Fafsir,Kudus:STAIN KUDUS,2008, hlm.67
.
[1]Dosen Tafsir
Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004, hlm.vi
[2]Sobirin dan
Umma Farida, Madzahib At-Fafsir,Kudus:STAIN KUDUS,2008, hlm.67
[3]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, Cet. IV, 1995, hlm.688
[4]Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I,
2005, hlm. 357
[5] Ibid.
[6] Al-Qur’an
al-Karim Surah al-Lahab ayat: 1
[7]Nashruddin
Baidan, Op.Cit.,hlm. 358
[8] Al-Qur’an
al-Karim Surah al- Qiyamah : 22-23
[9] Sobirin dan
Umma Farida, Op.Cit., hlm. 85
[10] Nashruddin
Baidan, Op.Cit, hlm. 357
[11]Rosihon Anwar, Pengantar
Ulumul Qur’an,Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. II, 2012, hlm.206
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?