BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadits adalah wahyu ke dua setelah al-Qur’an yang memberikan penjelasan
atas yang samar dalam al-Qur’an, memperinci apa yang masih global dari
al-Qur’an, membatasi apa yang masih umum dalam al-Qur’an dan menguatkan hukum
yang ada dalam al-Qur’an. Ia merupakan hasil dari apa yang menjadi sabdah beliau
Nabi Agung Muhammad SAW., perilaku beliau dan ketetapannya. Sehingga kewajiban
kaum muslimin untuk mengamalkannya adalah sebuah keniscayaan. Kendati demikian,
Hadits mempunyai kesamaan dengan al-Qur’an, yakni sama-sama berbahas Arab dan
muncul di Arab. Sehingga menjadikan urgen untuk memahaminya bagi siapa saja
yang mengambil nilai dari keduanya, mengingat Al-Qur’an dan Hadits bukan hanya
untuk masyarakat Arab namun untuk ummat Islam di seluruh penjuru dunia.
Syarah hadits yang menjelaskan akan makna yang dimaksud atau terkandung
dalam sunnah atau hadits sangatlah penting. Bagaimana Hadits menjadi sumber
hukum jika tidak dipahami secara akurat dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada hakikatnya syarah hadist sebagaimana dijelaskan Mujiono yang
dikutip Nonkshi, yaitu menguraikan ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah
SAW., sehingga menjadi lebih jelas, baik menggunakan bahasa arab maupun bahasa
lainnya. Mensyarah hadist berarti berkata atas nama Rasulullah SAW. agar
ucapan, tindakan, dan ketetapan beliau lebih bisa dimengerti maksudnya dan
dapat terhindarkan dari kesalahpahaman terhadapnya[1].
Setidaknya ada empat hal yang
melatarbelakangi pentingnya Syarah Hadits. Pertama, oleh karena karakter kalimat yang digunakan dalam sabda Rasulullah banyak yang hal
sangat mirip dengan karakter kalimat dalam Allah SWT. Kedua, tindakan Rasulullah
SAW yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Hadist dapat ditinjau dari berbagai
sudut pandang dan tidak senantiasa berkaitan dengan petunjuk wahyu. Ke tiga,
Hadist merupakan sumber ajaran agama Islam. Maka untuk memahaminya perlu
dilakukannya pensyarahan. Dan yang ke empat, umat Islam diwajibkan untuk
berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah SAW, namun kondisi umat Islam
sekarang ini pada umumnya tidak mampu memahami Hadist secara langsung, karena
untuk memahami Hadist dibutuhkan secara langsung dibutuhkan sejumlah ilmu
pendukung[2].
Ketika melihat sejarah, menurut Muhammad Ibn Umar Ibn Salim Bazmul sebenarnya syarah hadits sudah ada sejak zaman Nabi SAW[3].
Bukti nyata bisa kita saksikan pada Hadits Rasul SAW yang menjelaskan tentang muflis
berikut ini.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ
بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا
مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي
يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ
هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا
فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ
حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ
عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ.[4]
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW menjelaskan maksud atas apa
yang disabdakan. Dimana menurut pemahaman para sahabat, bahwa yang dimaksud al
muflis (orang yang bangkrut) adalah orang yang tidak berharta. Sedangkan
yang dimaksudkan Rasul muflis adalah orang yang merugi di akhirat sebab ketika
di dunia rajin ibadah dengan sholat, zakat, puasa namun dia juga menyakiti
orang lain, memakan harta yang lain, sehingga akhirnya pahala kebaikannya habis
untuk menebus kesalahan-kesalahannya.
Kemudian kegiatan syarah hadits dilanjutkan oleh para sahabat,
tabiin dan generasi-generasi selanjutnya. Hingga sampai hadits dibukukan muncul
ulama-ulama yang melaksanakan pensyarahan Hadits terhadap kitab-kitab Hadits
yang telah ada. Diantara ulama yang berperan dalam pensyarahan kitab Hadits
adalah beliau Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani yang memberikan syarah terhadap
kitab Shohih Bukhori dengan nama kitabnya Fath al-Bari bi
Syarhi Shohih al-Bukhori. Yang mana kitab Syarah ini tersebut sebagai kitab
yang paling memberi banyak kontribusi pengingatan, pembangkitan terhadap ushul
tafsir al-hadits.[5]
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Asqalani adalah seorang ulama besar Islam
dan ia juga seorang hakim agung (Qadhi Qudhat). Beliau mengarang kitab Fath
al-Baari bi Sharh Shahih al- Bukhari tersebut dengan menerangkan
hadits-haditsnya, menjawab problem yang berkaitan dengan sanad dan perawi
hadits, serta menerangkan perawi dan derajatnya. Beliau adalah penganut madzhab
Syafi’I, oleh karna itu ada ulama yang menganggap bahwa beliau cenderung pada
madzhab Syafi’I dalam mensyarah hadits-hadits Bukhari dalam kitab “Fath
al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari”.
Hal inilah yang menginspirasi peneliti untuk lebih jauh menelusuri
Al-Asqalani dalam mensyarah Shohih Bukhori. Sehingga laporan penelitian
ini penulis beri judul: “METODE IBNU HAJAR AL-ASQALANI DALAM MENSYARAH HADITS (STUDI
ATAS KITAB FATH AL-BAARI)”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat peneliti
rumuskan pembahasan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana metode al-Asqalani dalam mensyarah Hadits dalam Kitab Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang ingin peneliti capai dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui metode Ibnu Hajar al-Asqalani dalam
mensyarah Hadits dalam kitab Fath al-Baari bi
Sharh Shahih al-Bukhari.
D. Manfaat Penelitian
Setelah menentukan rumusan masalah dan
tujuan penelitian, maka penulis berharap penelitian ini mempunyai manfaat, baik
secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis meliputi:
1. Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberi sebuah
kontribusi pemikiran dan ikut memperluas wacana
keilmuan khususnya mengenai metode
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mensyarah Hadits dalam kitab Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari.
2. Secara sosial, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu
bahan sekaligus pertimbangan bagi semua pihak yang membutuhkan pengetahuan mengenai
metode Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mensyarah Hadits.
3. Secara kewacanaan ilmu Islam, penelitian ini diharapkan bisa ikut
memperkaya khazanah karya tulis ilmiah yang telah ada serta bisa menjadi salah
satu acuan untuk penelitian selanjutnya.
Adapun manfaat secara praktis adalah
penelitian ini diharapkan member manfaat pada penulis pada khususnya serta
masyarakat luas, bahwa pada kitab Fath al-Baari bi
Sharh Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar telah mensyarah Hadits-hadits yang ada
dalam kitab Shohih Bukhori dengan metode-metode yang digunakan beliau
sendiri. Sehingga kita bisa mempelajari dan menjadikan referensi jika ingin
mengetahui makna Hadits yang ada dalam Shohih Bukhori.
E. Tinjauan Pustaka
Sepanjang penelusuaran Peneliti banyak
ditemukan hasil karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang bisa diteliti. Diantaranya
yaitu kitab Taqrib at-Tahdzib yang diterbitkan tahun 2010 oleh
percetakan Darul Fawaid Kairo. Kitab ini berisi tentang status para perowi
hadits mulai dari Shahabat hingga Atbait Tabiit Tabiin, dengan susunan abjad
sehingga memudahkan para pencari dalam menelusuri tokoh yang dibutuhkan.[6]
Yang ke dua kitab Bulugh al-Maram min
Adillah al-Ahkam yang diterbitkan oleh Thoha Putera Semarang tanpa tahun.
Kitab ini berisi tentang kumpulan hadits-hadits hukum yang dijadikan dalil
hukum fikih mulai dari bersuci, sholat dan ibadah yang lain, muamalah,
pernikahan, mawarits sampai memerdekakan budak. Namun di akhir kitab beliau
juga memasukkan bab Adab yang berisi hadits-hadits akhlaq baik berupa dorongan
untuk berakhlak baik dan peringatan akan akhlak buruk yang kesemuanya termaktub
dalam Kitab al-Jaami’.[7]
Selanjutnya, dalam bidang Syarah Hadits,
kitab Ilmu Syarh al-Hadits wa Rawafid al-Bahts fiihi karangan Muhammad
bin Umar bin Salim Bazmul yang merupakan kitab yang berisi kaidah-kaidah dalam
mensyarah Hadits. Di dalamnya dijelaskan langkah-langkah mensyarah hadits mulai
menjelaskan makna dengan sesama hadits, keterangan sahabat dan seterusnya[8].
Namun dari sekian kitab yang peneliti temui, peneliti lebih condong terhadap Fath
al-Baari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, karena keluasan cakupan ilmu yang ada
di dalamnya.
F. Sistematika Penulisan Penelitian
Untuk memberikan arahan yang jelas dalam
penulisan laporan penelitian ini, perlu kiranya peneliti sebutkan gambaran
sistematika penulisan laporan ini. Pada bab pertama yang berupa pendahuluan
berisi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan penelitian.
Pada bab ke dua, berupa landasan teori yang
di dalamnya akan peneliti jelaskan teori atau konsep tentang syarah hadits dan
apa-apa yang terkait dengannya, yang nantinya peneliti jadikan pisau dalam
menganalisis data yang tergali oleh peneliti.
Kemudian bab ke tiga berisi metode
penelitian. Dalam bab ini dijelaskan tipe penelitian yang peneliti lakukan,
sumber data yang peneliti dapatkan, bagaimana peneliti memperoleh data atau
metode pengumpulan data dan terakhir metode analisis data yang dapat
mengantarkan peneliti pada simpulan untuk menjawab rumusan masalah yang
peneliti sebutkan terdahulu.
Dilanjutkan bab ke empat berisi pembahasan
data sekaligus analisisnya. Yang pertama adalah tentang biografi Ibnu Hajar
al-Asqalani dan yang ke dua adalah metode yang digunakan Al-Asqalani dalam
mensyarah Hadits.
Dan yang terakhir, yakni bab ke lima, yaitu
penutup yang berisi kesimpulan atas pembahasan yang merupakan jawab dari
rumusan masalah dan juga saran-saran berdasarkan penelitian yang penulis
lakukan.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Ilmu Syarah Hadits
1. Pengertian
Dalam kajian ini, yang dimaksud dengan ilmu adalah kumpulan masalah-masalah dan
pokok-pokok keseluruhan (al ushul al kulliyyah) yang dihubungkan denga
satu arah tertentu. Kemudian, syarah diambil dari kata “syaraha, yasyrahu, syarh”
dimana secara bahasa berarti menyingkap, memperjelas, memberi pemahaman dan menjelaskan[9]. Dikalangan para penulis kitab berbahasa arab, sebagaimana kita ketahui syarah adalah memberi catatan dan komentar
kepada naskah atau matn (matan) suatu kitab. Kitab syarah adalah kitab yang berisi
penjelasan, komentar atas naskah atau matn suatu kitab, sebagai contoh kitab Syarh
Ibnu ‘Aqil yang merupakan penjelasan, komentar dan juga terdapat
catatan-catatn atas kitab Alfiyyah Ibnu Malik.
Sedangkan yang dimaksud hadits di sini adalah segala sesuatau
yang disandarkan kepada Rasulullaah SAW. Sedangkan ia benar-benar sampai pada
Nabi SAW (marfu’)[10].
Maka yang dimaksud ilmu syarh al-hadits adalah pengetahuan sekelompok masalah yang
berhubungan dengan penjelasan makna-makna dan pemahaman atas segala sesuatu
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW.
Sedang yang dimaksud syarh hadits dimaksudkan pada penjelasan makna dan
kandungan hadits dan yang menjadi kesempurnaannya.[11]
2.
Obyek
Ada tiga obyek yang menjadi sorotan kajian ilmu Syarh hadits
1.
Hal-hal yang berhubungan dengan isnad. Baik
berupa takhrij,keterangan derajat hadits, pengetahuan tentang para
perowi, penjelasan atas yang muhmal dan mubham dalam isnad secara
ringkas.
2.
Hal-hal yang berhubungan dengan uraian makna
lafadh-lafadh hadits yang membutuhkan penjelasan yang merujuk pada kitab-kitab
bahasa dan al-ghariib.
3.
Penjelasan maksud hadits, yang para ulama
berbeda-beda pemahamannnya sehingga beda pula dalam beristimbat darinya.[12]
B. Penelitian Terdahulu
Peneliti yakin sudah banyak penelitian mengenai Al-Hafidz Ibnu Hajar
al-Asqalani, mengingat beliau adalah termasuk ulama besar. Namun dalam
penelusuran peneliti saat ini, peneliti kesulitan menemukan hasil penelitian
tentang beliau maupun penelitian tentang Syarah Hadits. Yang peneliti temukan
adalah contoh penelitian yang terdapat dalam buku Aplikasi Penelitian Hadis
karangan Dr. M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag. Dalam buku itu dicontohkan bagaimana
meneliti Hadits di bidang kitab tertentu dalam hazanah Islam. Beliau membuat
contoh dengan judul Bulugh al-Maram Min Adillat al-Ahkam Karya Ibn Hajar
Al-Asqalani. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bagaiman Ibnu Hajar
mendesain kitab Bulugh al-Maram sedemikan rupa. Kitab yang berisi
kumpulan Hadits hukum ini disusun berdasarkan bab-bab yang mirip dengan kajian
kitab-kitab fikih yang berkembang dalam sejarahnya.[13]
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti
lakuan ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu
penelitian yang sumber datanya dikumpulkan dari bahan-bahan pustaka, bisa
berupa buku, surat kabar, dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan obyek atau
sasaran penelitian.[14]
Sehingga sumber data primer yang
peneliti gunakan adalah kitab Fath al Baari bi Syarh Shohih al Bukhari
karya beliau Syaikh Al-Hafidh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalani yang juga di
dukung dengan data-data sekunder yang peneliti dapatkan dari beberapa
literature terkait di perpustakaan juga dalam website.
B.
Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode dokumentasi,
yaitu teknik pengumpulan data yang melibatkan sumber data-data dokumen, baik
dari dokumen pribadi maupun dokumen resmi, termasuk semua sumber tertulis dan
literatusr-literatur lainnya.[15]
C.
Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data yang ada,
langkah peneliti adalah sebagai berikut :
1.
Reduksi
data yakni merangkum data-data yang ada kemudian data tersebut dipilih dan
diseleksi sesuai dengan focus penelitian, dan dicari pola-polanya
2.
Klasifikasi
data berdasarkan ciri dan kategori yang telah ditetapkan
3.
Melakukan
display data. Menganalisisnya dengan mencakup Verstehen, interpretasi dan yang
lainnya hingga sampai pada penemua jawaban atas permasalah yang telah peneliti
rumuskan.[16]
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Hajar Al-Asqalani
1. Kelahiran dan Pertumbuhan
Nama lengkap Ibnn Hajar al ‘Asqalani adalah al Imam
al Hafizh Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani[17],
asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya
“al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah
kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah. Beliau menjadi ketua para qadhi, seorang Syaikhul Islam,
seorang hafizh secara mutlak, amirul mukminin dalam bidang hadist
dan dijuluki syihabuddin dengan nama pangilan (kuniyahnya) adalah Abu
Al-Fadhl. Beliau
dilahirkan tanggal 22 Sya’ban tahun 773 Hijriyah dipinggiran sungai Nil di
Mesir. Tempat tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al- Jadid.
Ibnu
hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim.
Ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun
dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ibnu hajar menjadi seorang yang
sangat iffah (menjaga diri dari dosa)[18], sangat
berhati-hati dan mandiri dibawah asuhan Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar)
sampai sang pengasuh meninggal. Namun hidup Ibnu
Hajar sengsara dalam pengasuhannya dan kurang
perhatian dalam mengurus pendidikannya. Ibnu hajar menyertai Az-Zaki ketika ia
tinggal di mekkah hingga akhirnya ia memasukkan ibnu hajar ke Al- Maktab (sekolah
untuk belajar dan menghafal al-Qur’an ) ketika dia berumur lima tahun[19].
Salah
seorang gurunya disitu ialah Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi
gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, Ibnu Hajar belum
berhasil menghafal al-Qur’an sampai beliau diajar oleh seorang ahli fikih
dan pengajar sejati yaitu Shadrudin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq
As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya Ibnu
Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya
ketika berumur sembilan tahun. Ketika Ibnu Hajar berumur dua belas tahun ia
ditunjuk sebagai imam shalat tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785H. Ketika
sang pengasuh berhaji pada tahun 784H, Ibnu Hajar menyertainya sampai tahun 786H
Ibnu Hajar menyertai Al-Kharubi sampai di Mesir. Di Mesir Ibnu Hajar
benar-benar berusaha sungguh-sungguh. Dia menghafal beberapa kitab yakni
al-‘Umdah, al-Hawi al-Shoghir, Mukhtashor ibn al-Hajib al-Ashli. Mulahh
al-I’rob dan yang lainnya[20].
Ibnu
Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H, yang bertepatan dengan tanggal 22
Februari 1449 M di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu nafi’ (yang
bermanfaat) dan amal shalih. Beliau dimakamkan di
Qarafah ash-Shugra. [21]
2. Perjalanan Ilmiah Ibnu Hajar
Perjalanan ilmiah Ibnu Hajar sangatlah panjang.
Walaupun beliau yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki semangat yang
tinggi untuk belajar. Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan
tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau melakukan
perjalanan ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu.
Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:
Pertama, di dua tanah haram, yaitu Makkah dan
Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil
Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih
Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin
an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar
berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.
Kedua, di Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau
bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir
Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.
Ketiga, di Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di
Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah. Beliau bertemu dengan
para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat. Dan yang ke empat,
di Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.[22]
3.
Para Guru dan Murid
Guru-guru Ibnu Hajar al ‘Asqalani sangatlah banyak, dan merupakan
ulama-ulama yang masyhur. yaitu, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi
(an-Nasyawari), al-Makki ( 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al-Makki
(717 H), Abul Hasan al-Haitsami (807 H), Ibnul Mulaqqin (804 H), Sirajuddin
al-Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H), Abul-Fadhl al-‘Iraqi (806 H),
‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah, al-‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, al-Hummam
al-Khawarizmi Rahimahullah.
Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, Ibnu Hajar belajar kepada
al-Fairuz Abadi Rahimahullah, Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah
Qira’atussab’, beliau belajar kepada al-Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan
lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu, khususnya
fiqih dan hadits.
Adapun murid-murid Ibnu Hajar datang dari berbagai penjuru, sehingga
banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab
adalah murid-murid beliau. Dianaranya, Imam ash-shakhawi (902 H), al-Biqa’i
(885 H), Zakaria al-Anshari (926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (874 H), Ibnu Taghri
Burdi (874 H), Ibnu Fahd al-Makki (871 H), al-Kamal bin Hamam (861 H), Abu
al-Fadhal bin Syahnah (890 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.[23]
4. Hasil Karya Ibnu Hajar
Ibnu Hajar memulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut
sampai mendekti ajalnya. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima
umat islam dan tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Bahkan menurut Imam
asy-Syakhawi dalam kitabnya Al-Jawhar wa Ad-Durar menyebutkan karya Ibnu Hajar
mencapai lebih dari 270 kitab. As-Suyuthi dalam kitabnya Nazham Al-Uqyan
menyebutkan karangannya berjumlah 198 kitab. Al-Baqa’ mengatakan karangannya
berjumlah 142 dan Haji Khalifah dalam kitabnya Kasyfu Azh-Zhunun mengatakan,
bahwa karangannya berjumlah 100 kitab.
Di antara karya beliau yang terkenal ialah, dalam bidang ‘Ulum
Al-Qur’an, beliau menulis Asbab an-Nuzul, Al-Itqan fi jam’ Ahadits Fadha’I
Al-Qur’an, Ma fi Waqa’a Al-Qur’an Min Ghayr Lughat an-Nazhar. Dalam bidang
‘Ulum Al-Hadits, beliau menulis Nukhbat al-Fikr, Nuzhat an-Nazhar an-Nukat.
Dalam bidang Fiqih, beliau menulis Bulugh al-Maram. Dalam bidang Syarah Hadits,
beliau menulis Fath al-Baari. Dalam bidang Rijal, beliau menulis Tahdzib
at-Tahdzib Taqrib at-Tahdzib, Lisan al-Mizan, dan Al-Ishabah.[24]
5.
Pendapat Para Ulama
Al-Hafizh
As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian
mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya,
namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”
Al-Iraqi
berkata “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang
muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang
Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yang dhabit (dapat dipercaya perkataannya),
yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam,
Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan
syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai
Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah
dan dhoif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam
waktu yang relatif pendek. ” Dan masih banyak lagi Ulama yang memuji dia,
dengan kepandaian Ibnu Hajar.[25]
B. Tehnik Ibnu Hajar dalam Penginterpretasian kitab
Syarah Hadits Fath al-Baari
Penulisan
kitab ini menghabiskan waktu seperempat abad. Dimulai tahun 817 H dan selesai
tahun 842 H. Maka tidak mengherankan bila kitab itu paling bagus, teliti dan
sempurna. Selain itu, penulisannya dilakukan oleh penyusunnya dengan penuh
keikhlasan.
Kitab
syarah ini terdiri dari 13 jilid ditambah satu jilid muqadimah. Kitab itu sudah
berulangkali dicetak di India dan di Mesir. Cetakan yang terbaik di terbitkan
oleh Bulaq. Demikian keterangan menurut Dr. Abu Syuhbah. Kitab ini selalu
mendapatkan sambutan hangat dari para ulama, baik pada masa dulu maupun
sekarang, dan selalu menjadi kitab rujukan. Al-Allamah Syaikh Muhammad bin Ali
as-San’ani asy-Syaukani, wafat tahun 1255 H, penulis kitab Nailul Authar,
ketika diminta menulis kitab Syarah Shahih Bukhari, beliau mengagumi Ibnu
Hajar. Beliau mengutip sebuah hadits “La hijrah ba’dal fathi” . Beliau meminjam
istilah dari hadits itu sebagai ungkapan bahwa tidak ada kitab syarah shahih
Bukhari yang melebihi Fathul Bari.[26]
Perlu
pula kiranya diketahui bahwa Shahih Bukhari terdiri dari beberapa kitab.
Dimulai dengan bab permulaan wahyu, yang menjadi dasar utama bagi syariat
Islam. Kemudian disusul dengan kitab Iman, Kitab Ilmi, Kitab Thaharah, Kitab
Shalat, kitab Zakat dan seterusnya. Dalam kitab ini juga dimuat mengenai para
penguasa dan para hakim. Kemudian kitab I’tisam bil kitab was sunnah dan yang
terakhir adalah kitab Tauhid, sebagai penutup kitab shahihnya yang terdiri dari
97 kitab dan 3.450 bab.
Dalam
mensyarah ada ketentuan-ketentuan yang haus dilakukan oleh semua yang akan
mensyarah hadis suatu hadis, baik hadis qawli maupun fi’li,
yaitu:
1. Apabila
hadis yang akan disyarah itu diriwiyatkan melalui jalur sanad yang lebih dari
satu atau terdapat pada beberapa kitab, maka tidak cukup hanya berpegang kepada
satu riwayat, tanpa memperhatikan riwayat lain sama sekali, melainkan sedapat
mungkin seluruh riwayat tersebut ditelaah untuk kemudian ditetapkan salah
satunya sebagai hadis pokok yang disyarah, lalu hadis yang lain disinggung
dalam syarah sebagai data pendukung. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu: pertama, apabila
tema hadis-hadis tersebut sama, namun periwayatannya berbeda-beda, maka
pada setiap sanad-sanadnya saling menguatkan. Ke dua, apabila
tema hadis-hadis tersebut sama, namun namun kata-katanya berbeda, baik dari
sisi I’rabnya maupun sharafnya, maka kata-kata yang berbeda dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan makna dan dalam
mensyarahnya. Ke tiga, apabila
tema hadis-hadis tersebut sama, namun pada sebagian riwayat terdapat
tambahan sejumlah kata atau kalimat, atau bahkan dalam sebagian riwayat
digabungkan dengan tema-tema lain atau disertai sabab al-wurud, maka
kata-kata tambahan tersebut apabila terdapat pada riwayat orang-orang yang
paling tsiqat, dapat diterima.
2. Apabila
perbedaan di antara riwayat-riwayat tersebut sangat jauh, hingga tidak dapat
dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut dinilai mukhtalif dan
diselesaikan dengan tarjih, nasakh, atau cara yang lain lagi. [27]
Dalam muqaddimahnya, Ibnu Hajar menyebutkan langkah-langkah
beliau dalam mensyarah Kitab Hadits Shohih Bukhori
1.
Mengumpulkan hadits-hadits dalam bab-bab
2.
Menyebutkan hubungan munasabat diantara
keduanya meskipun samar
3.
Menjelaskan keshohihan hadits baik dari segi
matan maupun sanad. Menjelaskan tadlis dengan mendengar dan mengikuti orang
yang mendengar dari syaikh yang
bercampur sebelumnya. Dengan meninjau kepada kitab-kitab musnad, jawami’,
mustakhrijat, ajza’, dan fawaid dengan memenuhi syarat keshohihan
atau hasan dari apa yang didapatnya.
4.
Menyambung sanad-sanad yang terputus
5.
Menjelaskan makna lafadh-lafadh yang sulit
dipahami
6.
Menjelaskan hasil-hasil istinbath para imam
dari hadits baik berupa hukum-hukum
fikih, mauidhoh zuhud, adab yang terjaga, seraya hanya mengambil pendapat yang
rojih.
7.
Menjelaskan hikmah diulanginya hadits dalam
berbagai bab jika terdapat pengulangan matan.[28]
Adapun metode tehknik interpretasi kitab Syarah
Fathul Baari memakai metode tahlily. Yaitu menjelaskan
hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam hadis
tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan
kecendrungan dan keahlian pensyarah. Model pensyarahan hadis dengan metode
Tahlili, seorang pensyarah hadis mengkuti sistematika hadis sesuai dengan
urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub
al-Sittah termasuk Ibnu Hajar yang mengikuti al-Bukhori dalam al-jami’
as-Shohihnya. Pensyarah hadis memulai penjelasannya kalimat demi
kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai
aspek yang dikandung hadis, seperti kosa kata, konotasi kalimatnya latar
belakang turunnya hadis (bila ditemukan), kaitannya dengan hadis lain dan pendapat
– pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal
dari sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis.
Ada
dua bentuk pensyarahan dengan menggunakan metode tahlili, Pertama,
berbentuk ma’sur (riwayat). Syarah yang berbentuk ma’sur ini
ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat,
tabi’in, tabi’ al-tabi’in atau ulama’ hadis dalam penjelasan terhadap hadis
yang disyarahi. Kedua, ra’y (pemikiran Rasional). Pensyarahan ini banyak
didominasis pemikiran pengsyarahnya.[29]
Jika
kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili, baik yang berbentuk ma’tsur
atau ra’y di cermati dapat diketahui ciri-ciri pensyarahan yang
dilakukan mengikuti pola menjelaskan makna yang terkandung dalam hadis secara
komprehensif dan menyeluruh yakni mengunakan metode sebagai berikut:
1. Hadist
dijelaskan kata demi kata
2. Hadist
dijelaskan kalimat demi kalimat secara beruntun
3. Menerangkan
sabab al-wurud (latar belakang turunnya sebuah hadis) hadis yang
dipahami jika hadist tersebut memiliki sabab al-wurud.
4. Diuraikan
pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh sahabat, tabi’i, tabi
al-tabi’in, dan para ahli syarah hadist lainnya dari berbagai displin ilmu.
5. Dijelaskan
munasabah (hubuangan) hadist satu dengan hadist yang lainnya.
Atas pernyataan diatas Model pendekatan yang
digunakan dalam syarh Fathul Baari dari uraian tersebut berarti
menggunakan model pendekatan linguistik, multi disipliner, dan historis.
Dengan menggunakan Syarh
Tahlili, Fath al-Baari
memiliki kelebihan dibanding metode syarh lainnya, kelebihan yang dimiliki
metode ini antara lain:
1. Ruang
lingkup pembahasan metode tahlili sangat luas, karena dapat mencakup berbagai
aspek: kata, frasa, kalmat, asbab al-wurud, munasabah, dan lain
sebagainya yang dapat digunakan dalam bentuk yang ma’tshur.
2. Metode
ini memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarh untuk menuangkan
sebanyak mungkin ide atau gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulama’.[31]
C. Contoh Pensyarahan
بَاب
الِاغْتِبَاطِ فِي الْعِلْمِ وَالْحِكْمَةِ وَقَالَ عُمَرُ تَفَقَّهُوا قَبْلَ
أَنْ تُسَوَّدُوا قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَبَعْدَ أَنْ تُسَوَّدُوا وَقَدْ
تَعَلَّمَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي كِبَرِ
سِنِّهِمْ[32]
قَوْله :
( بَاب الِاغْتِبَاط فِي الْعِلْم (بِالْغَيْنِ الْمُعْجَمَة .قَوْله : ( فِي الْعِلْم وَالْحِكْمَة (فِيهِ نَظِير مَا ذَكَرْنَا فِي
قَوْله بِالْمَوْعِظَةِ وَالْعِلْم ، لَكِنَّ هَذَا عَكْس ذَاكَ ، أَوْ هُوَ مِنْ
الْعَطْف التَّفْسِيرِيّ إِنْ قُلْنَا إِنَّهُمَا مُتَرَادِفَانِ .قَوْله : ( وَقَالَ عُمَر : تَفَقَّهُوا قَبْل أَنْ
تُسَوَّدُوا(هُوَ
بِضَمِّ الْمُثَنَّاة وَفَتْح الْمُهْمَلَة وَتَشْدِيد الْوَاو أَيْ : تُجْعَلُوا
سَادَة . زَادَ الْكُشْمِيهَنِيّ فِي رِوَايَته : " قَالَ أَبُو عَبْد اللَّه
" أَيْ : الْبُخَارِيّ : " وَبَعْد أَنْ تُسَوَّدُوا - إِلَى قَوْله -
سِنّهمْ " . أَمَّا أَثَر عُمَر فَأَخْرَجَهُ اِبْن أَبِي شَيْبَة وَغَيْره
مِنْ طَرِيق مُحَمَّد بْن سِيرِينَ عَنْ الْأَحْنَف بْن قَيْس قَالَ : قَالَ عُمَر
. فَذَكَرَهُ ، وَإِسْنَاده صَحِيح ، وَإِنَّمَا عَقَّبَهُ الْبُخَارِيّ
بِقَوْلِهِ : " وَبَعْد أَنْ تُسَوَّدُوا " لِيُبَيِّنَ أَنْ لَا
مَفْهُوم لَهُ خَشْيَة أَنْ يَفْهَم أَحَد مِنْ ذَلِكَ أَنَّ السِّيَادَة مَانِعَة
مِنْ التَّفَقُّه ، وَإِنَّمَا أَرَادَ عُمَر أَنَّهَا قَدْ تَكُون سَبَبًا
لِلْمَنْعِ ؛ لِأَنَّ الرَّئِيس قَدْ يَمْنَعهُ الْكِبْر وَالِاحْتِشَام أَنْ
يَجْلِس مَجْلِس الْمُتَعَلِّمِينَ ، وَلِهَذَا قَالَ مَالِك عَنْ عَيْب الْقَضَاء
: إِنَّ الْقَاضِي إِذَا عُزِلَ لَا يَرْجِع إِلَى مَجْلِسه الَّذِي كَانَ
يَتَعَلَّم فِيهِ . وَقَالَ الشَّافِعِيّ : إِذَا تَصَدَّرَ الْحَدَث فَاتَهُ
عِلْم كَثِير . وَقَدْ فَسَّرَهُ أَبُو عُبَيْد فِي كِتَابه : " غَرِيب
الْحَدِيث " فَقَالَ : مَعْنَاهُ تَفَقَّهُوا وَأَنْتُمْ صِغَار ، قَبْل أَنْ
تَصِيرُوا سَادَة فَتَمْنَعكُمْ الْأَنَفَة عَنْ الْأَخْذ عَمَّنْ هُوَ دُونكُمْ
فَتَبْقُوا جُهَّالًا . وَفَسَّرَهُ شَمِر اللُّغَوِيّ بِالتَّزَوُّجِ ، فَإِنَّهُ
إِذَا تَزَوَّجَ صَارَ سَيِّد أَهْله ، وَلَا سِيَّمَا إِنْ وُلِدَ لَهُ . وَقِيلَ
: أَرَادَ عُمَر الْكَفّ عَنْ طَلَب الرِّيَاسَة لِأَنَّ الَّذِي يَتَفَقَّه
يَعْرِف مَا فِيهَا مِنْ الْغَوَائِل فَيَجْتَنِبهَا . وَهُوَ حَمْل بَعِيد ، إذْ
الْمُرَاد بِقَوْلِهِ : " تُسَوَّدُوا " السِّيَادَة ، وَهِيَ أَعَمّ
مِنْ التَّزْوِيج ، وَلَا وَجْه لِمَنْ خَصَّصَهُ بِذَلِكَ ؛ لِأَنَّهَا قَدْ
تَكُون بِهِ وَبِغَيْرِهِ مِنْ الْأَشْيَاء الشَّاغِلَة لِأَصْحَابِهَا عَنْ
الِاشْتِغَال بِالْعَمَلِ . وَجَوَّزَ الْكَرْمَانِيُّ أَنْ يَكُون مِنْ السَّوَاد
فِي اللِّحْيَة فَيَكُون أَمْرًا لِلشَّابِّ بِالتَّفَقُّهِ قَبْل أَنْ تَسْوَدّ
لِحْيَته ، أَوْ أَمْرًا لِلْكَهْلِ قَبْل أَنْ يَتَحَوَّل سَوَاد اللِّحْيَة
إِلَى الشَّيْب . وَلَا يَخْفَى تَكَلُّفه . وَقَالَ اِبْن الْمُنِير : مُطَابَقَة
قَوْل عُمَر لِلتَّرْجَمَةِ أَنَّهُ جَعَلَ السِّيَادَة مِنْ ثَمَرَات الْعِلْم ،
وَأَوْصَى الطَّالِب بِاغْتِنَامِ الزِّيَادَة قَبْل بُلُوغ دَرَجَة السِّيَادَة .
وَذَلِكَ يُحَقِّق اِسْتِحْقَاق الْعِلْم بِأَنْ يُغْبَط صَاحِبه ، فَإِنَّهُ
سَبَب لِسِيَادَتِهِ . كَذَا قَالَ . وَاَلَّذِي يَظْهَر لِي أَنَّ مُرَاد الْبُخَارِيّ
: أَنَّ الرِّيَاسَة وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا يُغْبَط بِهَا صَاحِبهَا فِي الْعَادَة
لَكِنَّ الْحَدِيث دَلَّ عَلَى أَنَّ الْغِبْطَة لَا تَكُون إِلَّا بِأَحَدِ
أَمْرَيْنِ : الْعِلْم ، أَوْ الْجُود ، وَلَا يَكُون الْجُود مَحْمُودًا إِلَّا
إِذَا كَانَ بِعِلْمٍ . فَكَأَنَّهُ يَقُول : تَعَلَّمُوا قَبْل حُصُول
الرِّيَاسَة لِتُغْبَطُوا إِذَا غُبِطْتُمْ بِحَقٍّ . وَيَقُول أَيْضًا : إِنْ
تَعَجَّلْتُمْ الرِّيَاسَة الَّتِي مِنْ عَادَتهَا أَنْ تَمْنَع صَاحِبهَا مِنْ
طَلَب الْعِلْم فَاتْرُكُوا تِلْكَ الْعَادَة وَتَعَلَّمُوا الْعِلْم لِتَحْصُل
لَكُمْ الْغِبْطَة الْحَقِيقِيَّة . وَمَعْنَى الْغِبْطَة تَمَنِّي الْمَرْء أَنْ
يَكُون لَهُ نَظِير مَا لِلْآخَرِ مِنْ غَيْر أَنْ يَزُول عَنْهُ ، وَهُوَ
الْمُرَاد بِالْحَسَدِ الَّذِي أُطْلِقَ فِي الْخَبَر كَمَا سَنُبَيِّنُهُ [33].
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ
أَبِي خَالِدٍ عَلَى غَيْرِ مَا حَدَّثَنَاهُ الزُّهْرِيُّ قَالَ سَمِعْتُ قَيْسَ
بْنَ أَبِي حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ
رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ
آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا[34]
قَوْله : (
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْن أَبِي خَالِد عَلَى غَيْر مَا حَدَّثَنَاهُ
الزُّهْرِيّ (يَعْنِي أَنَّ الزُّهْرِيّ
حَدَّثَ سُفْيَان بِهَذَا الْحَدِيث بِلَفْظِ غَيْر اللَّفْظ الَّذِي حَدَّثَهُ
بِهِ إِسْمَاعِيل ، وَرِوَايَة سُفْيَان عَنْ الزُّهْرِيّ أَخْرَجَهَا الْمُصَنِّف
فِي التَّوْحِيد عَنْ عَلِيّ بْن عَبْد اللَّه عَنْهُ قَالَ : قَالَ الزُّهْرِيّ
عَنْ سَالِم . وَرَوَاهَا مُسْلِم عَنْ زُهَيْر بْن حَرْب ، وَغَيْره عَنْ
سُفْيَان بْن عُيَيْنَة قَالَ : حَدَّثَنَا الزُّهْرِيّ عَنْ سَالِم عَنْ أَبِيهِ
. سَاقَهُ مُسْلِم تَامًّا ، وَاخْتَصَرَهُ الْبُخَارِيّ . وَأَخْرَجَهُ
الْبُخَارِيّ أَيْضًا تَامًّا فِي فَضَائِل الْقُرْآن مِنْ طَرِيق شُعَيْب عَنْ
الزُّهْرِيّ حَدَّثَنِي سَالِم بْن عَبْد اللَّه بْن عُمَر . . . فَذَكَرَهُ
وَسَنَذْكُرُ مَا تَخَالَفَتْ فِيهِ الرِّوَايَات بَعْد إِنْ شَاءَ اللَّه
تَعَالَى .[35]
قَوْله . (
قَالَ سَمِعْت (الْقَائِل هُوَ إِسْمَاعِيل
عَلَى مَا حَرَّرْنَاهُ .قَوْله : ( لَا حَسَدَ (الْحَسَد
تَمَنِّي زَوَال النِّعْمَة عَنْ الْمُنْعَم عَلَيْهِ ، وَخَصَّهُ بَعْضهمْ بِأَنْ
يَتَمَنَّى ذَلِكَ لِنَفْسِهِ ، وَالْحَقّ أَنَّهُ أَعَمّ ، وَسَبَبه أَنَّ
الطِّبَاع مَجْبُولَة عَلَى حُبّ التَّرَفُّع عَلَى الْجِنْس ، فَإِذَا رَأَى
لِغَيْرِهِ مَا لَيْسَ لَهُ أَحَبَّ أَنْ يَزُول ذَلِكَ عَنْهُ لَهُ لِيَرْتَفِع
عَلَيْهِ ، أَوْ مُطْلَقًا لِيُسَاوِيه . وَصَاحِبه مَذْمُوم إِذَا عَمِلَ
بِمُقْتَضَى ذَلِكَ مِنْ تَصْمِيم أَوْ قَوْل أَوْ فِعْل . وَيَنْبَغِي لِمَنْ
خَطَرَ لَهُ ذَلِكَ أَنْ يَكْرَههُ كَمَا يَكْرَه مَا وُضِعَ فِي طَبْعه مِنْ حُبّ
الْمَنْهِيَّات . وَاسْتَثْنَوْا مِنْ ذَلِكَ مَا إِذَا كَانَتْ النِّعْمَة
لِكَافِرٍ أَوْ فَاسِق يَسْتَعِين بِهَا عَلَى مَعَاصِي اللَّه تَعَالَى . فَهَذَا
حُكْم الْحَسَد بِحَسَبِ حَقِيقَته ، وَأَمَّا الْحَسَد الْمَذْكُور فِي الْحَدِيث
فَهُوَ الْغِبْطَة ، وَأَطْلَقَ الْحَسَد عَلَيْهَا مَجَازًا ، وَهِيَ أَنْ
يَتَمَنَّى أَنْ يَكُون لَهُ مِثْل مَا لِغَيْرِهِ مِنْ غَيْر أَنْ يَزُول عَنْهُ
، وَالْحِرْص عَلَى هَذَا يُسَمَّى مُنَافَسَة ، فَإِنْ كَانَ فِي الطَّاعَة
فَهُوَ مَحْمُود ، وَمِنْهُ - ( فَلْيَتَنَافَسْ الْمُتَنَافِسُونَ ) . وَإِنْ
كَانَ فِي الْمَعْصِيَة فَهُوَ مَذْمُوم ، وَمِنْهُ : " وَلَا تَنَافَسُوا
" . وَإِنْ كَانَ فِي الْجَائِزَات فَهُوَ مُبَاح ، فَكَأَنَّهُ قَالَ فِي
الْحَدِيث : لَا غِبْطَة أَعْظَم - أَوْ أَفْضَل - مِنْ الْغِبْطَة فِي هَذَيْنِ
الْأَمْرَيْنِ - وَوَجْه الْحَصْر أَنَّ الطَّاعَات إِمَّا بَدَنِيَّة أَوْ
مَالِيَّة أَوْ كَائِنَة عَنْهُمَا ، وَقَدْ أَشَارَ إِلَى الْبَدَنِيَّة
بِإِتْيَانِ الْحِكْمَة وَالْقَضَاء بِهَا وَتَعْلِيمهَا ، وَلَفْظ حَدِيث اِبْن
عُمَر : " رَجُل آتَاهُ اللَّه الْقُرْآن فَهُوَ يَقُوم بِهِ آنَاء اللَّيْل
وَآنَاء النَّهَار " وَالْمُرَاد بِالْقِيَامِ بِهِ الْعَمَل بِهِ مُطْلَقًا
، أَعَمّ مِنْ تِلَاوَته دَاخِل الصَّلَاة أَوْ خَارِجهَا وَمِنْ تَعْلِيمه ،
وَالْحُكْم وَالْفَتْوَى بِمُقْتَضَاهُ ، فَلَا تَخَالُف بَيْن لَفْظَيْ
الْحَدِيثَيْنِ . وَلِأَحْمَد مِنْ حَدِيث يَزِيد بْن الْأَخْنَس السُّلَمِيّ :
" رَجُل آتَاهُ اللَّه الْقُرْآن فَهُوَ يَقُوم بِهِ آنَاء اللَّيْل وَآنَاء
النَّهَار ، وَيَتَّبِع مَا فِيهِ " . وَيَجُوز حَمْل الْحَسَد فِي الْحَدِيث
عَلَى حَقِيقَته عَلَى أَنَّ الِاسْتِثْنَاء مُنْقَطِع ، وَالتَّقْدِير نَفْي
الْحَسَد مُطْلَقًا ، لَكِنْ هَاتَانِ الْخَصْلَتَانِ مَحْمُودَتَانِ ، وَلَا
حَسَدَ فِيهِمَا فَلَا حَسَدَ أَصْلًا [36].
قَوْله : (
إِلَّا فِي اِثْنَتَيْنِ(كَذَا فِي مُعْظَم الرِّوَايَات "
اِثْنَتَيْنِ " بِتَاءِ التَّأْنِيث ، أَيْ : لَا حَسَدَ مَحْمُود فِي شَيْء
إِلَّا فِي خَصْلَتَيْنِ . وَعَلَى هَذَا فَقَوْله : " رَجُل "
بِالرَّفْعِ ، وَالتَّقْدِير خَصْلَة رَجُل حُذِفَ الْمُضَاف وَأُقِيمَ الْمُضَاف
إِلَيْهِ مَقَامه . وَلِلْمُصَنِّفِ فِي الِاعْتِصَام : " إِلَّا فِي
اِثْنَيْنِ . وَعَلَى هَذَا فَقَوْله : " رَجُل " بِالْخَفْضِ عَلَى
الْبَدَلِيَّة أَيْ : خَصْلَة رَجُلَيْنِ ، وَيَجُوز النَّصْب بِإِضْمَارِ أَعْنِي
وَهِيَ رِوَايَة اِبْن مَاجَهْ .قَوْله : ( مَالًا (نَكَّرَهُ
لِيَشْمَل الْقَلِيل وَالْكَثِير قَوْله : ( فَسُلِّطَ (كَذَا
لِأَبِي ذَرّ ، وَلِلْبَاقِينَ فَسَلَّطَهُ ، وَعَبَّرَ بِالتَّسْلِيطِ
لِدَلَالَتِهِ عَلَى قَهْر النَّفْس الْمَجْبُولَة عَلَى الشُّحّ .قَوْله : ( هَلَكَته (بِفَتْحِ
اللَّام وَالْكَاف أَيْ : إِهْلَاكه ، وَعَبَّرَ بِذَلِكَ لِيَدُلّ عَلَى أَنَّهُ
لَا يُبْقِي مِنْهُ شَيْئًا . وَكَمَّلَهُ بِقَوْلِهِ : " فِي الْحَقّ "
أَيْ : فِي الطَّاعَات لِيُزِيلَ عَنْهُ إِيهَام الْإِسْرَاف الْمَذْمُوم .قَوْله : ( الْحِكْمَة (اللَّام
لِلْعَهْدِ ؛ لِأَنَّ الْمُرَاد بِهَا الْقُرْآن عَلَى مَا أَشَرْنَا إِلَيْهِ
قَبْل ، وَقِيلَ : الْمُرَاد بِالْحِكْمَةِ كُلّ مَا مَنَعَ مِنْ الْجَهْل وَزَجَرَ عَنْ الْقَبِيح .
( فَائِدَة ) :
زَادَ أَبُو هُرَيْرَة فِي
هَذَا الْحَدِيث مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِالْحَسَدِ الْمَذْكُور هُنَا
الْغِبْطَة كَمَا ذَكَرْنَاهُ ، وَلَفْظه : " فَقَالَ رَجُل لَيْتَنِي
أُوتِيت مِثْل مَا أُوتِيَ فُلَان ، فَعَمِلْت مِثْل مَا يَعْمَل "
أَوْرَدَهُ الْمُصَنِّف فِي فَضَائِل الْقُرْآن . وَعِنْد التِّرْمِذِيّ مِنْ
حَدِيث أَبِي كَبْشَة الْأَنْمَارِيّ - بِفَتْحِ الْهَمْزَة وَإِسْكَان النُّون -
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول . .
فَذَكَرَ حَدِيثًا طَوِيلًا فِيهِ اِسْتِوَاء الْعَالِم فِي الْمَال بِالْحَقِّ
وَالْمُتَمَنِّي فِي الْأَجْر ، وَلَفْظه : " وَعَبْد رَزَقَهُ اللَّه
عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقهُ مَالًا ، فَهُوَ صَادِق النِّيَّة يَقُول : لَوْ أَنَّ
لِي مَالًا لَعَمِلْت مِثْل مَا يَعْمَل فُلَان ، فَأَجْرهمَا سَوَاء " ،
وَذَكَرَ فِي ضِدّهمَا : " أَنَّهُمَا فِي الْوِزْر سَوَاء " وَقَالَ
فِيهِ : حَدِيث حَسَن صَحِيح . وَإِطْلَاق كَوْنهمَا سَوَاء يَرُدّ عَلَى الْخَطَّابِيّ
فِي جَزْمه بِأَنَّ الْحَدِيث يَدُلّ عَلَى أَنَّ الْغَنِيّ إِذَا قَامَ بِشُرُوطِ
الْمَال كَانَ أَفْضَل مِنْ الْفَقِير . نَعَمْ يَكُون أَفْضَل بِالنِّسْبَةِ
إِلَى مَنْ أَعْرَضَ وَلَمْ يَتَمَنَّ ؛ لَكِنَّ الْأَفْضَلِيَّة الْمُسْتَفَادَة
مِنْهُ هِيَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى هَذِهِ الْخَصْلَة فَقَطْ لَا مُطْلَقًا .
وَسَيَكُونُ لَنَا عَوْدَة إِلَى الْبَحْث فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَة فِي حَدِيث :
" الطَّاعِم الشَّاكِر كَالصَّائِمِ الصَّابِر " حَيْثُ ذَكَرَهُ
الْمُؤَلِّف فِي كِتَاب الْأَطْعِمَة إِنْ شَاءَ اللَّه تَعَالَى[37]
Dari contoh interpretasi diatas,
terlihat bahwa begitu luas, lengkap, dan komprehensif Ibnu Hajar memberikan penjelasan Hadits, baik
dari sanad, perbedaan matan yang muncul, hubungan judul bab dengan isi hadits,
hikmah yang dapat diambil. Dan juga beliau menyebutkan atsar dari
Sayyidina Umar dengan penjelasan yang gamblang juga.
Dalam hal sanad dijelaskan bahwa
perowi az-Zuhri meriwayatkan Hadits kepada Sufyan dengan lafadh yang berbeda
dengan lafadh yang diterima Ismail darinya. Adapun riwayat Sufyan dikeluarkan
Mushonnif dalam bab tauhid dari jalur Ali bin Abdillah.
Kemudian tentang arti lafadh.
Pertama yang dijelaskan Ibnu Hajar disini adalah lafadh الْحَسَد
yang dijelaskan bahwa artinya adalah mengharap hilangnya nikmat dari
orang yang menerima nikmat, sebagian ulama menghususkan arti lafadh tersebut
dengan keinginan nikmat itu hanya untuk dirinya (pelaku hasad). Adapun
penyebabnya adalah watak manusia yang selalu ingin lebih tinggi derajatnya dari
yang lain (sesamanya), maka ketika melihat yang lain mempunyai apa yang tidak
ia miliki dia akan mengharapkan hal itu hilang supaya dia bisa mengunggulinya,
atau menyamainya.
Lanjutnya, orang yang mempunyai
sifat demikian menjadi tercela. Sayogyanya, ketika datang perasaan demikian
(dengki), hendaklah membencinya sebagaimana membenci ketika diletakkan di dalam
dirinya watak suka terhadap hal-hal yang
terlarang. Kecuali ketika nikmat itu ada pada orang kafir ata fasiq dan
digunakan untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Ini adalah hasad yang sebenarnya.
Sedangkan hasad yang dimaksud dalam
hadits ini adalah الْغِبْطَة. Sedangkan pemakaian kata hasad adalah bentuk majaz.
Ghibtoh artinya berharap untuk dapat menyamai orang yang diberi
kenikmatan/kebaikan tanpa mengharap hilangnya kenikmatan itu dari pemiliknya.
Semangat di sini desebut مُنَافَسَة. Apabila munafasah ini dalam
hal ketaatan maka terpuji, akan tercela apabila munafasah ada dalam
kemaksiatan, dan akan mubah jika dalam hal-hal yang diperbolehkan. Seakan
dikatan:”tiada ghibtoh lebih agung/utama daripada terhadap dua hal ini”.
Hal ini karena ketaatan itu ada kalanya badaniyyah atau maliyyah atau gabungan
keduanya. Yang badaniyyah diisyaratkan
dengan mendatangi ilmu/hikmah dan mengajarkannya.
Kemudian Ibnu Hajar juga menjelaskan
beberapa redaksi matan hadits yang seirama maknanya dengan hadits ini. Yakni
apa yang terdapat dari Ibnu Umar dan Yazid bin Akhnas as-Sulami oleh Imam
Ahmad. yaitu:
: " رَجُل آتَاهُ اللَّه الْقُرْآن فَهُوَ
يَقُوم بِهِ آنَاء اللَّيْل وَآنَاء النَّهَا
Kemudian Ibnu
Hajar menjelaskan fungsi kata مَالًا yang dibuat nakiroh, yaitu agar dapat
mencakup harta yang sedikit atau banyak. Kata فَسُلِّطَ yang
menunjukkan agar manusia memerangi nafsunya yang berwatak bakhil. Kemudian kata
هَلَكَته
yang menunjukkan agar tidak disisakan harta itu. Kemudian kata
فِي الْحَقّSupaya semuanya ditasarrufkan pada
ketaatan dan tidak jatuh pada isrof dan tercela. Dan maksud kata الْحِكْمَة mengandung dua pendapat, ada yang memaknai al-Qur’an, ada juga
yang memaknainya dengan segala sesuatu yang mencegah dari kebodohan dan
keburukan.
Pada akhir
keterangan, Ibnu Hajar menyampaikan “Faidah”, yang berisi:
- Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa makna hasad yang
dimaksud di sini adalah ghibthoh, hal ini juga ditambahkan Abu Hurairah
dalam Hadits ini.
- Hadits ini kualitasnya adalah hasan shohih.
- Hadits ini menunjukkan keutamaan orang kaya yang mentasarrufkan
hartanya sesuai dengan ketentuan harta yang benar menjadi lebih utama dari
orang fakir, dinisbatkan kepada orang yang berpaling dan tidak berharap saja,
bukan dinisbatkan pada yang lain. Masalah ini akan dibahas lagi dalam hadits
yang menjelaskan bahwa orang yang member makan lagi syukur itu seperti orang
yang puasa lagi sabar, dalam kitab makanan.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al
Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani dengan kitab Syarah Haditsnya Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari mempunyai peran besar dalam keilmuah Hadits yakni dalam syarah
hadits. Kitab syarah Hadits ini merupakan kitab syarah yang agung dengan banyak
keistimewaan dalam hal ketelitian, keluasan cakupan bahasan dan yang lainnya.
Adapun
metode yang digunakan Ibnu Hajar dalam mensyarah Hadits dalam Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari adalah dengan: mengumpulkan hadits-hadits dalam bab-bab, kemudian menyebutkan hubungan
munasabat diantara keduanya meskipun samar, menjelaskan keshohihan hadits baik
dari segi matan maupun sanad, menjelaskan tadlis jika ditemukan dengan meninjau
kepada kitab-kitab musnad, jawami’, mustakhrijat, ajza’, dan faidah-faidah
dengan memenuhi syarat keshohihan atau hasan dari apa yang didapatnya,
mnejelaskan /menyambung sanad-sanad yang terputus, menjelaskan makna
lafadh-lafadh yang sulit dipahami/butuh pemahamn husu, menjelaskan hasil-hasil
istinbath para imam dari hadits baik berupa
hokum-hukum fikih, mauidhoh zuhud, adab yang terjaga, seraya hanya
mengambil pendapat yang rajih, menjelaskan hikmah diulanginya Hadits
dalam berbagai bab jika terdapat pengulangan matan.
B.
Saran
Dari
penelitian kecil ini penulis harapkan muncul kesadaran khususnya pada diri
penulis dan masyarakat muslim pada umumnya agar lebih banyak melihat
kitab-kitab syarah hadits sebelum menjelaskna makna hadits kepada halayak umum.
C.
Kata Penutup
Syukur
Alhamdulillah penulis panjatkan atas selesainya laporan penelitian ini.. Segala
kekurangan dan kesalahan mohon maaf dan mohon kritik konstruktif. Semoga
bermanfaat, aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Imam al Hafizh
Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Hadyu as-Saari: Muqaddimah
Fath al-Baari bi Syarh Shihih al- Bukhori,Kairo: Darul Hadits, 1998.
_______________, Fath
al-Baari bi Syarh Shihih al- Bukhori, juz 1, Kairo: Darul Hadits, 1998.
_______________, Bulugh
al-Maram min Adillah al-Ahkam, Semarang: Toha Puetra, tt.
_______________, Taqrib at-Tahdzib, Kairo:
Darul Hadits, 2004.
Muhammad Ibn Umar Ibn Salim Bazmur, Ilmu Syarh
al-Hadits wa Rowafid al-Hadits fiihi, tt., tt.,
M. Alfatih
Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis dari Teks ke Konteks, Yogyakarta:
Teras, 2009.
Muslım Ibn Al-Hajjaj, Al-Jami’ al- Shohih, Juz
12, hlm. 459, dalam Maktabah Syamilah
Ulya, Metode Penelitian Tafsir, Kudus: Nora
Media Enterprise, 2010.
Elfath Nae, Pemikiran Ahmad ibn 'Ali ibn Hajar al-Asqalani http://el-fathne.blogspot.com/2010/05/ahmad-ibn-ali-ibn-hajar-al-asqalani-i.html
[1] Nonkshe, Syarah
Hadits, dalam http://nonkshe.wordpress.com/2010/10/19/syarah-hadits/, 20 November
2014 22.08 WIB
[3] Muhammad Ibn Umar Ibn Salim Bazmur, Ilmu Syarh
al-Hadits wa Rowafid al-Hadits fiihi, tt., tt., hlm. 8
[6] Al Imam al Hafizh
Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Taqrib at-Tahdzib, Kairo:
Darul Hadits, 2004.
[7] Al Imam al Hafizh
Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillah
al-Ahkam, Semarang: Toha Puetra, tt.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] M. Alfatih
Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis dari Teks ke Konteks,Yogyakarta:
Teras, 2009, hlm.76
[16] Ibid.,
hlm. 41
[17] Al Imam al Hafizh
Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Bulugh al-Marom min
Adillati al-Ahkam,Semarang : Toha Putera, tt., hlm. ى
[19] Iskandar
Ahmad, Op.Cit.
[21]Elfath
Nae, Pemikiran Ahmad ibn
'Ali ibn Hajar al-Asqalani http://el-fathne.blogspot.com/2010/05/ahmad-ibn-ali-ibn-hajar-al-asqalani-i.html
[25] Iskandar
Ahmad, Op.Cit
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Al Imam al Hafizh
Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Hadyu as-Saari: Muqaddimah
Fath al-Baari bi Syarh Shihih al- Bukhori,Kairo: Darul Hadits, 1998, hlm.
6-7
[29] Iskandar
Ahmad, Op.Cit
[32] Al Imam al Hafizh
Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Fath al-Baari bi Syarh
Shihih al- Bukhori, juz 1, Kairo: Darul Hadits, 1998, hlm. 201
4 Comments
Assalamu'alaikum wr. wb
terima kasih ka, karena tulisan kaka, telah menjadi salah satu referensi dalam makalah saya. agar tidak menjadi karya hasil plagiarisme, maka saya telah mencantumkan link blog kaka, tanggal dan waktu pengutipannya.
syukraan jazeela
wassalamu'alaikum wr.wb
wa'alaikumussalam
sama sama
semoga brmanfaat
bagu
Kak Mohon maaf tanya ini referensi yang iskandar ahmad , footnote lengkapnya yang mana yaa
Bagaimana Pendapat Anda ?