Rabu, 08 April 2015

0 KETIDAKNETRALAN MUFASSIR



MENYOAL KETIDAKNETRALAN MUFASSIR
A.  Pendahuluan
Mufassir satu sebagaimana manusia biasa lainnya mempunyai kehidupan, pemikiran, cara pandang, dan kepribadian yang tidak sama dengan mufassir yang lain. Disamping itu, apa yang dialami mufassir, kondisi ekonomi, ilmu yang ditekuni, politik, keadaan sosial dan lain sebagainya turut mempengaruhi penafsiran. Hal inilah diantara yang menjadi sebab Al-Qur’an yang satu itu melahirkan beraneka ragam hasil penafsiran. Kegiatan menafsirkan al-Qur’an adalah sebentuk kegiatan untuk melihat dan menguji validitas sebuah teks  bagi kehidupan manusia, khususnya umat Islam. Teks akan senantiasa hidup jika digumulkan dengan realitas  apapun bentuknya sehingga dapat menjadi pemecah problem kemanusiaan dengan bentuk manifestasi yang bermacam-macam warnanya.[1]
Selanjutnya yang menjadi masalah adalah apabila perbedaan-perbedaan penafsiran tersebut jauh dari ketertundukan mufassir kepada al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup. Namun al-Qur’an justru ditundukkan pada realitas yang dihadapi mufassir, dan bahkan mufassir menundukkan al-Qur’an di bawah kepentingan baik pribadi maupun kelompok dalam membela argumen yang diajukan mufassir terhadap lawan biacaranya. Jika yang terjadi demikian, maka fungsi al-Qur’an sebagai hudan li nas tidak terlihat dalam penafsiran, yang ada hanyalah al-Qur’an dijadikan tameng dalam menghadapi lawan belaka.
Sejarah membuktikan bahwa fanatisme dan sektarianisme pada akhirnya menjadi penyebab lahirnya orang-orang  tertentu yang memberikan warna atas penafsiran yang berfariasi. Bahkan di akhir abad pertengahan, sebagai akibat fanatisme yang tinggi itulah lahirlah kecenderungan taqlid yang menghapuskan toleransi. Bagi generasi ini, imam atau tokoh besar dalam madzhab fikih tertentu misalnya menjadi basis dan standar penafsiran teks al-Qur’an. Sehingga muncullah adagium: “setiap ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan (pendapat) sahabat-sahabat kami (harus) ditakwilkan atau dihapus”.[2]
Hal inilah yang menarik pemakalah untuk membahas kenetralan para pentafsir al-Qur’an al-Karim sebagai kitab suci yang dijadikan pedoman umat Islam di bawah judul ‘Ketidaknetralan Mufassir’.

B.  Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, dapat pemakalah rumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.    Bagaimana arti kenetralan dan ketidaknetral dalam penafsiran ?
2.    Bagaimana ketidaknetralan mufassir menjadi sebuah problem penafsiran ?

C.  Pembahasan
1.    Arti Netral dan Tidak Netral dalam Penafsiran
Saat kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia kita akan temukan kata ‘netral’ dengan beberapa arti, yakni: tidak berpihak; tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak, tidak berwarna; dapat dipakai untuk semua warna, tidak di kelompok jantan atau betina, menunjukkan sifat yang secara kimia tidak asam dan tidak basa, dan berarti bebas; tidak terikat oleh pekerjaan, perkawinan dan sebagainya.[3]
Dalam kajian ini netral yang dinisbatkan kepada mufassir diartikan sebagai ketidakbolehan mufassir memihak kepada pendapat siapapun kecuali al-Qur’an dan Hadits[4]. Sehingga mufassir benar-benar memposisikan al-Qur’an sebagai hudan li nas (petunjuk bagi manusia) dan bukan membela pendapat siapapun yang menjadi kecenderungan mufassir dengan mengatasnamakan al-Qur’an sebagai dalil penguat argumen yang dilontarkan. Dalam proses penafsiran, seorang mufassir harus membebaskan dirinya sebebas-bebasnya dari berbagai keterikatan  yang akan menghalanginya mencapai petunjuk yang diberikan Allah SWT. di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan. Maka, ketidak netralan yang merupakan kebalikan dari netral, dalam makalah ini dapat diartikan sebagai keberpihakan mufassir kepada pendapat tertentu selain al-Qur’an dan Hadits yang pada akhirnya menjadikan produk penafsirannya melenceng dari kebenaran yang terkandung di dalam al-Qur’an itu sendiri.
Kenetralan mufassir ini penting sekali dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga Abu al-A’la al-Mawdudi _sebagaimana dikutip Nashruddin Baidan_ memposisikannya sebagai syarat yang pertama  yang harus dipunyai oleh setiap orang yang bermaksud menafsirkan al-Qur’an. Penegeasan Al-Mawdudi ini cukup beralasan bila diperhatikan berbagai tafsir yang menyimpang sebagai akibat logis dari pengaruh aliran yang dianut oleh mufassir.[5]

2.      Ketidaknetralan yang Menyimpang sebagai Sebuah Problem Penafsiran
Begitu pentingnya kenetralan mufassir dalam menyingkap makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an sebagaimana disyaratkan Al-Mawdudi seperti keterangan di atas. Akan tetapi dalam kenyataanya, banyak ditemui ketidaknetralan yang dilakukan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Jika kita mengamati beberapa kitab tafsir beserta penafsiran yang dihasilkan di dalamnya, kita tentu akan temukan beberapa penafsiran yang tidak bisa dikatan sebagai penjelas makna al-Qur’an dengan posisinya sebagai hudan li nas. Banyak diantara mufassir yang masih terikat dengan golongan, madzhab, kelompok yang diikuti dalam memaknai ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an. Kaum Rafidha misalnya, ketika menafsirkan potongan ayat :
تبّت يدا أبى لهب وتبّ[6
Yang terdapat dalam ayat pertama surah al-Lahab, ditafsiri  dengan Abu Bakar dan Umar. Sehingga pengertiannya menjadi “celakalah Abu Bakar dan Umar dengar sebenar-benar celaka”. Demikian pula kata بقرة dalam ayat 67 dari surah al-Baqarah :
 واذقال موسى لقومه إنّ الله يأمركم أن تذبحو بقرة
Mereka tafsirkan dengan ”‘Aisyah”, sehingga ayat itu berkonotasi,”sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyembelih ‘Aisyah’.
Penafsiran-penafsiran ini dikarenakan mufassirnya membela kelompok Rafidhah sebagai kelompok yang diikutinya. Rafidhah merupakan kelompok Syi’ah ekstrim. Mereka disebut ‘rafidhah’ karena menolak dan tidak mau mengakui khalifah  (pemerintahan) Abu Bakar dan Umar. Maka mereka berpendirian: Nabi menunjuk Ali menjadi Khalifah (kepala negara) untuk menggantikan beliau. Mereka menganggap sesat  para sahabat Nabi yang tidak mau tunduk dan patuh kepada Ali.  Mereka meyakini bahwa Ali senantiasa benar dan maksum. Hal ini sebagaimana keterangan al-Ghurabi dalam Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah  yang dikutip Nashruddin Baidan. Tak ada rujukan dalam penafsiran ini  baik secara lughawi maupun syar’i, kecuali hanya didasarkan atas keyakinan subyektif yang diajarkan madzhabnya. Abu Bakar dan Umar dipandang kaum Rafidhah  telah merampas hak Ali  untuk menjadi khalifah, demikian pula ‘Aisyah , juga berupaya ke arah itu karena menurut keyakinan mereka Nabi telah berwasiat kepada Ali untuk menggantikan beliau. Guna melegalisasi keyakinan itu mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan garis madzhab yang mereka anut tersebut[7].
Hal serupa juga ada pada mufassir Mu’tazilah dalam menyikapi ayat:
وجوه يومئذ ناضرة. إلى ربها ناظرة.[8] 
Mereka mengatakan sebagaimana dikutip Shobirin dan Umma Farida, “Ketahuilah bahwa saudara-saudara kami dengan tegas menyangkal apa yang diduga oleh orang-orang yang meyakini kemungkinan melihat Allah (ru’yah) dengan alasan firman Allah tersebut, dengan mengajukan beberapa argumen.  Mereka menjelaskan bahwa kata nazhar di sini tidak berarti melihat, dan melihat tidak merupakan  salah satu makna dari nazhar. Nazhar itu bermacam-macam, antara lain (1) menggerakkan biji mata ke arah suatu benda untuk melihatnya, (2) menunggu, (3) simpati dan berbaik hati, dan (4) berfikir dan merenung. Mereka mengatakan, “jika melihat (ru’yah) bukan salah satu bagian  dari nazhar, berarti pendapat yang mempersamakan arti nazhar dengan ru’yah tidak relevan dengan arti lahiriah tersebut. Sehingga diperlukan mencari ta’wil ayat dengan arti lain selain ru’yah itu. Sebagian dari tokoh mu’tazilah memberikan pena’wilan dengan arti menunggu pahala meskipun kenyatannya pahala yang ditunggu itu tidak disebut dalam ayat di atas.[9]
Karena terlalu mengagungkan rasio mereka cenderung merasionalisasikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan paham mereka sebagai mana telah disebutkan di atas.
Penafsiran seperti ini juga dilakukan kelompok batiniyah. Metodologi yang mereka gunakan dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan takwil (alegoris) yang bebas. Atribut ‘bebas’ ini dimaksudkan untuk membandingkan dengan memiliki aturan-aturran tersendiri.  Dalam menafsirkan al-Qur’an mereka tidak terikat dalam aturan-aturan yang ditetapkan secara baku  di kalangan mufassir mayoritas. Kebebasan yang diikutinya ini merupakan kebebasan yang salah jalan. Justru sesungguhnya mereka tunduk pada makna batin sedang ia lari dan memungkiri makna dhohir yang merupakan petujuk yang nyata. Kebebasan mufassir adalah pembebasan dirinya sebebas-bebasnya dari berbagai keterikatan  yang akan menghalanginya mencapai petunjuk yang diberikan Allah SWT. di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan[10], bukan kebasan untuk lari dari petunjuk Allah. Oleh karena itu penakwilan mereka dinilai sesat dan menyimpang. Mereka menggunakan takwil dengan bebas untuk mengejar arti-arti batin yang tersimpan dalam tekstual ayat. Mereka beranggapan bahwa al-Qur’an itu mempunyai dua makna, yaitu makna lahir dan makna batin. Sedangkan yang dikehendaki adalah makna batinnya, karena yang dhahir itu dapat dimaklumi dari ketentuan bahasa. Mereka berpegang pada firman Allah:
Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.(Q.S. al-Hadid: 13)

Metode penafsiran mereka sebenarnya merupakan cerminan dari keyakian yang mirip dengan falsafah Plato. Mereka percaya hukum-hukum agama seperti sembahyang, puasa, haji dan ibadah lainnya hanya perlu buat lapisan rakyat yang bodoh atau awam, dan bukan bagi orang-orang yang luar biasa (khawas) seperti mereka. Akibatnya, setiap ayat al-Qur’an  yang berkaitan dengan taklif mereka takwilkan  dengan cara mengambi arti batinnya. Sebagai contoh mereka menakwilkan wudlu dengan kepemimpinan imam, dan tayamum diibaratkan mengambil bimbingan  dari pengganti imam yang berwenang di saat imam yang menjadi hujjah sedang tidak ada.[11] 
Contoh Penafsiran-penafsiran di atas memperlihatkan kepada keita betapa kuatnya pengaruh alirah  yang mendominasi pemikiran mufassir sehingga ia senantiasa berusaha mengerahkan seluruh kemampuan  dan daya pikirnya dalam menafsirkan ayat al-Qur’an  supaya cocok dengan paham yang dianutnya. Dalam ungkapan lain, para penganut suatu aliran tertentu  cenderung berupaya menundukkan al-Qur’an di bawah pemikiran mereka. Bukan sebaliknya menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman  atau panduan dalam berfikir. Dari itu mereka tidak segan-segan memanipulasi makna  yang dikandung olah suatu ayat, bahkan tanpa malu sedikitpun memberikan makna yang cabul dan sangat jijik terhadap firman Tuhan Yang Mulia dan Suci.
Dari uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa, jika mufassir ingin selamat dari penafsiran yang menyimpang dari petunjuk al-Qur’an dan dari garis-garis yang benar, maka mufassir mutlak harus melepaskan diri dari paham yang dianutnya itu ketika menafsirkan Al-Qur’an; lalu ia menjadikan al-Qur’an dan hadits  sebagai pedoman dan panutan dalam proses penafsiran tersebut.

D.  Penutup
1.      Kesimpulan
Secara bahasa netral berarti: tidak berpihak; tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak, atau berarti bebas; tidak terikat oleh pekerjaan, perkawinan dan sebagainya. Sedangkan dalam kajian ini netral diartikan sebagai ketidakbolehan mufassir memihak kepada pendapat siapapun kecuali al-Qur’an dan Hadits. Maka untuk lawannya yakni ketidaknetralan dapat diartikan sebagai keberpihakan mufassir kepada pendapat tertentu selain al-Qur’an dan Hadits yang pada akhirnya menjadikan produk penafsirannya melenceng dari kebenaran yang terkandung di dalam al-Qur’an itu sendiri.
Ketidaknetralan mufassir dalam menafsirkan akan menjadi sebuah problem ketika penafsir tidak lagi menjadikan al-Qur’an sebagai hudan lin nas namun justru menundukkan al-Qur’an sebagai tameng pembela madzhab/kelompok/aliran yang diikuti dan diyakininya. Sehingga hasil penafsirannya menjadi melenceng dari kebenaran al-Qur’an itu sendiri. Maka, jika mufassir ingin selamat dari penafsiran yang menyimpang dari petunjuk al-Qur’an, maka mufassir mutlak harus melepaskan diri dari paham yang dianutnya itu ketika menafsirkan Al-Qur’an.

2.    Kata Penutup
Demikianlah makalah yang sedikit banyak mengurai permasalahan seputar ketidaknetralan mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Segala kekurangan dan kesalahan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat. Aminn...


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. IV, 1995.
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004,
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2005.
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an,Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. II, 2012[1]Sobirin dan Umma Farida, Madzahib At-Fafsir,Kudus:STAIN KUDUS,2008, hlm.67
.



[1]Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004, hlm.vi
[2]Sobirin dan Umma Farida, Madzahib At-Fafsir,Kudus:STAIN KUDUS,2008, hlm.67
[3]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. IV, 1995, hlm.688
[4]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2005, hlm. 357
[5] Ibid.
[6] Al-Qur’an al-Karim Surah al-Lahab ayat: 1
[7]Nashruddin Baidan, Op.Cit.,hlm. 358
[8] Al-Qur’an al-Karim Surah al- Qiyamah : 22-23
[9] Sobirin dan Umma Farida, Op.Cit., hlm. 85
[10] Nashruddin Baidan, Op.Cit, hlm. 357
[11]Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an,Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. II, 2012, hlm.206

Rabu, 01 April 2015

0 TAKHRIJ HADITS


 

TAKHRIJ HADITS
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ”.....

A.  Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk muslim besar diantara negara-negara di dunia ini. Namun masalah yang muncul, banyak kita temui beberapa tindakan orang-orang Islam yang tidak mencerminkan pribadi Muslim yang baik, sehingga menghantarkan pada klaim bahwa Islam itu kejam, Islam itu teroris, Islam itu bengis dan yang lainnya. Dalam makalah ini akan dibahas takhrij hadits yang berisi tentang bagaimana Nabi memberikan gambaran bagaimana menjadi pribadi muslim yang baik dengan batasan yang simpel namun syarat akan kelas makna yang tinggi. Adapun matan hadits tersebut adalah:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ.
Namun tittik tekan dalam makalah ini adalah, pemakalah mencoba mengurai dari sisi takhrij Hadits yang pemakalah lakukan berdasarkan teori yang kita peroleh selama ini. Seperti yang didefinis Muhammad Abduh al-Mahdi sebagaimana dikutip Muhamad Nurudin bahwa yang dimaksud takhrijul hadits menurut ahli hadits  ada tata cara seseorang menyebutkan  dalam kitab tentang suatu hadits dengan sanadnya sendiri sementara itu Mahmud a-Thahan memberikan definisi yang lebih, yakni takhrij diartikan sebagai penunjukan tempat hadits pada sumber aslinya, dimana hadits tersebut diriwayatkan lengkap dengan sanad-sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya manakala diperlukan.[1]

B.  Sanad
Dari hasil penelusuran pemakalah, ada beberapa jalur sanad yang ditemukan baik dari Imam al-Bukhori, Imam Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Imam Ahmad dan Ibn Hibban.
1.    Riwayat Bukhori
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ[2]
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ[3]
2.    Riwayat Muslim
حَدَّثَنَا حَسَنٌ الْحُلْوَانِيُّ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَاصِمٍ قَالَ عَبْدٌ أَنْبَأَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا الزُّبَيْرِ يَقُولُ سَمِعْتُ جَابِرًا يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ[4]
3.    Riwayat Tirmidzi
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ[5]
4.    Riwayat an-Nasa’i
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَعِيلَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ[6]
5.    Riwayat Imam Ahmad
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَامِرٌ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ[7]
6.    Riwayat Ibnu Hibban
أخبرنا عبد الله بن قحطبة بفم الصلح ، حدثنا محمد بن الصباح ، حدثنا عبيدة بن حميد ، عن بيان بن بشر ، عن عامر ، عن عبد الله بن عمرو ، عن النبي صلى الله عليه وسلم ، قال : « المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده ، والمهاجر من هاجر ما نهى الله عنه »[8]
C.  I’tibar
Secara bahasa, i’tibar berarti peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dikethui sesuatunya yang sejenis. Sedangkan menurut istilah ilmu hadits sebagaimana yang dimaksud disini adalah i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad  yang untuk suatu hadits tertentu agar dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak  untuk bagian sanad dari sanad hadits yang dimaksud.[9]
Berikut adalah gambar skema i’tibar yang dilakukan pemakalah:
Dari skema di atas dapat kita lihat bahwa hadits tentang pribadi muslim yang baik (الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ)  memiliki syahid[10] bagi Abdullah bin ‘Amr  yaitu  Abu Hurairah dan Jabir, yang mana Abdullah bin ‘Amr  masuk pada riwayat Imam al-Bukhori, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban. Sedangkan Abu Hurairah dalam riwayat at-tirmidzi dan Sahabt Jabir masuk pad riwayat Muslim.  Adapun ketika melihat riwat Bukhori kita juga akan menemukan mutabi[11] bagi Amir yaitu asy-Syi’bi.

D. Kritik Sanad dan Matn
1.    Sanad
Dalam melakukan kritik sanad, pemakalah menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
-       Pertama,mencatat semua periwayat dalam sanad yang diteliti. Adapun yang pemakalah maksud adalah riwayat al-bukhori yang melalui jalur sanad Abdullah bin Amr yang dilanjutkan kepada Amir, yaitu sebagai berikut:
a.    Abdullah bin ‘Amr
Nama lengkapnya yakni Abdullah bin Amr bin Ash bin Wali bin Hasyim al-Qurasi. Beliau termasuk sahabat  thabaqah pertama.
Guru-gurunya :  Nabi Saw., Suraqah bin Malik, Abdurrahman bin Auf, Amru bin Ash
Murid-muridnya antara lain: Thalaq bin Ubaid, Ashim bin Sufyan, Amir bin Syarakhil, Abbas bin Jalid, Abdullah bin Babah.
Beberapa pendapat ulama :
·       Ahmad bin Hanbal mengatakan Beliau wafat pada ليا لي الحرة yaitu pada tahun 63 bulan dzulhijjah
·       Al-Lais mengatakan wafatnya Beliau tahun 68 H
·       Ibnu Hajar mengatakan  penuturan al-Askari bahwa Beliau hidup hampir 100 tahun itu tidak benar.[12]
b.      Amir
Namanya adalah Amir bin Syarakhil, beliau termasuk thabaqat ke-3 tabi’in pertengahan. Beliau wafat setelah 100 H.
Guru-gurunya antara lain: Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Amr bin Ash, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Muti’ bin Aswad.
Murid-muridnya antara lain: Rabi’ah bin Yazid, Zubaid al-Yami, Zakaria bin Abi Zaidah, As-Sara bin Ismail
Pendapat ulama :
·       Makhul : ما رايت افقه منه
·       Abu Mujaliz : ما رايت فيهم افقه منه
·       Ibnu Ma’in : ثقه [13]
c.       Zakaria
Namanya Zakaria bin Abi Zaidah. Beliau termasuk thabaqah ke-6 dari orang-orang yang semasa dengan tabi’in senior. Wafat tahun 147/148/149 H.
Guru-gurunya antara lain: Amr Ash Syi’bi, Al-Abbas bin Dzuraikh, Abdurrahman Ibnu al-Ashbihani, Atiyah al-‘Aufi, Abdul Malik bin Umair.
Murid-muridnya antara lain: Ali bin Yazid as-Shadai, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Fadl.
Pendapat ulama :
·      Al- Mizi :  ليس به بأس
·      Ibnu Hibban : memasukkanya dalam kitabت التّقا
·      Abu Bakr al-Bazar : ثقة
·      Ibnu Sa’d :  ثقة كثيرالحديث كان[14]
d.    Abu Nu’aim
Namanya adalah Al-Fadl bin Dakin. Beliau lahir tahun 130 H, termasuk thabaqah ke-9 dari Atbaut Tabi’in senior. Wafat pada tahun 218 H / 219 H di Kuffah.
Guru-gurunya antara lain : Zafar bin al-Hudail, Zakaria bin Abi Zaidah, Zamah bin Sholeh, Abi Khoisyamah Zuhair bin Mu’awiyah, Ziad bin Lahiq
Murid-muridnya antara lain: Imam al-Bukhari, Ibrahim bin Isyhaq, Al-Harbi, Ibrahim bin al-Khusain, Ahmad bin Ishaq, Ahmad bin al- Hasan, Ahmad bin Khalid.
Pendapat ulama :
·       Ibnu Hajar : ثقه ثبت
·       Ibnu Sa’d : ثقه مأمونا كان [15]
e.    Imam Bukhari
Nama lengkapnya yakni Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi. Beliau wafat pada tahun 256 H.
Guru-Gurunya antara lain: al-Fadl bin Dakin, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Khalid al-Wahabi, Abu Tsabit, Muhammad bin Kasir, Qutaibah bin Sa’id, Abdullah bin Yusuf at-Tunisi
Murid-muridnya antara lain: at-Tirmidzi, Ja’far bin Muhammad Al-Qattan, Muhammad bin Ziyad, Abu Bakar Abdullah bin Dawud, Ghafir bin Jarir.
Pendapat ulama :
·       Ibnu Hajar :  إمام الدنيا فى فقه الحديث
·       Muhammad bin Yusuf: Beliau berkata kepadaku, “Saya tidak menuliskan satu Hadits di dalam Shahih Bukhari, kecuali saya mandi sebelum itu dan shalat dua rokaat”.
·       Ja’far bin Muhammad al-Qattan berkata aku mendengar Muhammad bin Ismail berkata : “Aku telah menulis hadis dari 1000 guru lebih tak ada hadis yang kupunyai kecuali aku juga menyebutkan sanadnya”[16].
-          Ke dua, meneliti kata-kata (istilah/lambang periwayatan) yang menghubungkan antara para periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah berupa haddatsani, haddatsana, akhbarana, ‘an, anna atau kata-kata lainnya.[17]
Adapun kata-kata yang muncul dari Imam al-Bukhari untuk Abu Nu’aim adalah haddatsana,Abu Nu’aim untuk Zakaria sama haddatsana, juga zakaria untuk Amir berkata haddatsana, sedangkang Amir utuk Abdullah bin ‘Amr berkata sami’tu, dan Abdullah bin ‘Amr untuk Rasulullah berkata qaala.

Secara ringkas, hasil kritik sanad pemakalah dapat dilihat pada tabel berikut:
No.
Nama
Th. Wafat
Tingkatan
Status
Lmbang Riwayat
1
Abdullah bin ‘Amr
63/68 H
Sahabat
Sahabat
قَالَ
2
Amir
100 H
Tabiin
Tsiqah
سَمِعْتُ
3
Zakaria
147/148/149 H
Tabiin
Tsiqah
عَنْ
4
Abu Nu’aim
218/219 H
Tabi’ Tabiin
Tsiqah
حَدَّثَنَا
5
Imam Bukhari
256 H
Aakhidz T.T.
Mukhorrij
حَدَّثَنَا

Melihat rangkaian sanad hadis ini yang diriwayatkan Imam Bukhari melalui jalur Abu Nu’aim ini, kita dapat melihat beberapa varian dalam takhamul wal ada’ dari masing-masing perowi. Imam Bukhari menggunakan shigat حدّثنا kepada Abu Nu’aim begitu juga Abu Nu’aim kepada Zakaria. Lalu Zakaria kepada Amir menggunakan shigat عن, Amir kepada Abdullah bin Amr menggunakan shigat سمعت, dan Abdullah bin Amr kepada Rasulullah menggunakan shigat قال. Secara umum lambang-lambang tersebut masuk dalam kategori sama’ yang merupakan tingkatan pertama dalam tahammul wal ada’[18]. Hanya saja ada satu yang diperselisihkan para ulama, yakni ‘an.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hadits yang mengandung harf ‘an  adalah sanad yang terputus. Namun mayoritas ulama menilainya masuk pada al-sama’ dengan syarat tidak ada penyembunyian informasi (tadlis), dimungkinkan ada pertemuan antara guru dan murid, periwayat harus terpercaya, demikian tambahan malik bin Anas, Ibnu Abd. Al-Barr dan al-Iraqi[19]. Setelah melihat keadaan Zakaria yang tidak melakukan tadlis, kemudian melihat tahun wafat beliau dengan guru dan juga domisili mereka yang sama-sama di Kuffah, kemungkinan besar kduanya bertemu. Dan yang terakhir melihat pendapat para Ulama yang menyatakan bahwa Zakaria adalah orang yang terpercaya. Maka pemakalah menyimpulkan bahwa meskipun redaksi yang digunakan Zakaria adalah ‘an, tapi masuk pada penilaian sama’ yang otomatis ittishal antara beliau dengan sang guru.
Kemudian apabila dilihat dari tahun wafat masing-masing para perowi yang ada, di mungkinkan semasa, dan dilihat dari tempat wafatnya para perowi dapat bertemu dengan gurunya. Hal ini sesuai dengan syarat keshahihan hadis (isnad) yang ditetapkan Imam Bukhari yaitu disamping satu masa harus bertemu antara guru dan murid.
Akhirnya, berdasarkan data-data yang kami peroleh di atas, pemakalah menyimpulkan bahwa sanad hadits الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ yang diriwayatkan Imam al-Bukhori dengan jalur Abdullah bin ‘Amr yang diteruskan ‘Amir adalah Shohih Sanadnya.



2.    Matan
Setelah pemakalah dapati kesimpulan bahwa sanad hadits الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ berkwalitas shohih, maka pemakalah lanjutkan pada kriktik matan. Adapun langkah-langkah yang pemakalah lakukan adalah:
a.    Meneliti susunan matan.
Riwayat Bukhori
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Riwayat Muslim
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Riwayat Tirmidzi
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
Riwayat an-Nasa’i
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Riwayat Imam Ahmad
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Riwayat Ibnu Hibban
« المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده ، والمهاجر من هاجر ما نهى الله عنه »
Dari kelima perowi masing-masing dari tiga perowi yakni imam al-Bukhori, an-Nasa’i, Imam Ahmad dan Ibnu Hibban matan yang diriwayatkan sama tidak ada. Namun untuk Imam Muslim berhenti pada وَيَدِهِ. Sedangkan at-Tirmidzi kelanjutan stelah الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ  bukanlah وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ akan tetapi وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ.
Sehingga dari ketiga redaksi, pemakalah tidak menemukan pertentangan secara sighnifikan. Hanya saja perbedaan yang ada mempunyai arah yang berbeda, yakni penjelasan وَالْمُهَاجِرُ dan  وَالْمُؤْمِنُ . Namun kesemuanya mempunyai kesamaan titik pada batasan/pengertian المسلم.
b.      Menghadapkan matan hadits kepada kriteria keshahihan matan
Para ulama ahli hadits dalam menentukan kesahihan matan mempunyai kriterian yaang berbeda-beda. Ada yang banyak syarat, ada yang sedikit juga ada yang sedang (dalam pandangan pemakalah). Dalam makalah ini pemakalah mengambil kriteria Shalah ad-Dhin al-Idlibi, yakni :
1.      Tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an
2.      Tidak bertentangan dengan Sunnah yang tetap, juga tidak bertentangan dengan sirah nabawiyyah yang telah diakui ummat
3.      Tidak bertentangan dengan akal, bukti empirik dan kenyataan sejarah.[20]
Setelah menelaah hadits tersebut dan/dengan menelaah kitab syarah hadits yang menjelaskan  hadits tersebut di atas pemakalah dapat menyimpulkan bahwa hadits tersebut shohih matannya, dengan alasan:
1.      Adanya hadits-hadits pendukung dengan hadits di atas, yakni tentang bagaimana pentingnya dan besarnya faedah menjaga lisan dari seorang muslim yang juga diriwayatkan Imam al-bukhori dari Abu Hurairah.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ[21]
2.      Al-Qur’an juga menegaskan bagaimana kita menjaga perasaan sesama muslim melalui ayat
#sŒÎ)ur LäêŠÍhãm 7p¨ŠÅstFÎ/ (#qŠyssù z`|¡ômr'Î/ !$pk÷]ÏB ÷rr& !$ydrŠâ [22]
Dalam penafsirannnya, Fakhruddi ar_Razi menjelaskan bahwa meninggalkan  jawaban (tak menjawab) salam atau penghormatan merupakan suatu hinaan, sedangkan penghinaan itu adalah menyakitkan dan yang menyakiti itu haram.[23] Hal ini senada dengan bagaimana seorang muslim tidak boleh menyakiti orang muslim lain baik dengan tangan atau lesannya, sebagaimana hadits ini.
3.      Secara umum hal-hal yang merugikan itu tidak dibenarkan dalam agama termasuk menyakiti orang lain. Islam adalah agama yang damai menjunjung tinggi kedamaian dan kerukunan, tentu larangan menyakiti orang lain dapt diterima siapa saja secara logika. Sebagaimana logika yang dibangun ar-Razi di atas. Dan dalam kenyataan hidup berdampingan sesama anggota masyarakat yang bernegara, kita diatur agar tidak menganiaya orang lain, maka muncullah hukum yang mengancam tindak kekearasan, penganiayaan dan yang lainnya yang menyakiti dan merugikan orang lain.

E.   Penjelasan Makna
Dalam kitab Fath al-Baari, Ibn Hajar menjelaskan bahwa al yang terdapat dalam lafad al muslimu berfaedah lil kamaal (Kesempurnaan). Sehingga makna yang diperoleh adalah orang islam yang sempurna. Kemudian al-Khatthabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-muslimu dalam hadits ini adalah orang islam yang utama, yaitu orang islam yang menggabungkan hak-hak Allah dan hak-hak muslim lainnya. Hadits ini mengandung makna bahwa
1.    Tanda seorang muslim yang baik yang utama yaitu selamatnya orang-orang islam lain dari ‘kenakalan’ perkataan dan perbuatannya yang menyakitinya.
2.    Hadits ini mendorong ummt islam agar memperbaiki diri dihadapan Tuhan dengan memperbaiki pergaulannya dengan sesama manusia untuk berusaha tidak menyakiti orang lain.[24]

F.   Penutup

Demikian makalah dari kami. Segala kekurangan dan kesalahan mohon maaf dan mohon kritik untuk menuju yang lebih baik. Terimakasih atas segala perhatia, semoga bermanfaat, aamiin.





DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman Ahamd bin Syu’aib al-Nas’i, Sunan an-Nasa’i, dalam Maktabah Syamilah.
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih, Bukhari, Jilid 1, Kaero: Darul Hadits, 2004.
____________, Shahih Bukhari, dalam Mkatabh syamilah.
Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, dalam Maktabah Syamilah
Al-Qur’an al-Karim.
Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib:Tafsir ar-Razi, dalam Maktabah Syamilah.
Ibnu Hajar al-Asqalani ,Tahdzib at-Tahdzib Fi Rijalil Hadis juz 3, Beirut : Daarul Qutb al-Ilmi, 2004.
____________, Tahdzib at-Tahdzib, dalam Maktabah Syamilah.
____________, Syarah Fathul Bari, dalam Maktabah Syamilah.
Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, dalam Maktabah Syamilah.
Muhammad Ibn Surah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, dalam Maktabah Syamilah.
Muhamad Nurudin, Pengantar Ulumul Hadits (Kajian Filisifis), tt., tt.,
Muslim bin al-Hajjaj, Shohih Muslim, dalam Maktabah Syamilah.
Umma Farida, Naqd Al-Hadits, Kudus: STAIN Kudus, cet. 1, 2009.



[1] Muhamad Nurudin, Pengantar Ulumul Hadits (Kajian Filisifis), tt., tt., hlm. 162
[2] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih, Bukhari, Jilid 1, Kaero: Darul Hadits, 2004, hlm. 11
[3] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih, Bukhari, Jilid 2, hlm. 128 dalam Mkatabh syamilah
[4] Muslim bin al-Hajjaj, Shohih Muslim, juz 1, hlm. 149 dalam Maktabah Syamilah
[5]Muhammad Ibn Surah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz 9, hlm. 215 dalam Maktabah Syamilah
[6] Abdur Rahman Ahamd bin Syu’aib al-Nas’i, Sunan an-Nasa’i, juz 15, hlm. 148 dalam Maktabah Syamilah
[7] Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, juz 13, hlm. 266 dalam Maktabah Syamilah
[8] Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, juz 1, hlm. 451 dalam Maktabah Syamilah
[9] Umma Farida, Naqd Al-Hadits, Kudus: STAIN Kudus, cet. 1, 2009, hlm.99.
[10] Syahid adalah periwayat yang bersetatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi, lihat ibid, hlm. 100
[11] Mutabi’ adalah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi, lihat ibid.
[12]  Ibnu Hajar al-Asqalani ,Tahdzib at-Tahdzib Fi Rijalil Hadis juz 3, Beirut : Daarul Qutb al-Ilmi, 2004, hal 587
[13] Ibid., hal 339-341
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani Tahdzib at-Tahdzib, juz 3, hlm 330 dalam Maktabah Syamilah
[15] Ibid.,  juz 8, hal 275
[16] Ibid.,  juz 9, hal 52
[17] Umma Farida, Op.Cit. , hlm. 108
[18] Ibid., hlm. 44-45
[19] Ibid., hlm 57-58
[20] Ibid., hlm. 187
[21] Ibnu Hajar al-Asqalani, Syarah Fathul Bari, juz. 17, hlm. 161 dalam Maktabah Syamilah
[22] Al-Qur’an al-Karim Surah An-Nisa’ ayat 86
[23] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib:Tafsir ar-Razi, juz 5 hlm. 314 dalam maktabah syamilah
[24] Ibnu Hajar al-Asqalani, Op.Cit., juz. 1, hlm. 53.