Selasa, 15 Juli 2014

0 Kemana Arah Cintamu

MENGARAHKAN POTENSI CINTA

(Konsep Cinta Perspektif Tafsir Mafatihul Ghoib Surat az-Zuhruf Ayat 67)


A.    Pendahuluan

Berbicara tentang cinta rasanya tak mengundang kata bosan bahkan bagi mereka yang telah terluka karena cinta sekalipun. Terkadang mereka malah menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang indah hingga membuat indah untaian kata demi kata yang mengajak kepada pembaca untuk bersama menikmati indahnya anugrah Tuhan yang satu ini. 

Secara definitif, kata “cinta” menjadi multi tafsir ketika muncul dari penikmat cinta yang berangkat dari  sudut dan keberanekaragaman warna yang ditimbulkan oleh cinta itu sendiri. Begitu banyak varian sisi yang menarik untuk dibahas. Keberadaan lagu yang muncul dari berbagai jenis aliran musik mulai dari yang dangdut, rock, band alternatif, jazz sampai rebana yang banyak sekali mencurahkan perasaan dan menggambarkan keadaan cinta adalah sebagai bukti bahwa cinta kaya akan sisi untuk dibahas.

Yang menjadi masalah adalah ketika cinta sudah menguasai jiwa, seakan manusia dibutakan oleh nafsu. Tanpa berfikir lagi apakah yang dilakukan itu benar atau tidak, baik secara dia itu sebagai orang yang beragam Islam atau sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan. Di sini terlihat pentingnya mengurai cinta secara ilmiah dengan berpijak pada pendapat para ahli (mufassir) tentang bagaimana Al-Qur’an telah berbicara tentang cinta melalui penafsiran-penafsiran yang dituangkan dalam kitab tafsirnya untuk kemudian ditemukan pemahaman yang sesuai dengan keimanan sebagai hamba Tuhan yang senantiasa mengharap keridloan-Nya.

Melihat dan mencoba memahami apa yang telah dibahas dalam materi kuliah Membahas Kitab Tafsir, kiranya penulis menaruh rasa hormat sekaligus kagum pada beliau Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn Umar ibn al-Husin al-Taimi al-Bakri al-Tabaristani Fakhruddin al-Razi karena kedalaman dan keluasan ilmu yang dianugrahkan Allah kepada beliau terutama  yang tertuang dalam satu karyanya yang terkenal dalam kitab tafsir al-Qur’an yakni Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib. Yang kemudian penulis mempunyai semangat untuk membahas cinta menurut perspektif Ar-Razi saat menafsiri ayat ke 67 surat az-Zukhruf sebagai wujud perhatian penulis untuk ikut serta berusaha membumikan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an untuk menjawab persoalan cinta yang terjadi dalam kehidupan ini.

B.    Rumusan Masalah

Untuk lebih jelas dan terarahnya apa yang penulis maksud dalam tulisan ini, berikut rumusan masalahanya.
1.    Bagaimana pengertian cinta menurut para ahli ?
2.    Bagaiaman Konsep cinta yang ditawarkan ar-Rozi dalam dalam Tafsir Mafatihul Ghoib Surat Az-Zuhruf ayat 67 ?

C.    Pembahasan

1.    Arti Cinta

Berbagai definisi cinta akan ditemui dari setiap individu yang mengalami dan merasakannya. Namun secara bahasa, kata ‘cinta’, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merupakan wakil dari perasaan kasih, sayang, atau rindu yang sangat dalam. Namun dalam konteks atau kadar kalimat tertentu, ia bisa juga mewakili perasaan sedih.  Berbicara cinta adalah berbicara tentang rasa yang di dalamnya ada efek yang timbul dari yang punya rasa tersebut. Ia akan banyak menyebut-nyebut yang dicintainya,  bisa jadi ia akan lebih perhatian, menuruti apa yang diinginkan yang dicintai dan lain sebagainya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi definisi cinta menurut Robert  A. Baron  dan Donn Byrne dalam buku Social Psychology  yang sudah dialihbahasakan Ratna Djuwita dkk., bahwa cinta adalah suatu kombinasi emosi, kognisi, dan prilaku yang dapat terlibat dalam hubungan intim. 

Sementara itu, untuk lebih mengenal cinta dan fenomenanya, ada 3 arti cinta menurut para ahli yang perlu difahami :

a.    Louann Brizendine, M.D. sebagai seorang Dokter Syaraf Jiwa, dia berbicara tentang cinta :
Jatuh cinta adalah salah satu prilaku atau keadaan otak yang paling tidak rasional  yang tak terbayangkan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Otak menjadi "tidak logis" dalam gelora asmara baru itu. Sehingga otak-secara harfiah-buta terhadap kekurangan kekurangan sang kekasih. ini adalah keadaan diluar kesadaran. 

Menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah ada beberapa ciri orang yang sedang jatuh cinta; Matanya selalu memandang orang yang dicintai, Menundukkan pandangan apabila dipandang sang kekasih, Selalu ingat sang kekasih, Mengikuti kata hati sang kekasih, Memperhatikan ucapan yang kekasih,Mencintai kediaman sang kekasih, Segera menghampirinya, Mencintai orang-orang yang dekat dengan sang kekasih, Perjalann menuju sang kekasih terasa ringan, Resah dan gelisah sirna saat mengunjungi sang kekasih, Panik dan terharu ketika berjumpa dengan sang kekasih, Cemburu terhadap sang kekasih, Cemburu kepada sang kekasih, Berkorban demi sang kekasih, Bergembira karena sang kekasih bahagia, Senang menyendiri dengan sang kekasih, Merendahkan diri di hadapan sang kekasih, Napas tersendat-sendat, Meninggalkan semua yang dibenci kekasih, Keselarasan antara pecinta dengan sang kekasih 

b.    Arti cinta berdasarkan proses terjadinya secara biologis dan psikologis manusia
Jatuh cinta adalah sebuah naluri yang timbul / bereaksi secara otomatis  tanpa kesadaran  yang dipicu kombinasi reaksi otak, emosi dan otak fisik bukan otak logika dan hasrat  mempercepat prosesnya serta investasi emosi   yang menjeratnya. Artinya, naluri bekerja otomatis tanpa melewati proses kesadaran. Dengan kata lain, secara tidak sadar, naluri dapat diaktifkan dan mengambil alih kendali seseorang untuk melakukan tindakan tertentu, mirip seperti saat anda melihat gadis cantik nan seksi yang lewat didepan anda yang menyebabkan anda otomatis terperangah selama 3 detik.

Ada 3 macam kombinasi emosi yang harus dirasakan seseorang untuk dikatakan jatuh cinta, yaitu : rasa tertarik, rasa nyaman, dan rasa peduli. 

c.    Arti dari kata cinta sesuai keyakinan
Dua pembahasan arti cinta di atas hanyalah sebuah pengetahuan dan apa yang terjadi dalam tubuh manusia, tapi arti cinta yang sesungguhnya adalah arti makna cinta yang terbentuk dari keyakinan-keyakinan yang kita miliki.

Karena kekuatan keyakinan akan mempengaruhi apa yang dipikirkan, apa yang dipikirkan akan mempengaruhi apa yang terjadi dalam tubuh manusia( emosi/perasaan ), perasaan mempengaruhi sikap, tindakan, perbuatan, dan pada akhirnya menjadi kebiasaan. 

sementara menurut Imam Al-Ghazali memberikan pengertian hakekat cinta, bahwa ketertarikan watak alami pada perkara yang melezatkan itulah cinta . Baik secara fisik maupun non fisik kecondonga hati itu mengarah kemana.

Dari beberapa definisi yang dipapakarkan diatas dapat penulis simpulkan bahwa cinta merupakan suatu kombinasi emosi, kognisi, dan prilaku yang dipengaruhi oleh keyakinan yang tertarik kepada sesuatu yang melezatkan sehingga dapat menimbulkan hubungan intim antara subyek dan obyek.

2.    Konsep Cinta Perspektif Tafsir Mafatihul Ghoib Surat Az-Zuhruf Ayat 67

Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain kecuali mereka yang bertakwa.
تفسير الرازي - (ج 13 / ص 488)

 { الأخلاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ عَدُوٌّ إِلاَّ المتقين } والمعنى { الأخلاء } في الدنيا { يَوْمَئِذٍ } يعني في الآخرة { بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ } يعني أن الخلة إذا كانت على المعصية والكفر صارت عداوة يوم القيامة { إِلاَّ المتقين } يعني الموحدين الذين يخالل بعضهم بعضاً على الإيمان والتقوى ، فإن خلتهم لا تصير عداوة ، وللحكماء في تفسير هذه الآية طريق حسن ، قالوا إن المحبة أمر لا يحصل إلا عند اعتقاد حصول خير أو دفع ضرر ، فمتى حصل هذا الاعتقاد حصلت المحبة لا محالة ، ومتى حصل اعتقاد أنه يوجب ضرراً حصل البغض والنفرة ، إذا عرفت هذا فنقول : تلك الخيرات التي كان اعتقاد حصولها يوجب حصول المحبة ، إما أن تكون قابلة للتغير والتبدل ، أو لا تكون كذلك ، فإن كان الواقع هو القسم الأول ، وجب أن تبدل تلك المحبة بالنفرة ، لأن تلك المحبة إنما حصلت لاعتقاد حصول الخير والراحة ، فإذا زال ذلك الاعتقاد ، وحصل عقيبه اعتقاد أن الحاصل هو الضرر والألم ، وجب أن تتبدل تلك المحبة بالبغضة ، لأن تبدل العلة يوجب تبدل المعلول ، أما إذا كانت الخيرات الموجبة للمحبة ، خيرات باقية أبدية ، غير قابلة للتبدل والتغير ، كانت تلك المحبة أيضاً محبة باقية آمنة من التغير ، إذا عرفت هذا الأصل فنقول الذين حصلت بينهم محبة ومودة في الدنيا ، إن كانت تلك المحبة لأجل طلب الدنيا وطيباتها ولذاتها ، فهذه المطالب لا تبقى في القيامة ، بل يصير طلب الدنيا سبباً لحصول الآلام والآفات في يوم القيامة ، فلا جرم تنقلب هذه المحبة الدنيوية بغضة ونفرة في القيامة ، أما إن كان الموجب لحصول المحبة في الدنيا الاشتراك في محبة الله وفي خدمته وطاعته ، فهذا السبب غير قابل للنسخ والتغير ، فلا جرم كانت هذه المحبة باقية في القيامة ، بل كأنها تصير أقوى وأصفى وأكمل وأفضل مما كانت في الدنيا ،. 

orang-orang yang berteman karib (dengan saling mencintai/mengasihi) saat di dunia, maka besok di hari kiamat mereka saling bermusuhan satu sama  lain. Artinya, ketika pertemanan yang dipenuhi cinta kasih itu berdiri atas kedurhakaan terhadap Allah dan kekufuran, maka kelak akan menjadi permusuhan di hari kiamat kecuali orang orang yang bertaqwa atau yang bertauhid, yaitu orang-orang yang saling mengasihi satu sama lain atas dasar iman dan taqwa. Maka pertemanan mereka tidak akan berubah menjadi permusuhan.

Bagi para Hukama’ ada jalan bagus dalam menafsiri ayat ini. Mereka berkata, sesungguhnya cinta adalah sesuatu yang tidak dapat diperoleh kecuali ketika diyakini kan menghasilkan kebaikan atau menolak bahaya/kerusakan. Ketika sudah diperoleh keyakinan ini maka pastilah diperoleh rasa cinta, dan ketika diperoleh keyakinan bahwa sesuatu itu akan menyebabkan kerusakan maka akan diperoleh kebencian. Ketika kamu mengetahui hal ini maka kami katakan: kebiakan-kebaikan yang diyakini mendatangkan rasa cinta ketika diperolehnya, bisa jadi dapat berubah dan tergantikan atau tidak. Jika yang terjadi itu yang pertama (dapat berubah dan tergantikan) maka kamu harus mengganti cinta itu dengan benci. Karena cinta tersebut dihasilkan oleh keyakinan diperolehnya kebaikan dan kenyamanan. Ketika keyakinan itu hilang, dan sisanya diperoleh keyakinan bahwa yang diperoleh adalah kerusakan dan rasa sakit, maka kamu harus mengganti rasa cinta itu menjadi benci. bergantinya illat/alasan (sebab) menyebabkan bergantinya musabbab. Adapun ketika kebaikan-kebaikan yang menyebabkan cinta itu adalah kebaikan-kebaikan yang abadi, yang tidak akan berubah dan tergantikan, maka cinta itu pula akan selamat dari perubahan. Jika kamu sudah tahu dasar ini, maka kami katakan : orang-orang yang jatuh cinta didunia, jika cinta itu hanya untuk mencari kesenangan dan kebaikan dunia, maka pencariannya ini tidak akan kekal besok di hari kiamat, bahkan akan menjadi sebab yang menghasilkan rasa sakit dan bencana di hari kiamat. Maka sudah pasti rasa cinta yang sifatnya duniawi ini berganti benci di hari kiamat. Adapun jika yang menyebabkan cinta di dunia ini dibarengi dengan cinta Allah SWT, melayani, dan menaatinya, maka sebab ono tidak akan terhapus dan tergantikan, sehingga sudah pasti cinta ini akan kekal di hari kiamat, bahkan akan menjadi lebih kuat, lebih murni, lebih sempurna, lebih utama dari pada saat di dunia.

Secara garis besar ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang semasa hidup di dunianya saling mengasihi, menyayangi dan mencintai besok di akhirat akan menjadi saling memusuhi karena dasar cinta dan kasihnya dalam berteman bukan iman dan takwa, sehingga hanya menuruti nafsu belaka yang pada akhirnya cinta kasihnya dalam berteman menimbulkan prilaku dan tindakan yang mengarah pada kedurhakaan kepada Allah SWT. Pada akhirnya kelak diakhirat saling menyalahkan satu sama lain, kenapa dulu di dunia saling tolong menolong dalam kedurhakaan kepada Allah SWT. Berbeda dengan orang-orang yang pertemanannya  didasari iman dan taqwa mereka akan saling tolong menolong dalam kebaikan dan tidak bersekongkol dalam kejahatan atau mendurhakai Allah SWT.

Yang menjadi perhatian di sini adalah logika yang menarik dari hukama’ perihal cinta yang kemudian dimasukkan dalam penafisran ar-Razi. Yaitu, cinta dapat muncul karena adanya kemantaban hati bahwa apa yang dicintainya itu akan membawa manfaat atau dapat menjauhkan dari bahaya kerusakan. Begitupun juga sebaliknya, ketika suatu hal tersebut diyakini akan menimbulkan kemadlorotan dan kerusakan maka akan menimbulkan kebencian dan hati menjadi berpaling darinya. Sehingga, yang perlu diperhatikan adalah faktor-faktor penyebab timbulnya cinta dalam hal ini dibagi menjadi dua, yaitu ada yang bisa berubah dan ada yang tidak bisa berubah.

Jika yang terjadi adalah yang pertama, maka rasa suka itu pun pada akhirnya akan menjadi benci seiring hilangnya faktor yang menyebabkan cinta yaitu kebaikan dan kesenangan karena yang tersisa adalah bahaya, kerusakan dan rasa sakit yang menyiksa. Akan tetapi jika kebaikan dan manfaat itu sifatnya kekal abadi yang tak mungkin bisa berubah dan terganti, maka cintanya pun akan menjadi kekal abadi dan tak berubah menjadi benci.

Seseorang yang mencintai karena suatu hal, kemudian dia berpaling seiring dengan perpalingnya hal tersebut, maka yang menjadi faktor penopang cintanya adalah bukanlah cinta sejati, melainkah hanyalah berupa tujuan tertentu saja. Apabila faktor yang menjadi landasan cinta kepada serang kekasih itu cepat hilang dan berpindah, maka cintanyapun  akan cepat hilang . tetapi kalau dasar cintanya adalah sesuatu yang abadi, maka cintanya akan senantiasa bersemi  dan abadi selama penyebabnya masih ada. Dia tidak akan mampu dihalangi oleh sesuatu apapun, baik itu perubahan yang terjadi pada diri orang yang mencintai maupun  penderitaan yang datang dari sang kekasih. Cinta seperti itu merupakan hakikat cinta sejati, karena ia akan menciptakan suatu tujuan, yaitu keserasian (kecocokan). Dengan begitu, pecinta telah berupaya membuat tujuannya dan tujuan kekasihnya menjadi bagian dari dirinya. Dia mampu merendahka dirinya demi menysuaikan kekasihnya. 

Jika sudah jelas demikian yang menjadi titik perintah adalah hendaklah menghindaari dan menjauhi cinta yang orientasinya hanyalah kesenangan dunia dan kenikmatanya, karena kesenangan ini tidaklah abadi dan akan tergantikan besok di hari kiamat dengan kesusahan dan kepedihan siksa karena melupakan esensi manusia sebagai hamba yang harus mengabdikan diri kepada Tuhan dan nantinya akan kembali menemui balasan yang telah dilakukan di dunia. 

Berbeda dengan cinta yang faktor dan orientasinya juga kekal yakni iman dan taqwa kepaada Allah yang MahaKekal, maka yang timbul dari perilaku cintanya adalah selaras dengan nilai-nilai ketaqawaan seorang hamba yang taat kepada Tuhan, saling tolong menolong dalam kebaikan, menjauhi hal-hal yang terlarang meskipun lezat dan ni’mat secara duniawi, menjalankan perintah-perintahNya meskipun berat dan pahit adanya, namun hal itu dilaksanakan dengan penuh cinta kasih dan mengharapkan ridlo dari Allah, hingga Allah pun meridloinya sampai besok diakhirat dengan wujud syurga yang penuh ni’mat dan keridloan karena cintanya yang selaras dengan cinta Allah Sang Maha Cinta. Bahkan akan menjadi semakin kuat, semakin lembut dan semakin suci.

D.    Penutup


Ketertarikan watak alami pada perkara yang melezatkan hati, yang menyenangkan hati, yang diyakini membawa manfaat, dapat menghilangkan keburukan itulah cinta. Mencintai dan menyayangi hendaklah didasarkan pada iman dan taqwa agar cinta kasih di dunia tidak berubah menjadi benci dan petaka besok di akhirat. Demikianlah yang dapat penulis simpulkan. Segala kekurangan dan kesalahan mohon maaf dan mohon kritik konstruktif. Semoga bermanfaat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdillah, Muhammad bin Umar  bin Alhusain bin Alhasan Ali, At Tamimi, Al Bakri At Thabaristani Ar Rozi, Tafsir al-Kabir; Mafatih al-Ghayb¸ dalam Maktabah Syamilah
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bercinta dengan Allah, terjemahan: H. Sarwedi M. Amin Hasibuan, edt. Ahmad Anis, Arif Fahruddin, jakarta: Maghfirah pustaka, 2006.
Imam Al-Ghzali, The Power of Love, terj. Ija Suntana, Jakarta: Hikmah, 2005
Robert A. Baron dan Donn Byrne, Psikologi Sosial, terj. Ratna Djuwita, dkk., Jakarta: Erlangga, 2005.
Agung, Arti Cinta Menurut Para Ahli dalam http://tukankcopas. blogspot.com/2013/05/arti-cinta-menurut-para-ahli.html
Darusman, Arti Cinta Menurut Pakar Ilmuan  dalam http://cinta009 .blogspot.com/2013/03/arti-cinta-menurut-pakarnya.html#sthash.Ip bDgIz2.dpuf

Rabu, 26 Maret 2014

0 MAJMA’ AL-BAYAN FI TAFSIR AL-QURA’AN

MENGENAL MAJMA’ AL-BAYAN FI TAFSIR AL-QURA’AN


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Munculnya berbagai macam corak penafsiran dalam memaknai al-Qur’an adalah suatu bukti bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang kaya akan makna. Keanekaragaman penafsiran yang muncul karena dilatarbelakangi oleh siapa penafsirnya, dimana dia tinggal dan bagaiamana beground keilmuan yang dimiliki mufassir yang sudah semestinya harus menguasai ilmu-ilmu yang harus dimiliki seorang mufassir.   

Seiring perkembangan zaman dunia islam yang menghantarkan juga pada perkembangan ilmu-ilmu Islam juga mempengaruhi corak penafsiran. Maka tidak heran jika lahir beberapa corak tafsir yang beraneka ragam, diantara yang kita pelajari dalam madzahib tafsir di semester lalu, kita telah dikenalkan tafsir corak fiqih, teologis, sufistik, falsafi, dan ‘ilmi.

Ada juga corak tafsir yang bisa dikatakan unik karena penafsiran ini kenamaannya bukan karena pengaruh cabang keilmuan tertentu. Oleh karena Corak penafsiran ini dipengaruhi oleh salah satu aliran dalam dunia Islam, yaitu aliran Syi’ah. Sebagaimana kita tahu aliran yang merupakan rival/lawan utama dunia Suni. Dan dalam makalah ini kita akan mencoba mengenal salah satu kitab  tafsir yang bercorak  penafsiranya dipengaruhi Syi’ah, yaitu kitab Majma’ al-Bayan li Ulum al-Qura’an karya Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabarsi  (w. 538 H).

B.    Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat pemakalah rumuskan permasalahan yang kita bahas sebagai berikut:
1.    Bagaimana Biografi Muallif Tafsir Majma’ al-Bayan, karya-karya dan kedudukan intelektualnya ?
2.    Bagaimana gambaran Tafsir Majma’ al-Bayan itu ?

BAB II

PEMBAHASAN


A.    Biografi Muallif Tafsir Majma’ al-Bayan, Karya-Karya dan Kedudukan Intelektualnya

1.    Biografi at-Thabarsi

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Fadll bin al-Hasan al-Thabarsi  al-Masyhadiy at-Thusi as-Sibzawari ar-Ridhowi atau al-Masyhadi. Beliau hidup sampai umur 90 tahun, dilahirkan di Thobaristan tahun 462 H, menetap di Masyhad sampai tahun 523 H, kemudian pindah ke Sibzawar sampai akhirnya wafat di sana. Mengenai kapan tepatnya beliau wafat, ditemukan perselisihan, ada yang mengatakan 561 H juga ada yang mengatakan beliau wafat pada malam Idhul Adha tahun 548 H. Keberadaan makam beliau juga diperselisihkan, ada yang mengatakan di qotlakah juga ada yang mengatakan di Thous yang terkenal dan diziarahi. 

Beliau adalah seorang ulama terpandang di masanya, beliau menjadi rujukan ulama lain pada saat itu, terkenal dengan budi pekerti yang luhur. Bukan Cuma ahli di bidang tafsir, tetapi ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu fiqih dan hadits juga dikuasainya sehingga sematan al-‘Alim, Al-Mufassir, Al-Faqiih, Al-Muhaddits, Al-Jalil, As-Tsiqqoh, Al-Kaamil dan An-Nabiil disandang oleh beliau. 

Putra beliau: Radliy al-Din Abu Nashar Hasan bin al-Fadhl, cucu beliau Abu al-Fadhl Ali bin al-Hasan, dan keturunannya yang lain menjadi ulama yang besar. Murid-muridnya adalah putranya Radliy al-Din Abu Nashar Hasan bin al-Fadhl, Ibn Syhr Asyuub, Syeh Muntakhab al-Din, Qutub al-Rawandi dan lain-lain. 

Sedangkan guru-guru beliau adalah: Syeh Abu Ali al-Thusiy,   Syekh Abi Wafa’ Abdul Jabbar bin Ali Al-Muqri’ Ar-Razi, Syekh Al-Ajal Al-Hasan bin bin Al-Husain bin Al-Hasan bin Babaweh Al-Qummi Ar-Razi, Syekh Imam Muwaffaq din bin Al-Fath Al-Wa’idh Al-Bakr Abadi, Sayyid Abi Thalib Muhammad bin Al-Husain Al-Husaini Al-Jarjani, Syekh Al-Imam As-Sa’id Az-Zahid Abi Fath Abdillah bin Abdil Karim bin Hauzan Al-Qasyiri,Syekh Abil Hasan Ubaidillah Muhammad bin Hasan Al-Baihaqi.

2.    Karya-karya al-Thabarsi

Karya-karya al-Thabarsi  adalah: kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsiri al-Qur’an, al-Wasit fi al- Tafsiri terdiri empat jilid, al-Wajiz,  I’lam al-Wara bi a’lam al-Huda 2 jilid, Taj al-Mawalid dan al-Adab al-Diniyah..

3.    Kedudukan Intelektual 

At-Thabarsi merupakan termasuk pembesar Ulama’ Imamiyyah (syi’ah) pada abad ke enam hijriyyah. Kemudian di jelaskan dalam at-Tafsir wal Mufassiruun, Shohibu Majalisil Mu’minin menjelaskan bahwa, at-Thabarsi disebut sebagai ‘umdatul mufassiriin (tempat sandaran para mufassir). Beliau adalah termasuk golongan ulama yang condong pada ilmu tafsir.

B.    Mengenal Tafsir Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an

Kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an juga disebut Majma’ al-Bayan li ‘Ulum al-Qur’an. Kitab ini disandarkan pada Kitab al-Bayan susunan syekh Muhammad bin al-Hasan bin Ali at Thousi. Bahkan disesuaikan dalam urutan-urutannya, bab-babnya, cabang-cabang ilmu di dalamnya termasuk fikih sebagaimana at Thousi sebutkan. 

Kitab ini termasuk kitab tafsir terbaik dilihat dari susunannya yang mana selesai disusun pada pertengahan Dzul Qo’dah tahun 536 H sebagaimana disebutkan dalam mukaddimahnya. Sedangkan dalam At-Tafsir wa al-Mufassirun, Majma’ al-Bayan ini selesai disusun pada pertengahan Dzul Qo’dah tahun 534 H . 

Kitab ini kental sekali dengan analisis bahasa bahkan sangat luas, termasuk kita akan temui pembahasan ilmu ma’ani al lughawiyah untuk mufradadnya. Selain itu juga disebutkan asbabun nuzul, nasikh mansukh, qiro’at, hukum-hukum fikih yang terkandung dalam ayat disertai pendapat ulama salaf dan para pendahulu dari ulama khalaf.

Merujuk pada kajian yang dilakukan Rosihon Anwar sebagaimana dikutip H. Mawardi Abdullah, Lc. M.Ag Dalam sebuah  makalahnya, bahwa secara umum, corak al-Thabrasi sama dengan corak tafsir  ulama Syi’ah pada umunya yaitu tafsir simbolik (menekankan pada aspek batin al-Qur’an). Dalam khazanah Ulum al-Qur’an, tafsir seperti ini biasa dikenal dengan tafsir bathini. Sedangkan  Al-Dzahabi menyebut tafsir simbolik dengan ungkapan al-tafsir al-ramzi, sedangkan Habil Dabashi menggunakan istilah tafsir esoterik. 

Sejarah

Yang melatar belakangi al-Thabarsi  untuk menulis kitab Majma’ al-Bayan li Ulum al-Qura’an adalah kejadian aneh, yaitu menurut sebuah cerita pada suatu ketika al-Thabarsi  mengalami kaku disekujur tubuh sehingga orang-orang disekitarnya menganggapnya mati, setelah dimandikan, dikafani dan dikebumikan, beliau sadar dari rasa kaku tersebut, dan berusaha keluar dari dalam kubur, dan berjanji kepada Allah SWT. kalau diselamatkan dari musibah itu dia akan mengarang sebuah kitab dalam ilmu tafsir. Setelah beberapa hari di dalam kuburan, datanglah orang-orang untuk menggali kuburnya dan mengeluarkan al-Thabarsi  dan memapahnya pulang kerumah. 

Adapun hal-hal lain diluar janji beliau yang mendorong beliau menyusun kitab tafsir ini adalah:
-    Terinspirasi kitab at-Tibyan karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan at-Thousi
-    Memenuhi permintaan Maulana al-Amir Muhammad bin Yahya bin Hibatulloh al-Husain

Metodologi Penafsiran

Dilihat dari segi metodologi penafsiran al-Qur’an, tafsir Majma’ al-Bayan dikatogerikan tafsir tahlili, Karena At-Thobarsi menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan tertib ayat dan surat dalam mushaf al-Qur’an  mulai dari awal surat al-Fatichah sampai akhir surat an-Nas.

Dilihat dari segi nau’nya (bentuk), Tafsir Majma’ al Bayan termasuk jenis kategori tafsir bir ro’yi, dimana dalam menafsirkan ayat beliau menggunakan hasil pemahaman  mufassir. Sedangkan adanya ayat ayat yang berkaitan, hadits-hadits yang ada dan beberapa pendapat difungsikan sebagai hujjah atau penguat atas pendapat yang dikeluarkan dalam menafsirkan. Sebagaimana diterangkan dalam  at-Tafsir wa al-Mufasirun, dalam tafsir Majma’al-Bayan juga terdapat banyak hadits maudlu’ juga cerita isroiliyyat.. 

Sedangkan dilihat dari laun/coraknya, Tafsir Majma’ al-bayan ini termasuk laun loghowi. Bahkan dalam taqdimnya, tafsir ini digolongkan  kitab untuk rujukan I’rob al-Qur’an, hal ini desebabkan memuatnya semua aspek kebahasaan untuk membedah ma’na al-Qur’an khususnya bahasan I’rob ayat-ayat al-Qur’an .

Teknik Penafsiran


Sebelum menafsiri ayat-demi ayat, surat demi surat, terlebih dahulu pada mukaddimah Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an, al-Thabarsi  menjelaskan ilmu-ilmu al-Qur’an yang dibagi menjadi tujuh bab:

  1. Menjelaskan bilangan ayat dalam al-Qur’an dan Urgensi mempelajarinya
  2. Menjelaskan Masalah Qira’at dan ulama-ulama Qurra’
  3. Menjelaskan masalah Tafsir, ta’wil dan lain-lain.
  4. Menjelaskan al-Qur’an dan arti-artinya
  5. Menjelaskan Ulum al-Qur’an seperti I’jaz, ayat-ayat al-Qur’an bisa ditamabah atau dikurangi.
  6. Menjelaskan akbar-akhbar (Hadits-hadits) yang ada kaitanya dengan keutamaan al-Qur’an
  7. Menjelaskan anjuran-anjuran bagi pembaca al-Qur’an

Baru kemudian dengan menafsirkan al-Qur’an, memulai dari ta’awuzd, basmalah, surat al-Fatihah dan seterusnya.
Dalam kitab Tafsir Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an At-Thabarsi  menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

  • mengawali tiap-tiap surat dalam al-Qura’an dengan menyebut surat identitas setiap surat apakah makkiyah atau madaniyah,
  • kemudian menjelaskan  perbedaan  pendapat ulama masalah bilangan ayat-ayat al-Qur’an dalam surat itu, menjelaskan juga perbedaan ulama masalah qira’at,
  • menjelaskan analisis bahasa berkaitan dengan makna lafadz atau kalimat, menjelaskan I’rob dan kemusykilannya. Sebagai contoh dalam menjelaskan :

Bahwa keduanya merupakan sighot mubalaghoh yang diambil dari kata  رحمة  yang berarti نعمة . akan tetapi waz an fa’laanun  lebih kuat dari pada fa’iilun. Beliau juga mriwayatkan dari Abi Ubaidah  bahwasannya 
  • kemudian menjelaskan illat dan hujah masing-masing, menjelaskan Asbab al-nuzl, I’rab, ma’ani, hukum, kisah-kisah dan korelasi runtun ayat,
Al-Dzahabi menjelaskan bahwa kitab Tafsir Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an adalah perpaduan Madzhab Syi’ah dan Mu’tazilah.  Kecenderungan at Thobarsi sebagai mufassir yang mengikuti madzhab syi’iy dapat ditemui dalam Tafsir Majma’ al-Bayan ini, diantaranya
Rohmaan berarti mempunyai rahmat, sedangkan  .Rohiim berarti Dzat yang Merahmati. Diulang-ulangnya dua lafadz yang berasal dari satu sumber adalah untuk menguatkan.

1.    Prinsip Imamah 

Dalam menafsirkan ayat ke-55 surat al-Maidah


Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).

Ayat ini dijadikan dalil atas keharusan/penetapan Sayyidina Ali sebagai kholifah setelah nabi wafat tanpa adanya penhalang. Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut al-Thabarsi , adalah ‘yang lebih berhak’ atau ‘yang lebih utama,’ yaitu Ali. Juga, yang dimaksud wa al-ladzina amanu adalah Ali KW. Maka, ayat ini ditujukan kepada Ali kw. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits bahwa, yang menceritakan Sayyidina Ali memberikan cincin saat sholat sebagai tafsiran.

Namun dalam kitab Minhajji Sunnah juz 4 halaman 3-9 Sebagaimana dkutip Adz-Dzahabi bahwa Ibnu Taimiyyah menentangnya dengan argumen bahwa hadits itu mudhu.

2.    Ma’shumnya Imam-imam
Dalam menafsiri ayat ke-33 surat al-ahzab



Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.


Imam-imam yang ada dalam syi’ah semuanya adalah ma’shum atau bersih dari dosa seperti para nabi. Argumennya didasarkan pada lafadz innamaa yang menetapkan isi kandungan dari kalimat setelah innamaa. Maka dalam ayat tersebut yang dikehendaki suci oleh Allah dari segala kotoran dosa adalah ahlu bait. Ketetapan sucinya ahli bait dimaknai sebagai ma’shumnya semua imam dari segala keburukan/perilaku dosa, sedangkan yang bukan ahli bait tidak ma’shum atau tidak terjaga dari perbuatan dosa. 

3.    Dalam masalah fikih, kentara sekali bahwa at-Thobarsi dalam  menafsirkan ayat-ayat fikhiyyah condong pada madzhab syi’i, sebagai contoh  nikah mut’ah. dalam imamiah 12 diperbolehkan nikah mut’ah, mereka tidak mengenal penghapusan diperbolehkannya nikah mut’ah. maka at thobarsi dalam menafsiri ayat ke-24 surat an- nisaa’


Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana

Dari hasan dan mujahid dan ibnu zahid diperoleh makna bahwa, dan maka apa yang telah kamu ambil kenikmatan dari wanita-wanita dengan menikahinya maka berikanlah mahar mereka. Dikatakan bahwa yang dimaksud adalah nikah mut’ah yaitu nikah dengan menggunakan mahar tertentu sampai batas waktu. 

4.    Dalam akidah, at- Thobarsi selaras dengan akidah nya orang mu’tazilah hal ini dapat kita lihat dalam tafsir ra’yinya yang berhubungan dengan melihat Allah di surga. Berkenaan surat al- Qiyamah ayat 22-23


 Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat.

At-Thobarsi berpendapat sebagaimana orang mu’tazilah bahwa manusia tidak akan bisa melihat Allah besok di akhirat atau di surga. 

Meskipun demikian at thobarsi termasuk orang yang tengah-tengah dalam bersikap sebagai orang syi’ah dan tidak ekstrim seperti yang lain. Hal ini dibuktikan Dia tidak mengkafirkan sahabat atau tidak mengakui keadalahan sahabat. 

Kembali merujuk pada makalah H. Mawardi Abdullah, Lc., M.Ag., adasatu kelebihan dari metode tafsir yang digunakan al-Thabarsi. Dengan menggunakan metode takwil, al-Thabarsi  mempunyai perhatian lebih kepada makna batin al-Qur’an. Walaupun harus diperhatikan, bahwa banyak takwil mereka yang cenderung arogan. Hal ini berbeda dengan metode tafsir yang berkembang di dunia Sunni, yang cenderung literal dan skriptualis. Sehingga penafsiran al-Qur’an di dunia Sunni kurang memperhatikan aspek batin al-Qur’an yang merupakan pesan al-Qur’an yang sebenarnya. walaupun harus diperhatikan, bahwa banyak takwil mereka (syi'ah) yang cenderung arogan dan tidak mengindahkan aturan-aturan takwil dalam khazanah ‘Ulum al-Qur’an. Takwil yang mereka pakai hanya didasarkan pada kepentingan  mereka mencari justifikasi untuk mendukung pandangan madzhabnya. Akibatnya, makna al-Qur’an sering mereka selewengkan demi kepentingan madzhabnya. Sehingga, alih-alih mereka mencari makna batin al-Qur’an, malah makna al-Qur’an mereka selewengkan begitu jauh. 

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ali al-Fadll bin al-Hasan ai-Thabarsi, Majma' al-bayan fi Tafsir al-Qur'an, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997, juz. 1.
_________________________________________t.tp: Dar al-Ma'rifah, tt., juz. 1.
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kaero: Daar al-Hadits, Juz II.
 Mawardi Abdullah Makalah: Majma’ al-Bayan li Ulum al-Qura’an dalam http://muhyi414.blogspot.com/2012/10/majma-al-bayan-li-ulum-al-quraan.html

Kamis, 13 Maret 2014

3 NUZULUL QUR’AN DAN LAILATUL QADR

MEMETIK HIKMAH DARI

NUZULUL QUR’AN DAN LAILATUL QADR

(Studi Tafsir Surah Al-Qadr Ayat  1-5)

A.    Pendahuluan

Mungkin pemahaman kita tentang nuzulul qur’an dan lailatul qadr, masih saling tumpang tindih. Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an bahwasannya Al-Qur’an diturunkan pada malam lailatul qadr (QS. Al-Qadr:1). Akan tetapi mengapa peringatan nuzulul Qur’an dilaksanakan pada malam 17 Ramadhan sedangkan malam lailatul qadr dicari di hari-hari ganjil di sepuluh hari terakhir  Romadlon yakni malam 21, 23, 25, 27 dan 29. Bagaimana terjadi demikian dan bagaimana selayaknya orang yang beriman memanfaatkan momentum ini sebagai upaya membumikan al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat.
Berangkat dari latar belakang ini penulis mencoba mengurai makalah ini dengan judul Memetik Hikmah dari Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadr: Studi Tafsir Surah Al-Qadr.

B.    Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas kiranya dapat penulis rumuskan pembahasan sebagai berikut :
  1. Bagaimana hakikat Nuzulul Qur’an dalam Al-Qur’an Surah Al-Qadr 1-5 ?
  2. Bagaimana hakikat Lailatul Qadr dalam Al-Qur’an Surah Al-Qadr 1-5?
  3. Apa hubungan Lailatul Qadr dengan Nuzulul Qur’an ?
  4. Bagaimana memanfaatkan moment Nuzulul Quran dan Lailatul Qadr ?

C. Pembahasan

1.    Nuzulul Qur’an

a.    Arti Nuzulul Qur’an

Nuzulul Qur’an terdiri dari dua kata yaitu, nuzul dan al-qur’an. Nuzul adalah bentuk masdar dari fiil madli nazala yang artinya turun atau berpindah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, baik secara material maupun immaterial.  Sedangkan Al-Qur’an adalah firman Allah yang berbahasa arab,  diturunkan secara berangsur-angsur, melalui (peranrantaraan) Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, disampaikan kepada kita secara mutawatir, dihafal dan ditulis manusia sejak masa kehidupan Nabi Muhammad SAW, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, yang merupakan mukjizat dan membacanya adalah suatu ibadah yang berpahala . Sehingga yang dimaksud dengan Nuzulul Qur’an disini adalah proses turunnya atau perpindahan al-Qur’an dari tempat yang tinggi baik dari lauhul mahfudh  ke baitul izzah yang berada di langit dunia, ataupun fase yang ke dua yakni secara berangsur-angsur dari langit dunia kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.

b.    Tahapan Nuzulul Qur’an

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan:
قال ابن عباس وغيره: أنزل الله القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى بيت العِزّة من السماء الدنيا، ثم نزل مفصلا بحسب الوقائع في ثلاث وعشرين سنة على رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Sebagaimana disinggung dalam definisi bahwasannya al-Qur’an diturunkan Allah SWT melalui dua tahap. Yang pertama secara global dari al Lauh al Mahfudh ke Bait al Izzah  yang berada di langit dunia, dimana Malaikat Jibril mendekte pada para  malaikat yang ada di langit dunia untuk kemudian mereka menulisnya di lampiran-lampiran yang  kemudian di simpan di suatu tempat diantara langit dunia itu yang disebut Bait al Izaa. 

Yang ke dua, diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur selama kurun waktu 23 tahun  sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi Nabi Muhammad SAW. Sehingga ada istilah asbabun nuzul, atau sebab-sebab turunnya al-Qur’an.

2.    Lailatul Qadr

a.    Arti Lailatul Qadr

Lailatul Qadr terdiri dari dua suku kata, yaitu al Lail dan al-Qadr. Secara bahasa makna kata lail adalah malam. Dan al-qadr sebagaimana memiliki beberapa arti. 

  • Penetapan, artinya malam penetapan Allah atas perjalanan hidup makhluq selama setahun. Penetapan itu – misalnya- meliputi rizki, umur dan lain-lain.
  • Pengaturan, yakni pada malam itu Allah mengatur setrategi Nabi Muhammad guna mengajak manusia pada agama yang benar.
  • Kemuliaan. Dalam arti ke tiga ini setidaknya ada tiga pendapat: yang pertama, malam ini mulia dan tiada bandingannya karena terpilih sebagai malam turunnya al-Qur’an. Yang ke dua, malam ini mulia dikaitkan dengan ibadah, yakni ibadah pada malam tersebut mempunyai nilai tambah berupa kemuliaan dan ganjaran  tersendiri, berbeda dengan malam malam lainnya. Dan yang ke tiga Bahwa orang-orang yang semula tidak memiliki kedudukan tinggi, akan medapat kemuliaan, apabila pada malam tersebut mereka dengan khusyu’ dan tunduk kepada Allah menyadari dosa-dosanya  serta bertekad untuk meninggalkannya dan tidak mengulanginya lagi.
Beberapa arti di atas tidaklah saling bertentangan yang pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa lailatul qadr adalah malam yang mulia lagi hebat, sebagaimana diisyaratkan dalam surah al-Qadr pada ayat kedua dengan menyebutkan    yang biasanya digunakan untuk kehebatan dan keagungan sesuatu . Kemudian dijelaskan pada  ayat ketiga bahwasannya malam itu lebih utama dari seribu bulan.

Kemuliaan lailatul qadr yang lebih baik dari seribu bulan berarti bahwa, nilai pahala ibadah pada malam lailatul Qadr melebihi pahalanya dibandingkan dengan beribadah pada seribu bulan yang lain. Sehingga perlu diperhatikan bahwa kelebihan itu adalah nilai pahala bukan kewajiban ibadah. Dan amat keliru mereka yang hanya ingin beribadah dan melaksanakan kewajiban agama pada lailatul qadr atau malam-malam Ramadhan dan tidak lagi melaksanakan kewajiban pada hari hari lainnya dengan dalih bahwa pelaksanaannya ketika itu sudah seimbang dengan pelaksanaan tuntutan agama seribu bulan lainnya. 

3.    Hubungan Lailatul Qadr dengan Nuzulul Qur’an

Firman Allah SWT pada ayat pertama surat al-Qadr menunjukkan bahwasannya Al-Qur’anul Karim diturunkan pada malam lailatul Qadr. Jika muncul pertanyaan mengapa Dlomir hu() pa pada  lafadh   dirujukkan pada al-Qur’an sedangkan lafadh al-Qur’an tidak disebutkan sebelumnya, maka hal ini karena kebesaran al-Qur’an dan kemasyhuran perkaranya, sehingga tidak butuh akan penjelasan. Hal ini didukung akan lafadh anzalnaa dalam ayat ini berma’na auhainaa (telah kami wahyukan)  maka tiada yang lain pembahasannya kecuali al-Qur’an. Karena salah satu  bentuk pengagungan yang dikenal dalam bahasa adalah tidak menyebutkan nama yang diagungkan selama ada qarinah (indikator atau tanda-tanda) yang dapat mengantar pendengar atau pembacanya kepada yang diagungkan itu. 

Dari sini dapat disimpulkan bahwasannya hubungan antara nuzulul Qur’an dan lailatul qadr bahwa, malam lailatul qadr adalah waktu dimana al-Qur’an diturunkan secara global dari al Lauh al Mahfudh ke Bait al Izzah di langit dunia atau diuturunkannya pertama kali di kepada Nabi Muhammad di Gua Hiro’. Sebagaimana dinukil M. Qurais Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, bahwasannya Thohir  Ibn Asyur  menyatakan bahwa lima ayat yang pertama  dari surat al-‘Alaq 1-5 turun pada tanggal 17 Ramadlan .
Kecenderungan Ulama yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 17 Ramadhan adalah atas dasar firman Allah SWT yang artinya:


"….jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa, yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Anfal: 41).

Mereka (sebagian ahli tafsir) memahami hari al-Furqaan Ialah adalah hari turunnya al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud hari bertemunya dua pasukan adalah  hari perang Badar. Di sisi lain mereka berpendapat bahwa perang badar terjadi pada hari Jum'at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. Sehingga setiap tanggal 17 Ramadhan kita peringati malam nuzulul Qur’an. Kendati demikian persamaan itu hanya ada pada tanggal bukan pada tahun terjadinya peperangan tersebut karena secara pasti wahyu-wahyu al-Qur’an sudah sangat banyak yang turun sebelum hijrah Nabi SAW  ke Madinah.

Kemuliaan lailatul qadr tidak hanya terjadi sekali saat turunnya al-Qur’an dari lauhul mahfudh atau yang pertama kali  turun kepada Nabi. Akan tetapi setiap tahun pada bulan suci Ramadhan adalah mengandung lailatul qadr. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW.

 عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم التمسوها فى اعشر الأواخر _يعنى ليلة القدر_ فإن ضعف
أحدكم أوعجز فلا يغلبن على السبع البواقى

Dari Ibnu Umar RA. Berkata, Rosulullah SAW. Bersabda: carilah malam lailatul qadr itu pada sepuluh malam terakhir , kalau kamu tidak mampu, jangan tertinggal tujuh malam terakhirnya.  

Kemudian, Rosulullah juga pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan lebih giat dalam qiyamul lail serta membangunkan keluarganya untuk ikut beribadah.

عن عا ئشة رضي الله عنها قالت : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر أحيا الليل وأيقظ أهله وجدّ وشدّ المئزر

Dari sayyidah ‘Aisyah RA. Berkata:apabila telah memasuki sepulh akhir bulan Ramadhan, Rasululla SAW menghidupkan malam (beribadah) dan membangunkan istrinya untuk beribadah, serta giat beribadah da menjauhi istrinya.

4.    Memetik Hikmah dari Moment Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadr

Dalam upaya membumikan al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat, dalm hal ini khususnya ummat Isalam, mengacu dua moment besar Nuzulul Qur’an dan Lailatu Qadr, kiranya kita dapat mengambil pelajaran sebagai berikut.

Yang pertama, surat al-‘Alaq 1-5 sebagai wahyu yang  pertama diterima Nabi SAW bagiakan menyatakan, ‘bacalah wahyu wahyu Ilahi yang sebentar lagi banyak engkau (Muhammad) terima dan baca juga alam masyarkatmu. Bacalah agar engkau membekali dirimu dengan kekuatan pengetahuan. Bacalah semuanya itu tetapi dengan syarat hal tersebut engkau lakukan dengan atau demi nama Tuhan yang selalu memlihara dan membimbingmu yang mencipta semua makhluq kapan dan dimanapun’.  

Oleh karena di dalam ayat tersebut kata iqro’(bacalah) tiada menyebutkan obyeknya maka perintah baca ini mencakup segala hal yang dapat dijangkau, baik merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan ataupun bukan, baik yang menyangkut ayat-ayat tertulis maupun yang tidak tertulis. Sehingga perintah iqro’ mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, baik yang tertulis maupun tidak.  

Yang ke dua, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, Syaikh Abdul Halim Mahmud (Mantan pemimpin tertinggi al-Azhar) menulis dalam bukunya, al-Qur’an fi Syahr al-Qur’an, bahwa dengan kalimat iqro’ bismi robbika, al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca. Tapi membaca adalah lambang dari segala apa yang dilakukan manusia, baik yang sifatnya aktif ataupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan ‘bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhamu, bekerjalah demi Tuhanmu’. Demikian juga apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktivitas, hendaklah hal tersebut didasarkan pada bismi robbika, sehingga pada akhirnya  ayat tersebut berarti, jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah.  

Yang ke tiga, Lailatul Qadr  sangat istimewa dan hebat. Di malam itu al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup kita diturunkan, dan ketika malam lailatul qadr para malaikat turun untuk memberikan do’a kepada setiap hamba yang beribadah berdzikir kepada Allah SWT. Sehingga orang yang mendapatkan lalilatul Qadr  akan semakin kuat dorongan dalam jiwanya untuk melakukan kebajikan kebajikan pada sisa hidupnya sehingga ia merasakan kedamaian abadi.  Kemudian kehebatan dan kemuliaan lailatul qadr hendaknya menjadi perhatian bagi kita untuk senantiasa menjalani kehiduan ini dengan penuh semangat mengabdi kepada Allah SWT. karena Allah menyimpan banyak rahasia yang mana apabila kita menemukannya maka kita akan mendapatkan kemuliaan itu

Dan yang ke empat, Di samping lailatul qadr, dalam Tafsir As-Showi djelaskan bahwa Allah SWT merahasiakan banyak hal agar kita tetap berhati-hati dan bersungguh dalam menjalani hidup ini. Diantaranya, Allah merahasiakan waktu terkabulnya do’a di hari jum’at aga kita berdoa di setiap waktu di hari itu karena kemulian hari jum’at tersendiri sebagai hari yang utama diantara hari-hari yang lain dalam seminggu. Allah menyimpan keridhoa’annya di setiap ketaatan hamba kepada-Nya agar semua perintah ditaatinya. Allah menyimpan kemurkaan-Nya di setiap kemaksiatan terhadap-Nya agar manusia menjaga diri dan menjuhi kemaksiatan tersebut. Allah merahasiakan wali diantara setiap mukmin agar kita senantiasa berbaik sangka kepada setiap mukmin. Dan Allah merahasiakan kedatangan kiamat disetiap waktu agar kita tetap takut dan senantiasa bersiap-siap akan kedatangannya dengan berbagai macam ketaatan. 

D.    Penutup

1.    Simpulan

Lailatul qadr merupakan malam yang agung lagi hebat yaitu malam yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan secara global dari lauhul mahfudh ke langit dunia dan pertama turun ke bumi. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa waktu pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu adalah pada malam 17 Ramadhan berdasarkan ayat perang badar Surat al-Anfal ayat 41, yang dita’wil adanya kesamaan tanggal turunnya al-Qur’an yang pertama kali yaitu 17 Ramadhan sehingga sampai saat ini kita memperingati nuzulul qur’an setiap tanggal 17 Ramadhan.

Sehubungan dengan wahyu yang pertama diterima Nabi adalah surat  al-Alaq 1-5, maka semangat iqro’ pelu kita bangkitkan dengan senantiasa membaca ayat-ayat Allah yang sifatnya kalamiyyah ataupun kauniyyah sebagai bekal menjalani hidup untuk mengabdi kepada Allah dalam segala bidang dan pekerjaan kita agar senantiasa mendapatkan ridloNya.

Kemudian rahasia Lailatul Qadr yang disimpan Allah setiap tahunnya di malam-malam Ramdhan memberikan pesan agar kita berhati-hati dan bersungguh-sungguh dalam menyikapi perintah dan larangan Allah mengingat rahasia-rahasia kemuliaan-kemuliaan yang diselipkan Allah dalam setiap penciptaa_Nya. Dan amat keliru mereka yang hanya ingin beribadah dan melaksanakan kewajiban agama pada lailatul qadr atau malam-malam Ramadhan dan tidak lagi melaksanakan kewajiban pada hari hari lainnya dengan dalih bahwa pelaksanaannya ketika itu sudah seimbang dengan pelaksanaan tuntutan agama seribu bulan lainnya.

2.    Penutup

Demikianlah uraian tentang Memetik Hikmah dari Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadr.  Apabila ditemui manfaat, niscaya semua itu datang dari Allah., dan apabila ditemukan banyak kekurangan dan kekhilafan itu adalah dari penulis yang banyak salah dan lupa. Mohon kritik kontruktif dari pembaca yang budiman untuk menjadikan penulis lebih baik ke depan dan mohon maaf adanya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA


M. Quraish Shihab,  Tafsir Al Msbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an, cet. Ke IV, Bandung : Tafakur, 2011.
Lauhul Mahfudh adalah catatan yang terpelihara dengan baik yang berisi catatan mengenai segala sesuat yang eksis dan yang ditulis sejak zaman azali. (Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, tkt.: Sinar Grafika Offset, 2005.
Abu Fidak Ismail bin Amr al-Bashriy, Tafsir Ibnu Katsir, dalam Al-Maktabah As-Syamillah, jz. 8.
Menurut bahasa, Bait al Izzah artinya rumah yang mulia. Sedangkan yang dimaksud yaitu di langit dunia, tempat diturunkannya Al-Qur’an secara global (utuh) dari hadirat Allah, kemudian dari baitil izzah diturunkan kepada Rasulullah  SAW. Secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. (Ahsin W. Al-Hafidz, Op.Cit., hlm. 55).
Dalam suatu keterangan dijelaskan bahwa masa turunyya wahyu adalah 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari (M. Quraish Shihab,  Tafsir Al Msbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial:Mendialogkan Teks dan Konteks, Yogyakarta: Elsaq Press, Cet. I, 2005, hlm. 220.
Thohir  Ibn Asyur Presiden adalah Mufti Madhzhab Maliki Tunisia dan Guru Besar Universitas Zaitun di Tunisia. Hidup pada 1879-1973 M/ 1296-1393 H. (Al-Maktabah as Syamilah Versi 2.)
Zaki al-Din ‘Abd al-‘Azhim Al-Mundzir, Ringkasan Shahih Muslim, terj. Shingithy Djamaluddin dan HM. Muchtar Zoerni, Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2008.

0 MASYARAKAT MADANI

 

A.    PENDAHULUAN

1.    Latar belakang

Di Malaysia, yang diikuti Indonesia, istilah masyarakat madani adalah terjemahan dari civil society yang merujuk pada suatu konsep yang bermula dari orator Yunani kuno, Cicero (106-43 SM). Dalam gambaran Yunani itu yang disebutnya dengan civil societas, adalah suatu komunitas politik yang beradab, termasuk masyarakat kota yang memiliki kode hukum tersendiri. Sedangkan dalam persepektif Islam lebih mengacu pada penciptaan peradaban . Kemudian peradaban yang bagaimanakah yang dimaksud dalam pengertian masyarakat madani dalam persepektif  Islam ? Dalam makalah ini penulis juga akan sedikit banyak membahas ayat al-Qur’an yang menjelaskan atau mendukung konsep masyarakat madani.

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka yang ingin penulis bahas adalah sebagaimana rumusan berikut:
1.    Mengapa muncul konsep masyarakat madani ?
2.    Bagaimana Pengertian Masyarakat Madani ?
3.    Bagaimana al-Qur’an membahas Masyarakat Madani ?
4.    Bagaimana strategi menuju masyarakat Madani ?

B.    PEMBAHASAN

1.    Sejarah Konsep Masyarakat Madani di Indonesia

Terlahirnya istilah masyarakat madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim yang ketika itu menjabat sebagai menteri keuangan dan asisten Perdana Menteri  Malaysia, ke Indonesia membawa istilah Masyarakat Madani  sebagai terjemahan dari  civil society, dalam ceramahnya pada symposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara Festifal Istiqlal, 26 September 1995. Kemudian konsep ini mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia  termasuk seorang Nurcholis Madjid yang telah melakukan rekontruksi  terhadap ‘masyarakat madani’  dalam sejarah Islam pada artikelnya, “Menuju Masyarakat Madani” dan juga didukung oleh banyak pakar yang lain.

Latar belakang Anwar Ibrahim memiliki gagasan tentang masyarakat madani adalah fenomena pada keterbelakangan dan kelemahan ummat Islam rantau.
Kesimpulan dari Anwar Ibrahim tentang prinsip dan ide masyarakat madani yaitu: prinsip moral, keadilan, keseksamaan, musyawaroh dan demokrasi. Dimana agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Dengan demikian, maka civil society  diterjemahkan sebagai masyarakat madani  yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan.

2.    Definisi Masyarakat Madani

Secara bahasa masyarakat  madani terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan  madani. Kata ‘masyarakat’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.  Sedangkan kata ‘madani’ berarti beradab . Sehingga dapat disimpulkan secara bahasa, masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab.

Menurut Nur Cholis Madjid sebagaimana dikutip Suyanto dalam bukunya Masyarakat Tamadun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis Madjid, yang dimaksud dengan masyarkat madani adalah masyarakat berperadaban sebagaimana dibangun Rosulullah di Madinah, yakni masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis dengan landasan taqwa kepada Allah SWT. 

Sekilas perwujudan masyarakat madani dapat dilihat dalam masyarakat Madinah, yaitu diawali ketika Rasululah  hijarah dari Makkah menuju Yastrib. Di sini Rasulullah mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat setempat, sehingga memudahkan Nabi untuk berdakwah dan siap menciptakan sendi-sendi masyarakat madani. Dimulai dengan menyatukan sahabat muhajirin dan anshor dan kemudian Yasrib diubah menjadi sebuah kota setelah dilakukan perjanjian antara Muhammad dan penduduknya yang terdiri dari berbagai golongan. Yaitu Piagam Madinah   atau konstitusi madinah  yang di dalamnya terdapat pasal pasal yang menjadi hokum dasar  sebuah negar, yakni negar kota yang kemudian disebut  Madinah al Madinah al-Munawwaroh atau al Madinah an Nabi (kota nan bercahaya atau kota nabi). 

Inti konstitusi madinah yang sekaligus juga merupakan kontrak social dan perjanjian kemasyarakatan itu menegaskan:
  • Pertama, pengakuan bahwa mereka merupakan satu kesatuan social yang disebut ummah (umat).
  • Ke dua, mereka tunduk atau berorien tasi pada nilai-nilai luhur  yang disebut al-khair atau kebajikan. Nilai-nilai itu adalah persatuan, keadilan, perdamaian, kesamaan dan kebebasan.
  • Ketiga, mekanisme itu menegakkan yang baik, meliputi; perlindungan terhadap negara, terhadap harta dan  jiwa, kebebasan beragama, keamanan, kepastian hokum dan musyawarah. Dan mencegah yang buruk, meliputi, kekacauan, kezaliman, pengrusakan, pertikaian dan agresi dari luar.
  • Pengakuan terhadap otoritas Muhammad tersebut tidak hanya dari kaum muslimin, tetapi juga dari orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang non muslim lainnya.

3.    Masyarakat Madani dalam Al-Qur’an

Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani sebagai baldataun thoyyibatun wa robbun ghofur  atau negeri yang yang baik dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:

"Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.(Q.S. Saba’ ayat 15)

Perujukan terhadap masyarakat madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. 

Masyarakat madani adalah masyarakat yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan umum, yang disebut al-khair. Terwujudnya al-khair tersebut terbentuk dengan persekutuan-persekutuan, perkumpulan, perhimpunan atau asosiasi yang memiliki visi dan pedoman perilaku . Dalam Al- qur’an Allah berfirman:



"Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah (ugama Islam), dan janganlah kamu bercerai-berai dan kenanglah nikmat Allah kepada kamu ketika kamu bermusuh-musuhan (semasa jahiliyah dahulu), lalu Allah menyatukan diantara hati kamu (sehingga kamu bersatu- padu dengan nikmat Islam), maka menjadilah kamu dengan nikmat Allah itu orang-orang Islam yang bersaudara. Dan kamu dahulu telah berada di tepi jurang neraka (disebabkan kekufuran kamu semasa jahiliyah), lalu Allah selamatkan kamu dari neraka itu (disebabkan nikmat Islam juga). Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat keteranganNya, supaya kamu mendapat pertunjuk hidayahNya". (Q.S. Ali Imran: 103).

Dasar utama masyarakat madani adalah persatuan atau integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan  dan hidup dalam suatu persaudaraan .
Atas dasar kesepakatan itu manusia diperintahkan untuk membentuk perhimpunan-perhimpunan yang mempunyai cita-cita menciptakan kebajikan umum (al-khair), sebagaimana dilukiskan dalam ayat selanjutnya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung
(QS. Ali Imran:104)

Cita-cita kebaikan dan cara-cara yang ma’ruf dan sikap menghindari yang munkar itu peru ditegakkan dengan suatu perhimpunan yang disebut al-ummah. Yang dimaksud yang ma’ruf dalam ayat ini, para mufassir mengartikan sebagai hal yang baik menurut syara’/agama dan akal, dan yang yang mungkar adalah kebalikannya, yakni setiap sesuatu yang dianggap jelek menurut akal dan agama adalah mungkar . Dalam ayat ke 110 surat yang sama dikatakan bahwa umat yang memiliki ciri –ciri itu adalah ummat yang unggul (khaira ummah). 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran:110)

Umat yang paling baik di dunia adalah umat yang mempunyai dua macam sifat, yaitu mengajak kebaikan serta mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum muslimin di masa Nabi dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat mereka telah dapat menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam, hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji keadilan, padahal mereka sebelumnya adalah umat yang berpecah belah selalu berada dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama mereka. Ini adalah berkat keteguhan iman. dan kepatuhan mereka menjalankan ajaran agama dan berkat ketabahan dan keuletan mereka menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran . Jika ayat ini dikaitkan dengan ayat sebelumnya (Qs.Ali Imran:102-104), dapat difahami bahwa yang menjadi umat terpilih itu adalah yang memenuhi kriteria (1) iman, (2) taqwa, (3) membela Islam, (4) berpegang teguh pada tali Allah, (5) berjamaah, (6) menjaga kesatuan ukhuwah, (7) mensyukuri ni’mat, (8) menjauhi permusuhan, (9) berda’wah, (10) amar ma’ruf, (11) nahy munkar . Ummat dengan kualifikasi seperti itu adalah definisi al-Qur’an tentang civil society dalam pengertian Cicero. 

Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.

4.    Mewujudkan masyarakat Madani

Untuk mewujudkan masyarakat madani, menurut M. Dawam Raharjo dalam bukunya Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, ada beberapa setrategi yang perlu diterapkan:

  • Mendasarkan pada asumsi bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung atas dasar masayarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan dari demokrasi.
  • Berpandangan bahwa kita tidak usah menunggu rampungnya_jika memang bisa rampung_tahap pembangunan ekonomi untuk proses berdemokrasi yang esensinya adalah partisipasi politik dengan bergandengan dengan transparasi politik.
  • Mengutamakan pendidikan politik dan penyadaran, terutama terhadap golongan menengah yang makin meluas.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen  usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran. Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun al-Qur’an tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan Rasulullah mendirikan dan menumbuh kembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.

Selaku nabi dan rasul, Nabi memimpin masyarakat berdasarkan pedoman yang turun dari Allah. Dengan perjanjian kemasyarakatan dalam piagam madinah yang merupakan kontrak sosial itu ditegaskan:

  1. Mereka adalah satu kesatuan sosial yang disebut al-ummah (umat)
  2. Mereka tunduk atau berorientasi pada nilai-nilai luhur yang disebut al-khair atau kebajikan. Yang meliputi: persatuan, keadilan, perdamaian, kesamaan dan kebebasan.
  3. Mekanisme itu untuk menegakkan yang baik dan (al-ma’ruf) dan mencegah yang buruk (al-mungkar). Adapun kebaikan yang harus ditegakkan itu adalah perlindungan terhadap negara, terhadap harta dan jiwa, kebebasan beragama, keamanan, kepastian hukum dan musyawarah.  

C.    PENUTUP

1.    Kesimpulan

  • Terlahirnya istilah masyarakat madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim yang ketika itu menjabat sebagai menteri keuangan dan asisten Perdana Menteri  Malaysia, ke Indonesia membawa istilah Masyarakat Madani  sebagai terjemahan dari  civil society, yang dilatar belakangI fenomena pada keterbelakangan dan kelemahan ummat Islam rantau.
  • Secara bahasa masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab.
  • Menurut Nur Cholis Madjid sebagaimana dikutip Suyanto dalam bukunya Masyarakat Tamadun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis Madjid, yang dimaksud dengan masyarkat madani adalah masyarakat berperadaban sebagaimana dibangun Rosulullah di Madinah, yakni masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis dengan landasan taqwa kepada Allah SWT.
  • Di dalam alqur’an memang tidak ada ayat yang secara langsung berbicara tentang masyarakat madani. akan tetapi dalam beberapa ayat ada yang mengarah pada konsep tersebut diantaranya:  Q.S. Saba’ ayat 15: Q.S. Ali Imran: 103QS. Ali Imran:104

2.    Kata Penutup

Demikianlah makalah kami yang sedikit berbicara tentang konsep masyarakat madani dan bagaimana al-Qur’an yang sebenarnya telah mengajarkan sebelum konsep itu lahir. Segala kekurangan mohon maaf, dan kritik konstruktif kami harap untuk ked depan yang lebih baik. Semoga bermanfaat. Aamin.



DAFTAR PUSTAKA


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet II, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
Raharjo M. Dawam, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosisal, Jakarta : LP3ES, 1999.
Sufyanto, Masyarkat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis Madjid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Wahbah Zuhailiy, Tafsir Al-Munir fil ‘Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, jz. 3 Beirut: Darul Fikr, tt.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, ed. 3, Jakarta: Balai Pustaka,
http://diajengsurendeng.blogspot.com/2011/08/baldatun-thoyyibatun-wa-robbun-ghofur.html#sthash.ppH7l4OJ.dpuf.
http://indo-moeslim.blogspot.com/2010/08/kesuksesan-dakwah-nabi-muhammad-saw-di.html.
Saifuddin, Umat Terpilih (kajian tafsir ali Imran:110), dalam http://saifuddinasm.com/2013/05/01/ali-imran110-umat-terpilih/.
Selamet Raharjo Tafsir Depag: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 110, dalam http://tafsir-ali-imran.blogspot.com/2013/05/tafsir-surah-ali-imran-110.html.


0 Resensi Buku: MENGUAK PESAN MORAL RUMAH ADAT KUDUS



RESENSI BUKU

Oleh               : Ahmad Rosikhun
Judul Buku   : TRADISI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA ; TAFSIR SOSIAL RUMAH ADAT KUDUS
Penulis          : Nur Said
Editor             : Muhammad Rais
Penerbit         : Brilian Media Utama
Tahun             : Januari 2012
Tebal               : xii + 144 halaman


 MENGUAK PESAN MORAL RUMAH ADAT KUDUS


Rumah adalah tempat anggota keluarga berkumpul dan hidup bersama, menjalani hari-hari dengan berbagai aktifitas yang ada. Sehingga, rumah_ khususnya Rumah Adat Kudus bukanlah sekedar setruktur bangunan fisik semata. Tetapi lebih dari itu rumah adalah sebuah satuan simbolis sosial pada praktik. Lingkungan keluarga yang berhuni di dalam rumah idealnya harus mampu memberikan pendidikan kepada anggota keluarganya tentang tata cara hidup yang benar yang diridlohi Allah SWT. dan menyelamatkan semua anggota dari perilaku yang menjerumuskan kepada siksa api neraka.

Rumah Adat Kudus sebuah warisan budaya material tidak sekedar menjadi benda mati tetapi sarat akan nilai –nilai sosial, budaya, dan juga sepiritual manakala mampu menangkap pesan moral dibalik material. Dengan menggali pertarungan tanda budaya dalam artefak Rumah Adat Kudus bisa jadi akan menemukan kearifan lokal pendidikan karakter dalam keluarga yang lebih natural dan otentik. Oleh karena keluaga merupakan lembaga pendidikan non formal terpenting dalam membentuk insan yang sholih sesuai harapan. Sehingga dari keluargalah kemajuan suatu bangsa akan ditentukan. Manakala ingin membangun karakter dan budaya bangsa yang kuat maka kuatkanlah visi berhuni dalam setiap keluarga.

Buku yang awal mulanya adalah sebuah hasil penelitian ini mencoba menyadarkan pembaca akan arti sebuah rumah yang kita huni. Bahwa rumah bukanlah sekedar tempat berteduh dan berlindung, rumah juga sarat akan makna yang tersirat akan pendidikan terhadap anggota keluarga yang disimbolkan dalam bentuk-bentuk bangunan di dalam rumah. Pendidikan di sini dimaksudkan agar anggota keluarga senantiasa berbudi luhur, berpengetahuan, mempunyai keyakinan dan kekuatan akidah yang benar terhadap Allah SWT dengan segala aturan syari’at yang dijalankan secara kontinu menuju pengabdian yang murni kepada Allah SWT.
Ketika membincang pendidikan dalam keluarga, kita dapat merujuk Firman Allah SWT.
yang artinya;


Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. At-Tahrim: 06)

Kita tidak hanya diperintahkan untuk menyelamatkan diri sendiri dari bahaya api neraka dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan_Nya. Namun dengan memberikan pengertian dan pengajaran, kita juga bertanggung jawab atas keselamatan keluarga dari jalan yang sesat. (Muh. Ali As-Shobuni: Shofwah at Tafaasir jz.3, hlm. 386).

Untuk kenyamanan membaca dan memberikan pemahaman tentang pesan moral yang ada dalam Rumah Adat Kudus, buku ini oleh penulis dibagi dalam lima bab. Pada bab pertama, penulis mengajak pembaca untuk memahami arti berhuni di dalam rumah sebagai pengantar penulis agar pembaca tertarik untuk membaca lebih lanjut karna ada gambaran akan apa yang akan dibahas berikutnya. Disamping itu juga penulis menyebutkan fokus kajian atas hasil penelitiannya.

Pada bab ke dua penulis mencoba memaparkan rumah adat kudus dilihat dari perspektif sejarah yang dimulai dari sejarah kudus kuno secara umum yang tak lepas dari sosok wali yang dikenal dengan Kanjeng Sunan Kudus. Di sini pembaca akan tahu tentang asal-usul nama  Kudus dan arti Menara Kudus sebagai peninggalan Sunan Kudus yang sangat monumental bahkan menjadi keajaiban seni dan arsitektur Islam di Jawa. Kemudian dilanjutkan dengan predikat kota santri, kota saudagar dan kota kretek yang disandang kota Kudus dengan semboyan masyarakatnya ”Gusjigang” yaitu harus bagus, pinter ngaji dan trampil berdagang. Tak lupa di sana dikupas aspek pergeseran sosial yang terjadi di kota Kudus seiring bergesernya sang waktu dan berkembangnya zaman.

Masuk pada bab ke 3, Penulis lebih khusus mengajak pembaca untuk lebih mendalami Rumah Adat Kudus dari sudut historisnya. Sosok Ulama keturunan China bernama The Ling Shing yang dengan seni ukirnya telah mewarnai corak Rumah Adat kudus yang sarat akan makna religi, etis dan estetis. Tidak hanya itu, sebagai tanda budaya, Rumah Adat Kudus, oleh masyarakat Kudus Kulon_sebagai tempat muncul dan bekembangnya Rumah Adat Kudus_ juga dijelaskan penulis sebagai tempat pelestarian budaya Rumah Adat Kudus. Rumah Adat Kudus juga dilestarikan di Musium Kreteg dan Taman Budaya Mario Koco.
Nilai-nilai moral yang tercermin dalam Rumah Adat Kudus dipaparkan secara gamblang dan terperinci dalam bab empat. Mulai dari dasar rumah yang menyimpan makna dan mengingatkan penghuninya akan visi kehidupan. Lima trap di atas tanah yang menjadi simbol akan rukun  Islam yang harus dilaksanakan dan dihayati  sebagai visi hidup jangka panjang kebahagiaan dunia akhirat. Sampai pada karakter khas Rumah Adat Kudus  yang disebut dengan ”joglo pencu” yang tampak berpenampilan, tegas, perkasa dan anggun. Hal ini sebagai penanda dambaan para penghuninya agar menjadi sosok yang tegas dan mepunyai prinsip, perkasa dan tidak mudah ditundukkan oleh kelompok manapun, dan anggu dengan memperlihatkan nilai estetis  dalam berinteraksi dengan orang lain yang sebagamina dalam pepatah jawa: “Ajining sarira ana ing busana, ajining diri ana ing kedhaling lathi”.

Tidak sampai di situ, Rumah adat kudus dalam tantangan global pun membawa kearifan tersindiri dalm ritual–ritual rumah adat yang djalankan masyarakat. Ritual sering dipandang sebagai serangkaian tindakan reflektif yang ditampilkan oleh masyarakat sebagai aktualisasi kesadaran kolektif dan refleksi diri penghuninya yang terdalam melintas batas ruang dan waktu. Demikian penulis mengutip Revianto Budi Santoso dalam bukunya, Omah: Membaca Makna Rumah Jawa dalam bab terakhir.

Adapun fenomena ritual dalam Rumah Adat Kudus dapat dicermati pada upacara buka tableg (ritual sebelum membuat pondasi rumah), upacara munggah kayu (Tongcit);ritual yang dijalankan saat bagian-bagian bangunan yang mengelilingi rumah/dinding rumah_ berdiri tegak dan berbagai penyangga dan genting serta joglo siap dipasang, dan yang terakhir adalah upacara ulih-ulihan  sebagai ekspresi penghuni rumah ketika rumah sudah siap untuk dihuni.

Dalam keadaanya yang demikian rupa, buku ini kiranya bagus sekali dibaca oleh mahasiswa untuk belajar memahami  makna tersirat dalam suatu objek untuk kemudian diungkapkan dan tafsirkannya. Lebih–lebih mahasiswa Ushuluddin program studi Tafsir Hadits yang bergelut dengan ilmu hadits dan Tafsir sebagai spirit penafsiran benda ataupun keadaan yang semuanya adalah ciptaan Allah yang tak lepas akan makna dan hikmah yang dikandungnya. Akan tetapi dalam bahasan awal, kiranya pembaca yang baru semster awal agak keberata dengan bahasanya yang ‘sulit’ dicerna karena banyak sekali istilah-istilah ilmiah yang baru didapat oleh mahasiswa.