Minggu, 03 Mei 2015

0 TAFSIR SURAT AL-HUMAZAH

TAFSIR SURAT AL-HUMAZAH

A. Ayat dan Tarjamah


 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ 
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ ٱلَّذِى جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُۥ يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخْلَدَهُۥ كَلَّا ۖ لَيُنۢبَذَنَّ فِى ٱلْحُطَمَةِ وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْحُطَمَةُ نَارُ ٱللَّهِ ٱلْمُوقَدَةُ ٱلَّتِى تَطَّلِعُ عَلَى ٱلْأَفْـِٔدَةِ إِنَّهَا عَلَيْهِم مُّؤْصَدَةٌ فِى عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ 

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. 

B. Kalimah Musykilah 

 وَيْلٌ : kehinaan dan siksaan. Kata ini dipakai untuk mencela dan mencaci. Maksudnya adalah mengingatkan keburukan yang akan disebut sebagai sifat-sifat manusia 
هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ : orang-orang yang menghina kehormatan orang lain dan menampakkan keburukan-keburukan perbuatannya, disamping merasa senang dengan kerendahan mereka.
 وَعَدَّدَهُۥ : menghitung berkali-kali karena kecintaan terhadapnya
  أَخْلَدَهُۥ : menjaminnya bisa hidup “langgeng” dan “abadi” di dunia
 النبذة : disingkirkan dengan dihina dan direndahkan
 ٱلْحُطَمَةِ : mematahkan atau memecahkan
 مُّؤْصَدَةٌ : diurungkan kepada mereka
 عَمَدٍ : tiang
 مُّمَدَّدَةٍ : panjang sejak dari pintu pertama hingga pintu terakhir.

C. Asbabun Nuzul 

Para mufassir menjelaskan bahwa ayat ini berkenaan dengan (ditujukan kepada) orang tertentu. Ada yang menyatakan bahwa ayat ini ditujukan pada Akhnas bin Syuraiq yang mencela dan mengumpat orang banyak, khususnya Rasulullah SAW, ini pendapat ‘Atha’ n al-Kilabi. Selain itu, menurut Muqatil, ayat ini diturunkan untuk Walid bin Mughirah yang mengumpat Nabi SAW dari belakang dan mencela beliau dengan terus terang. Sedangkan menurut Muhammad bin Ishaq, surat ini turun untuk Umayyah bin Kholaf. Akan tetapi menurut al-Farra’ keberadaan lafadhnya yang umum tetapi tidak menutup kemungkinan yng dimaksud adalah orang terntentu. Namun menurut Muhaqqiqun ayat ini secara umum ditujukan kepada orang-orang yang melakukan hal yang demikian. Dengan argumen bahwa sebab yang khusus tidak merusak keumuman lafadh yang ada , karena redaksi yang digunakan al-Qur’an adalah umum, setiap pengumpat dan pencela. 

D. Penafsiran 

 وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ 
Murka dan siksa Allah untuk setiap individu yang gemar mengumpat orang lain, yang berarti memakan daging orang lain, disamping menyakiti mereka ketika ada ataupun tidak ada. Kemudian Allah menjelaskan sebab cacatnya orang yang mempunyai cacat seperti itu _ yakni suka menggunjingkan orang lain ketika tidak ada.
Karenanya Allah berfirman:
 ٱلَّذِى جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُۥ 
Sesungguhnya yang mendorong seseorang berbuat merendahkan dan meremehkan orang lain adalah karena kesukaannya mengumpulkan harta benda, disamping kesukaannya menghitung-hitung kekayaan berkali-kali, dan ia mendapatkan kelezatan di dalam menghitung harta yang dimilikinya itu. Ia berpendapat bahwa tidak ada kemuliaan melainkan hanya dengan harta, dan tidak ada kejayaan tanpa harta tersebut. Jika harta yang dimilikinya itu semakin bertambah, ia menduga bahwa dirinya smakin naik derajatnya. Sehingga ia meremehkan dan merendahkan orang yang mempunyai keistimewaan dan kemulyaan yang disebabkan bukan karena harta. Kemudian sedikitpun ia takkan merasa takut tertimpa musibah ataupun bencana dengan banyanknya perbuatan mengumpat, mencaci dan merobek-robek kehormatan orang lain. Hal ini karena kesombongan yang telah mendarah daging, sehingga ia lupa mati. Ia telah mati dan buta hatinya, tidak mampu melihat melihat akibatnya kelak di akhirat, di samping tidak mau merenungkan keadaannya sendiri. Kemudian Allah menjelaskan kesalahan dan dugaan seperti ini. 
Untuk itu Allah berfirman dalam ayat berikut:
 يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخْلَدَهُۥ 
Pencaci dan pengumpat menyangka bahwa apa yang ia miliki berupa harta dan benda dapat melanggengkan hidup di dunia, di samping dapat menjamin keamanan dan kematian. Karenanya ia berbuat seperti orang yang seakan-akan hendak hidup abadi di dunia, dan tidak akan dikembalikan ke akhirat, ketika ia akan disiksa akibat dari perbuatannya yang tidak baik. Setelah Allah menjelskan ancaman kepada orang-orang yang mempunyai sifat seperti itu dengan siksanya yang keras, kemudian Allah menjelaskan tentang sebab-sebab mereka berani melakukan pekerjaan yang simurkai trsebut. Yakni keyakinan mereka bahwa harta bendanya itu dapat menyelamatkan dari kematian. Kemudian Allah menyebutkan secara terperinci mengenai siksaan untuk mereka yang memang telah dipersiapkan secara pasti. 
Untuk itu allah berfirman dalam ayat berikut: 
 كَلَّا ۖ لَيُنۢبَذَنَّ فِى ٱلْحُطَمَةِ 
Perhatikanlah wahai orangorang yang suka mengumpat. Berhentilah dari perbuatan kalian, dan janganlah sekalli-kali kalian menduga bahwa harta kalian bisa menjadikan hidup kalian abadi. Sesungguhnya yang lebih bermanfaat itu adalah ilmu pengetahuan dan amal saleh. Demi Allah kalian akan dicampakkan dan dijauhkan dari rahmat Allah. Terdapat suatu nasehat yang dikatakan Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan, “wahai orang-orang yang merasa dirinya sempurna, sungguh hancurlah orang yang suka menimbun harta kekayaan, sedang mereka dalam keadaan hidup. Para ulama akan tetap hidup sepanjang masa sekalipun jasad mereka telah tiada. Tetapi peninggalan-peninggalan mereka masih tetap hidup di dalam hati”. Maksud perkataan Ali itu bahwa para penimbun harta tidak akan disenangi kebanyakan orang, karena dengan ditimbunnya harta tersebut, maka orang lain tidak akan mendapat bagiannya. Kemudian Allah menggambarkan keadaan neraka dengan gambaran yang sangat menakutkan. 
Untuk itu Allah berfirman dalam ayat berikut ini:
 وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْحُطَمَةُ 
Pada dasarnya hutamah itu bisa digambarkan dengan pikiran. Hakekat yang sesungguhnya sama sekali tidak akan diketahui. Kalian tidak amengerti apapun tentang hutamah kecuali orang-orang yang berhak menghuninya. Kemudian Allah menfasirkan pengertian hutamah setelah sebelumnya disebutkan secara abstrak. 
Untuk itu Allah berfirman:
 نَارُ ٱللَّهِ ٱلْمُوقَدَةُ 
 Sesungguhnya hutamah itu adalah neraka yang telah Allah ciptakan untuk menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat dan jahat. Sifat neraka tersebut adalah menyaa-nyala yang tak pernah padam, bahkan tetap terus menyala. Dalam hal ini, tidak ada yang dapat mengetahui kecuali yang maha menciptakan Kemudian Allah memberisifat neraka itu dengan gambaran yang berbeda dengan api yang ada di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk diketahui oleh umat manusia, bahwa api neraka itu berbeda dengan api yang ada di dunia. Untuk itu Allah berfirman dalam ayat berikut ini:
 ٱلَّتِى تَطَّلِعُ عَلَى ٱلْأَفْـِٔدَةِ 
 Neraka tersebut membakar hati. Api itu menyusup masuk ke rongga badan hingga masuk ke dalam hati. Hati termasuk anggota badan yang sangat sensitif. Jika hati itu terbakar api, maka sakit tersebut tidak dapat terbayangkan oleh yang terkena. Kemungkina yang dimaksud ittila’ di sini ialah mengetahui dan mengerti. Jadi, seakan-akan api neraka ini mengetahui apa yang terdapat di dalam hati manusia, kelak di hari pembalasan. Dengan demikian, ia dapat membedakan mana orang yang taat kepada Allah dan mana pula yang ingkar , atau antara yang baik dan yang tidak baik. Api tersebut juga dapat membedakan orangorang yang senantiasa berbuat kejahatan ketika di dunia, dan selalu berbuat baik. Kami menyerahkan sepenuhnya masalh ini kepada Yang Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib. Gambaran tentang “membakar hati” yang terdapat dalam rongga badan manusia- yang tak dapat dilihat mata – merupakan pengertian bahwa api tersebut lebih mudah membakar anggota bnadan yang nampak. 
 إِنَّهَا عَلَيْهِم مُّؤْصَدَةٌ
 Neraka tersebut terkunci. Di dalamnya penuh dengan orang-orang yang berdosa. Mereka itu sama sekali tidak bisa keluar dari dalam neraka. Jika mereka berkeinginan untuk keluar, keinginan itu pun tak pernah kunjung terlaksana.
 فِى عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ 
Muqatil mengatakan, “ sesungguhnya pintu nerak itu dikunci setelah mereka masuk di dalamnya. Kemudian pintu diganjal dengan palang pintu sehingga tidak bisa dibuka. Udara pun tidak bisa masuk.” Maksudnya adalah menggambarkan betapa ketatnya penguncian pintu neraka tersebut, yang didalamnya terdapat manusia. Dengan demikian, calon penghuni neraka, jika sudah masuk di dalamnya, mereka tidak bisa ke luar. Kita diwajibkan mengimani gambaran tersebut, dan tidak diwajibkan mengetahui bagaimana bentuk palang pintu itu. Apakah palang pintu itu terbuat dari apai atau besi ? apakah bentuknya melintang ataukah memangjang ? dan apakan palang pintu tersebut sama dengan palang pintu yang ada di dunia ? semuanya ini kita serahkan kepada Allah, karena permasalahan akhirat bukan merupakan permasalahan dunia. Di samping itu tidak ada hadits yang menjelaskan masalah tersebut. Membicarakan masalah ini hanya dengan pembicaraan-pembicaaan tanpa mengetahui hakekatnya, sama dengan omong kosong dihadapan Allah SWT. Kami berdo’a kepada Allah, agar Dia tetap memelihara kita dari kemurkaanNya. Semoga kita memelihara kita dari api neraka yang terkunci dengan anugrah dan kemurahannya. 

E. Komentar 

Tak dapat dipungkiri, manusia yang hidup di dunia ini tentunya butuh materi keduniaan. Harta benda yang dititipkan Tuhan kepada manusia hendaklah dipergunakan sebaik-baiknya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan bukan menjadikan harta semata-mata tujuan utama manusia hidup di dunia. Dalam surat al-Humazah ini Allah menjelaskan orang-orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Mereka menganggap bahwa harta akan mengekalkan mereka. Sebenarnya mereka tertipu dengan nafsu yang menyelimuti diri mereka. Sehingga mata hati mereka buta dan memandang rendah orang lain yang tak berharta. Hal ini karena kemulyaan di matanya adalah yang berharta. Maka sikap mengumpat dan mencela sebagai akibat dari perasaannya yang meninggi di atas manusia lain. Di balik semua itu, justru dia diancam dengan neraka yang akan menyiksa dan membakar hatinya. Ini menunjukkan bahwa dialah yang sebenarnya hina karena memuja dunia, mengumpulkannya, dan menganggap akan mengekalkan dirinya di dunia. Dalam surah al-Kahfi Allah telah menjelaskan bahwa harta dan anak hanyalah perhiasan hidup di dunia.
 ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱلْبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا 
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Q.S. al-Kahfi : 46) 

Apalah artinya hiasan, jika hakikat kehidupannya tiada arti dan di akhirat nanti akan merugi. Harta begitu hina jika tidak dijadikan sarana beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, dalam hal ini al-Ghazali membagi harta ke dalam 2 kelompok, yakni harta yang baik dan yang buruk. Harta yang buruk adalah harta yang menjadikan lalai dari Allah, harta yang ditashorufkan kepada kemaksiatan, atau ditashorufkan dengan berlebihan dalam hal yang diperbolehkan. Sedangkan harta yang baik adalah harta yang di tashorufkan dalam kebaikan untuk bekal akhirat, inilah yang disebut dengan dunia sebagai ladang akhirat. Al-Ghazali mebagi harta ke dalam 3 macam dilihat dari pentashorufan sehingga menjadi bekal akhirat: 
  1. Menafkahi diri sendiri dalam ibadah, seperti pergi haji, mencari ilmu. Atau sebagai sarana/kebutuhan penting dalam beribadah seperti makan, pakaian, tempat tinggal, nikah dan lain-lain yang bertujuan mengabdikan diri kepada Allah. 
  2. Ditashorufkan untuk orang lain, bisa berupa shodaqah, menjaga harga diri, menjaga kehormatan, dan memberi upah pelayan. 
  3. Ditashorufkan kepada orang tertentu tapi untuk kemaslahatan umum, seperti pembangunan masjid, jembatan, rumah sakit dan lain-lain. 
Memang watak manusia adalah suka harta, semangat mencarinya dan sedikit qana’ahnya. Adapun obatnya adalah 
  1. Sedang-sedang dalam pentashorufan serta hati-hati dalam berinfaq. 
  2. Memantapkan hati bahwa rizki itu sudah ada jatahnya meskipun dia tidak menggebu dalam mencarinya. 
  3. Memahami kemuliaan yang ada dalam qanaah dan kehinaan dalam thoma’ dan menggebu memburu dunia. 
  4. Senantiasa memandang orang yang di bawahnya dengan rasa kasih, bukan malah yang lebih kaya. Demikian resep al-Ghazali agar tidak tergolong orang-orang yang menumpuk harta hingga mudah mencela orang yang tak berharta karena merasa mulia dengan harta yang dimilikinya yang pada hakikatnya bukan miliknya.   

DAFTAR PUSTAKA 

Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjamah Tafsir al-Maragi Juz 30, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1985.
Fahruddin Arrazi, Tafsir ar-Razi: Mafatih al-Ghaib, Juz 17, dalam Maktabah Syamilah.
Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idhotul Mukminin min Ihya’ al-Ulumuddin, juz 2 Surabaya: Maktabah al-Hidayah, tt.