Rabu, 08 April 2015

0 KETIDAKNETRALAN MUFASSIR



MENYOAL KETIDAKNETRALAN MUFASSIR
A.  Pendahuluan
Mufassir satu sebagaimana manusia biasa lainnya mempunyai kehidupan, pemikiran, cara pandang, dan kepribadian yang tidak sama dengan mufassir yang lain. Disamping itu, apa yang dialami mufassir, kondisi ekonomi, ilmu yang ditekuni, politik, keadaan sosial dan lain sebagainya turut mempengaruhi penafsiran. Hal inilah diantara yang menjadi sebab Al-Qur’an yang satu itu melahirkan beraneka ragam hasil penafsiran. Kegiatan menafsirkan al-Qur’an adalah sebentuk kegiatan untuk melihat dan menguji validitas sebuah teks  bagi kehidupan manusia, khususnya umat Islam. Teks akan senantiasa hidup jika digumulkan dengan realitas  apapun bentuknya sehingga dapat menjadi pemecah problem kemanusiaan dengan bentuk manifestasi yang bermacam-macam warnanya.[1]
Selanjutnya yang menjadi masalah adalah apabila perbedaan-perbedaan penafsiran tersebut jauh dari ketertundukan mufassir kepada al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup. Namun al-Qur’an justru ditundukkan pada realitas yang dihadapi mufassir, dan bahkan mufassir menundukkan al-Qur’an di bawah kepentingan baik pribadi maupun kelompok dalam membela argumen yang diajukan mufassir terhadap lawan biacaranya. Jika yang terjadi demikian, maka fungsi al-Qur’an sebagai hudan li nas tidak terlihat dalam penafsiran, yang ada hanyalah al-Qur’an dijadikan tameng dalam menghadapi lawan belaka.
Sejarah membuktikan bahwa fanatisme dan sektarianisme pada akhirnya menjadi penyebab lahirnya orang-orang  tertentu yang memberikan warna atas penafsiran yang berfariasi. Bahkan di akhir abad pertengahan, sebagai akibat fanatisme yang tinggi itulah lahirlah kecenderungan taqlid yang menghapuskan toleransi. Bagi generasi ini, imam atau tokoh besar dalam madzhab fikih tertentu misalnya menjadi basis dan standar penafsiran teks al-Qur’an. Sehingga muncullah adagium: “setiap ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan (pendapat) sahabat-sahabat kami (harus) ditakwilkan atau dihapus”.[2]
Hal inilah yang menarik pemakalah untuk membahas kenetralan para pentafsir al-Qur’an al-Karim sebagai kitab suci yang dijadikan pedoman umat Islam di bawah judul ‘Ketidaknetralan Mufassir’.

B.  Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, dapat pemakalah rumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.    Bagaimana arti kenetralan dan ketidaknetral dalam penafsiran ?
2.    Bagaimana ketidaknetralan mufassir menjadi sebuah problem penafsiran ?

C.  Pembahasan
1.    Arti Netral dan Tidak Netral dalam Penafsiran
Saat kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia kita akan temukan kata ‘netral’ dengan beberapa arti, yakni: tidak berpihak; tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak, tidak berwarna; dapat dipakai untuk semua warna, tidak di kelompok jantan atau betina, menunjukkan sifat yang secara kimia tidak asam dan tidak basa, dan berarti bebas; tidak terikat oleh pekerjaan, perkawinan dan sebagainya.[3]
Dalam kajian ini netral yang dinisbatkan kepada mufassir diartikan sebagai ketidakbolehan mufassir memihak kepada pendapat siapapun kecuali al-Qur’an dan Hadits[4]. Sehingga mufassir benar-benar memposisikan al-Qur’an sebagai hudan li nas (petunjuk bagi manusia) dan bukan membela pendapat siapapun yang menjadi kecenderungan mufassir dengan mengatasnamakan al-Qur’an sebagai dalil penguat argumen yang dilontarkan. Dalam proses penafsiran, seorang mufassir harus membebaskan dirinya sebebas-bebasnya dari berbagai keterikatan  yang akan menghalanginya mencapai petunjuk yang diberikan Allah SWT. di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan. Maka, ketidak netralan yang merupakan kebalikan dari netral, dalam makalah ini dapat diartikan sebagai keberpihakan mufassir kepada pendapat tertentu selain al-Qur’an dan Hadits yang pada akhirnya menjadikan produk penafsirannya melenceng dari kebenaran yang terkandung di dalam al-Qur’an itu sendiri.
Kenetralan mufassir ini penting sekali dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga Abu al-A’la al-Mawdudi _sebagaimana dikutip Nashruddin Baidan_ memposisikannya sebagai syarat yang pertama  yang harus dipunyai oleh setiap orang yang bermaksud menafsirkan al-Qur’an. Penegeasan Al-Mawdudi ini cukup beralasan bila diperhatikan berbagai tafsir yang menyimpang sebagai akibat logis dari pengaruh aliran yang dianut oleh mufassir.[5]

2.      Ketidaknetralan yang Menyimpang sebagai Sebuah Problem Penafsiran
Begitu pentingnya kenetralan mufassir dalam menyingkap makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an sebagaimana disyaratkan Al-Mawdudi seperti keterangan di atas. Akan tetapi dalam kenyataanya, banyak ditemui ketidaknetralan yang dilakukan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Jika kita mengamati beberapa kitab tafsir beserta penafsiran yang dihasilkan di dalamnya, kita tentu akan temukan beberapa penafsiran yang tidak bisa dikatan sebagai penjelas makna al-Qur’an dengan posisinya sebagai hudan li nas. Banyak diantara mufassir yang masih terikat dengan golongan, madzhab, kelompok yang diikuti dalam memaknai ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an. Kaum Rafidha misalnya, ketika menafsirkan potongan ayat :
تبّت يدا أبى لهب وتبّ[6
Yang terdapat dalam ayat pertama surah al-Lahab, ditafsiri  dengan Abu Bakar dan Umar. Sehingga pengertiannya menjadi “celakalah Abu Bakar dan Umar dengar sebenar-benar celaka”. Demikian pula kata بقرة dalam ayat 67 dari surah al-Baqarah :
 واذقال موسى لقومه إنّ الله يأمركم أن تذبحو بقرة
Mereka tafsirkan dengan ”‘Aisyah”, sehingga ayat itu berkonotasi,”sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyembelih ‘Aisyah’.
Penafsiran-penafsiran ini dikarenakan mufassirnya membela kelompok Rafidhah sebagai kelompok yang diikutinya. Rafidhah merupakan kelompok Syi’ah ekstrim. Mereka disebut ‘rafidhah’ karena menolak dan tidak mau mengakui khalifah  (pemerintahan) Abu Bakar dan Umar. Maka mereka berpendirian: Nabi menunjuk Ali menjadi Khalifah (kepala negara) untuk menggantikan beliau. Mereka menganggap sesat  para sahabat Nabi yang tidak mau tunduk dan patuh kepada Ali.  Mereka meyakini bahwa Ali senantiasa benar dan maksum. Hal ini sebagaimana keterangan al-Ghurabi dalam Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah  yang dikutip Nashruddin Baidan. Tak ada rujukan dalam penafsiran ini  baik secara lughawi maupun syar’i, kecuali hanya didasarkan atas keyakinan subyektif yang diajarkan madzhabnya. Abu Bakar dan Umar dipandang kaum Rafidhah  telah merampas hak Ali  untuk menjadi khalifah, demikian pula ‘Aisyah , juga berupaya ke arah itu karena menurut keyakinan mereka Nabi telah berwasiat kepada Ali untuk menggantikan beliau. Guna melegalisasi keyakinan itu mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan garis madzhab yang mereka anut tersebut[7].
Hal serupa juga ada pada mufassir Mu’tazilah dalam menyikapi ayat:
وجوه يومئذ ناضرة. إلى ربها ناظرة.[8] 
Mereka mengatakan sebagaimana dikutip Shobirin dan Umma Farida, “Ketahuilah bahwa saudara-saudara kami dengan tegas menyangkal apa yang diduga oleh orang-orang yang meyakini kemungkinan melihat Allah (ru’yah) dengan alasan firman Allah tersebut, dengan mengajukan beberapa argumen.  Mereka menjelaskan bahwa kata nazhar di sini tidak berarti melihat, dan melihat tidak merupakan  salah satu makna dari nazhar. Nazhar itu bermacam-macam, antara lain (1) menggerakkan biji mata ke arah suatu benda untuk melihatnya, (2) menunggu, (3) simpati dan berbaik hati, dan (4) berfikir dan merenung. Mereka mengatakan, “jika melihat (ru’yah) bukan salah satu bagian  dari nazhar, berarti pendapat yang mempersamakan arti nazhar dengan ru’yah tidak relevan dengan arti lahiriah tersebut. Sehingga diperlukan mencari ta’wil ayat dengan arti lain selain ru’yah itu. Sebagian dari tokoh mu’tazilah memberikan pena’wilan dengan arti menunggu pahala meskipun kenyatannya pahala yang ditunggu itu tidak disebut dalam ayat di atas.[9]
Karena terlalu mengagungkan rasio mereka cenderung merasionalisasikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan paham mereka sebagai mana telah disebutkan di atas.
Penafsiran seperti ini juga dilakukan kelompok batiniyah. Metodologi yang mereka gunakan dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan takwil (alegoris) yang bebas. Atribut ‘bebas’ ini dimaksudkan untuk membandingkan dengan memiliki aturan-aturran tersendiri.  Dalam menafsirkan al-Qur’an mereka tidak terikat dalam aturan-aturan yang ditetapkan secara baku  di kalangan mufassir mayoritas. Kebebasan yang diikutinya ini merupakan kebebasan yang salah jalan. Justru sesungguhnya mereka tunduk pada makna batin sedang ia lari dan memungkiri makna dhohir yang merupakan petujuk yang nyata. Kebebasan mufassir adalah pembebasan dirinya sebebas-bebasnya dari berbagai keterikatan  yang akan menghalanginya mencapai petunjuk yang diberikan Allah SWT. di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan[10], bukan kebasan untuk lari dari petunjuk Allah. Oleh karena itu penakwilan mereka dinilai sesat dan menyimpang. Mereka menggunakan takwil dengan bebas untuk mengejar arti-arti batin yang tersimpan dalam tekstual ayat. Mereka beranggapan bahwa al-Qur’an itu mempunyai dua makna, yaitu makna lahir dan makna batin. Sedangkan yang dikehendaki adalah makna batinnya, karena yang dhahir itu dapat dimaklumi dari ketentuan bahasa. Mereka berpegang pada firman Allah:
Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.(Q.S. al-Hadid: 13)

Metode penafsiran mereka sebenarnya merupakan cerminan dari keyakian yang mirip dengan falsafah Plato. Mereka percaya hukum-hukum agama seperti sembahyang, puasa, haji dan ibadah lainnya hanya perlu buat lapisan rakyat yang bodoh atau awam, dan bukan bagi orang-orang yang luar biasa (khawas) seperti mereka. Akibatnya, setiap ayat al-Qur’an  yang berkaitan dengan taklif mereka takwilkan  dengan cara mengambi arti batinnya. Sebagai contoh mereka menakwilkan wudlu dengan kepemimpinan imam, dan tayamum diibaratkan mengambil bimbingan  dari pengganti imam yang berwenang di saat imam yang menjadi hujjah sedang tidak ada.[11] 
Contoh Penafsiran-penafsiran di atas memperlihatkan kepada keita betapa kuatnya pengaruh alirah  yang mendominasi pemikiran mufassir sehingga ia senantiasa berusaha mengerahkan seluruh kemampuan  dan daya pikirnya dalam menafsirkan ayat al-Qur’an  supaya cocok dengan paham yang dianutnya. Dalam ungkapan lain, para penganut suatu aliran tertentu  cenderung berupaya menundukkan al-Qur’an di bawah pemikiran mereka. Bukan sebaliknya menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman  atau panduan dalam berfikir. Dari itu mereka tidak segan-segan memanipulasi makna  yang dikandung olah suatu ayat, bahkan tanpa malu sedikitpun memberikan makna yang cabul dan sangat jijik terhadap firman Tuhan Yang Mulia dan Suci.
Dari uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa, jika mufassir ingin selamat dari penafsiran yang menyimpang dari petunjuk al-Qur’an dan dari garis-garis yang benar, maka mufassir mutlak harus melepaskan diri dari paham yang dianutnya itu ketika menafsirkan Al-Qur’an; lalu ia menjadikan al-Qur’an dan hadits  sebagai pedoman dan panutan dalam proses penafsiran tersebut.

D.  Penutup
1.      Kesimpulan
Secara bahasa netral berarti: tidak berpihak; tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak, atau berarti bebas; tidak terikat oleh pekerjaan, perkawinan dan sebagainya. Sedangkan dalam kajian ini netral diartikan sebagai ketidakbolehan mufassir memihak kepada pendapat siapapun kecuali al-Qur’an dan Hadits. Maka untuk lawannya yakni ketidaknetralan dapat diartikan sebagai keberpihakan mufassir kepada pendapat tertentu selain al-Qur’an dan Hadits yang pada akhirnya menjadikan produk penafsirannya melenceng dari kebenaran yang terkandung di dalam al-Qur’an itu sendiri.
Ketidaknetralan mufassir dalam menafsirkan akan menjadi sebuah problem ketika penafsir tidak lagi menjadikan al-Qur’an sebagai hudan lin nas namun justru menundukkan al-Qur’an sebagai tameng pembela madzhab/kelompok/aliran yang diikuti dan diyakininya. Sehingga hasil penafsirannya menjadi melenceng dari kebenaran al-Qur’an itu sendiri. Maka, jika mufassir ingin selamat dari penafsiran yang menyimpang dari petunjuk al-Qur’an, maka mufassir mutlak harus melepaskan diri dari paham yang dianutnya itu ketika menafsirkan Al-Qur’an.

2.    Kata Penutup
Demikianlah makalah yang sedikit banyak mengurai permasalahan seputar ketidaknetralan mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Segala kekurangan dan kesalahan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat. Aminn...


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. IV, 1995.
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004,
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2005.
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an,Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. II, 2012[1]Sobirin dan Umma Farida, Madzahib At-Fafsir,Kudus:STAIN KUDUS,2008, hlm.67
.



[1]Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004, hlm.vi
[2]Sobirin dan Umma Farida, Madzahib At-Fafsir,Kudus:STAIN KUDUS,2008, hlm.67
[3]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. IV, 1995, hlm.688
[4]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2005, hlm. 357
[5] Ibid.
[6] Al-Qur’an al-Karim Surah al-Lahab ayat: 1
[7]Nashruddin Baidan, Op.Cit.,hlm. 358
[8] Al-Qur’an al-Karim Surah al- Qiyamah : 22-23
[9] Sobirin dan Umma Farida, Op.Cit., hlm. 85
[10] Nashruddin Baidan, Op.Cit, hlm. 357
[11]Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an,Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. II, 2012, hlm.206

0 Comments

Bagaimana Pendapat Anda ?