A. Pendahuluan
Rasulullah
SAW. Sebagai pembawa risalah terakhir yang tiada nabi dan rasul lagi setelahnya,
menjadikan ajarannya akan senantiasa diikuti dan diamalkan sepanjang masa. Akan
tetapi masa demi masa yang sudah lebih dari 1400 tahun berjalan ini tidak lepas
dari adanya perubahan perubahan. Bagitupun juga perubahan-perubahan pola pikir
terhadap apa yang dibawa beliau sebagai pegangan hidup bagi ummat Islam, yakni
Al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadits. Apakah seperti dipegangi secara utuh,
mulai ditinggalkan atau dimanipulasi cara penggunaannya sehingga tidak sesuai
dengan maksud dan tujuan pada asalnya.
Al-Qur’an
sebagai sumber Islam yang utama tidak ada kerguan di dalamnya, disamping proses
sampainya kepada kita melalui jalan mutawatir juga Allah telah
menjaminnya bahwa al-Qur’an akan senantiasa terjaga[1].
Berbeda dengan Al-Quran, al-Hadits yang mana sampainya kepada kita ada yang
hanya mencapai derajat ahad saja, menjadikan kwalitas dan tingkat
penggunaannya sebagai hujjah pun berbeda-beda. Ada yang shohih, hasan, dhoif
bahkan maudhu’ sudah kita kenal telah dinisbatkn pada hadits.
Setelah
Nabi wafat, kondisi hadits mengalami ketidak seimbangan, banyak persoalan yang
muncul sehingga menjadi lahan kajian dan penelitian. Hal ini dikarenakan
beberapa factor, pertama, adanya riwayat bilma’na. ke dua, adanya
pemalsuan hadits. Ke tiga, pembukuan hadits jauh stelah pembukuan
al-Qur’an. Dan ke empat, banyak ragam validitas berdasarkan ragamnya
metode dalam periwayatan[2].
Maka, hal ini tidak mustahil menjadikan perbedaan cara pandang klasik dan
modern perihal kewenangan Rasulullah sebagai Nabi, Rasul dan beberapa posisi
lainnya karena sebagaimana kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan basyarun
laa kal basyari yang diberikan banyak keistimewaan oleh Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini masalah yang akan pemakalah bahas adalah sebagai berikut :
1. Apakah arti kewenangan Rasulullah SAW. ?
2. Bagaimana kewenangan Rosulullah menurut
konsepsi klasik ?
3. Bagaimana konsepsi modern memandang
kewenangan Rasulullah ?
C. Pembahasan
1.
Arti Kewenangan Rasulullah SAW
Kewenangan
secara bahasa beasal dari kata ‘wenang’ yang berarti hak dan kekuasaan,
Kemudian mendapatkan imbuhan di awal berupa ke~ dan akhiran ~an.
Saat membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia akan kita dapatkan arti kewenangan
sebagai ‘kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggungjawab
kepada orang lain’ atau ‘hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan
sesuatu’.[3]
Sedangkan Rasulullah yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW. bin Abdullah, nabi
dan rasul terakhir yang diutus Allah SWT.
Kewenangan
Rasulullah mengacu kepada hak dan kekuasaan yang diberikan Allah kepada
Rasulullah SAW. dalam menjalankan risalah Allah sebgai nabi dan rasul terakhir
untuk disampaikan kepada ummatnya. Apa yang dilakukan, diucapkan dan ketetapan
beliau yang disebut sebagai sunnah merupakan ajaran yang kemudian ditiru dan
diamalkan ummat baik yang semasa dengan beliau atau setelahnya disamping
perintah mengamalkan yang ada dalam al-Qur’an. Maka dalam pembahasan makalah
ini yang dimaksud kewenangan Rasulllah SAW adalah sunnah itu sendiri.[4]
Dalam
al-Qur‟an, Nabi diidentifikasi Allah
dengan beberapa peran yang berbeda dan menyatu dalam dirinya: sebagai penyampai
risalah (QS. al-Maidah: 102), sebagai penjelas al-Qur‟an
(QS. 16: 44), sebagai hakim (QS. AlNisa:
65), sebagai figur yang ditaati (QS.
Al-Nisa‟: 64), dan sebagai teladan
yang baik (QS.
Al-Ahzab: 21). Otoritas-otoritas Nabi
yang disebutkan di
atas telah membentuk keyakinan
kuat kaum muslimin
terhadap otoritas ( hujjiyah) sunnah. Karena
itu, perkataan dan
praktek Nabi merupakan
hal yang sangat penting dalam
kehidupan kaum muslim
sejak awal.[5]
2.
Konsepsi klasik terhadap Kewenangan Rasul SAW
Dalam
buku pegangan klasik, istilah sunnah menunjuk kepada contoh autoritatif yang
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. dan yang dicatat dalam tradisi (hadits,khabar)
mengenai perktaannya, tindaannya, persetuajuannya atas perkataan atau perbuatan
orang lain, serta karakteristik (sifat) kepribadiannya. Baik sunnah ataupun
al-Qur’an berasal dari sumber yang satu, dan perbedaannya diantara keduannya
hanyalah dalam bentuk, bukan dalam isi. Al-Quran merupakan wahyu yang matluw
(terbaca secara ritual), sementara sunnah tidak (ghoiru matluw). [6]
Sedangkan
blok-blok bangunan konsensus klasik mengenai sunnah diletakkan oleh Muhammad
bin Idris Al-Syafi’I (w.204 H.). karena perdebatan sunnah muncul dan terdeteksi
jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yakni selama masa hidup Al-Syafi’i. Adapun
permasalahan seputar kewenangan Rasulullah yang dihadapi Al-Syafii adalah
sebagai berikut.
a.
Definisi Sunnah
Konsensus
ini berawal ketika para pengikut “madzhab” fiqih regional awal_di Hijaz, Irak
dan Suriah_ yang berpegang pada definisi yang kurang ketat mengenai sunnah.
Mereka memasukkan di dalam definisi mereka mengenai sunnah tidak hanya yang
berasal dari Nabi SAW., tetapi juga berbagai sumber lain, termasuk contoh yang
diberikan oleh para shabat Rasul, khalifah yang berkuasa dan praktik yan
diterima secara umum di kalangan para ahli hukum dalam madzhab tersebut.
Kemudian atas perjuangan beliau, sampai sekarang yang kita temukan tentang
istilah sunnah senantiasa digunakan untuk selain Sunnah Nabi SAW.[7]
b.
Hubungan Sunnah dengan Hadits
Perbedaan
penting antara gagasan orang-orang muslim awal dengan gagasan preode klasik,
berkaitan dengan hubungan antara sunnah dan hadits. Kandungan sunnah, dalam
penggunaan klasiknya bersifat spesifik: sunnah mengacu pada hadits shohih yang
bersambung ke Nabi Muhammad SAW. sebaliknya, bagi banyak orang Muslim
awal, sunnah dan hadits secara konseptual
tetap independen, dan kedua konsep itu tidak sepenuhnya bersatu, hingga setelah
Al-Syafi’i. dalam riwayat sejarah awal, “sunnah” sering digunakan dalam
pengertian yang secara umum menunjukkan “norma-norma yang bisa diterima” atau
“adat istiadat” dan sunnah nabawiyyah merupakan seruan umum terhadap
prinsip-prinsip keadilan. Sedangkan hadits
merupakan dokumentasi dari rekam jejak Rosulullah yang dismpaikan atau
diriwayatkan baik menjadi norma atau adat atau bukan. Dan gagasan sunnah dan
fenomena penyampaian hadits pun muncul dan tumbuh secara terpisah, mengikuti
perkmbangan yang pararel meski independen hingga setelah Al-Syafi’i.[8]
c.
Hubungan Sunnah dengan al-Qur’an
Dalam
hubungannya dengan al-Qur’an, Sunnah sebagai symbol kewenangan Nabi yang
diamalkan oleh ummat, menemui permasalahannya ketika konflik mengguncang
masyarakat. Keadaan demikian, menimbulkan kebutuhan untuk menemukan penyangga
yang kuat dalam menghadapi masalah yang ada. Adapun isu yang mengguncang
setatus relatif berbagai sumber autoritas hukum : al-Qur’an, Sunnah Rasul,
sunnah para autoritas lainnya dan berbagai metode pertimbangan hukum seperti qiyas
dan yang lainnya. Dalam polemik literatur perdebatan ini dapat
diidentifikasikan sebagai berikut: pragmatis hukum (ahl ra’yi), teolog
spekulatif (ahl al-kalam), dan pendukung kuat hadits (ashab
al-hadits). Ketiga kelompok ini mempercayai dirinya bertindak berdasarkan
warisan Rasulullah saw. mereka tidak berselisih apakah mengikuti rasulullah
atau tidak, akan tetapi pada soal bagaimana mengikutinya.
Jika
ahl al-ra’y lebih menyukai praktik madzhab mereka sendiri yang telah
diterima daripada penerapan sistematis sebuah teori universal mengenai
kewenangan hukum dengan memposisikan sunnah sebagai salah satu sumber hukum
diantara sumber hukum lainnya.
Sedangkan
ahl al-kalam mengambil garis yang lebih radikal, yakni dengan menolak
kewenangan hadits. Mereka hanya menerima hadits yang keakuratan riwayatnya
seperti keandalan al-Qur’an. Adapun ashab al-hadits mengikuti proposisi
bahwa hadits dari Rasulullah menjadi satu-satunya landasan yang tepat bagi
sunnah. Kegiatan mereka berupa mengumpulkan, dan menyampaikan pengetahuan yang
mereka terima mereka anggap sebagai representasi autentik warisan dan
kewenangan Rasulullah.
Perdebatan
3 golongan di atas menjadikan terabadikannya rumusan klasik bahwa antara sunnah
dan al-Qur’an sama-sama wahyu yang sama dalam subtansinya namun beda dalam
bentuknya.[9]
Kemudian
setelah masa Al-Syafi’I, problem yang muncul perihal sunnah berbeda lagi. Kali
ini adalah tentang apakah semua yang Rasulullah ucapkan atau lakukan itu
termasuk memiliki maksud hukum atau tidak. Stidaknya ada dua golongan.
Yang
pertama mereka yang meniru Rasulullah
SAW dalam setiap detail sebagai masalah kewajiban hukum. Mereka adalah
para faqih tradisionis yang ekstrem dari Madzhab Dzahiri. Adapun kelompok yang
lain dari madzhab-madzhab selan Adzahiri berpendapat adanya kebutuhan akan
langkah penafsiran antara tradisi dn penerapan hukumnya: tidak semua tradisi
menjadi perintah yang harus diikuti.[10]
3.
Konsepsi Modern terhadap Kewenangan Rasulullah SAW.
Sejak
pertengahan abad ke-19 definisi autoritas[11]
Sunnah menjadi masalah penting bagi para pemikir keagamaan Muslim. Hal ini
paling tidak ada dua factor yang mempengaruhinya, yaitu sikap sarjana
orientalis yang cenderung menyerang dengan mempermasalahkan keautentikan
literature hadits. Yang ke dua adalah sikap para modernis yang kritis terhadap
warisan klasik, dengan menolak taqlid dan menghimbau kebangkitan kembali sunnah
sebagai landasan dalam kebangkitan reformasi Islam.
Semua kaum
muslim sepakat dan
menerima kewenangan sunnah
Nabi. Tetapi yang menjadi
perbedaan, terutama di
kalangan pemikir modern-kontemporer adalah
bagaimana memaknai kewenangan
sunnah Nabi tersebut.
Hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor yang
memicu perbedaan tersebut.
Sifat hadis yang zhanni
al-wurud, dimensi kemanusiaan
Nabi dalam perkataan
dan perbuatannya, situasi
dan kondisi yang
melahirkan menyebabkan Nabi
mengucapkan hadis adalah
beberapa faktor yang
mendorong pemahaman yang
berbeda terhadap kewenangan sunnah,
hingga melahirkan pemikiran-pemikiran yang beragam.
Pada
era modern muncul beberapa Tipologi Pemikiran Kewenangan Sunnah[12]
a. Tipologi Ideal-Totalistik
Tipologi
ini memandang bahwa Nabi adalah teladan (uswah) sepenuhnya, dalam setiap
aspek secara mendetail,
baik persoalan keagamaan
maupun persoalan keduniawian. Hal ini
mendapat justifikasi dari al-Qur‟an
di mana Allah berfirman: Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan
dia banyak menyebut
Allah (Q.S. al-Ahzab:
21).
Karena itu,
tipologi pemikiran ini memandang perkataan
dan perbuatan Nabi memiliki
kewenangan yang sangat
kuat dalam bangunan
Islam dalam seluruh dimensi, ruang,
waktu dan situasi.
Bagi tipologi ini,
setiap perkataannya dapat dipercaya dan
bernilai hujjah tasyri‟i yang
mengikat dan wajib
diteladani oleh seluruh
masyarakat muslim di setiap ruang, waktu, dan situasi.
Tipologi pemikiran
kewenangan sunnah model
ini tampaknya dibangun dari
tiga pandangan: Pertama, hadis
sebagai wahyu dari
Allah. Kedua, konsep
„ismah. Dengan konsep
ini Nabi dipandang
sebagai seorang yang ma‟shum (dilindungi
Allah dari salah
dan dosa). Konsep
ini juga memiliki rujukan
dari riwayat-riwayat. Salah
satu riwayat yang
paling populer mendukung konsep
ini adalah cerita di mana Nabi dibelah dadanya lalu disucikan hatinya. Ketiga, sifat keterpercayaan (shiddiq) Nabi. Sifat ini berkaitan erat
dengan teori ‘ismah. Keterpeliharaan melahirkan
pandangan bahwa Nabi
adalah orang yang dapat dipercaya
secara penuh dalam semua sisi kehidupannya, pembicaraan maupun perbuatannya.[13]
b. Tipologi Ideal-Restriktifistik
Tipologi ini
juga memandang Rasulullah
sebagai teladan (uswah hasanah), tetapi
tidak bersifat totalitas.
Dalam pengertian ini,
maka hadis atau sunnah
sebagai rujukan keteladanan
Nabi dipahami memiliki
batas-batas dalam mengikat kaum
muslim. Secara umum batasan tersebut terlihat dalam dua aspek.
Pertama, aspek
kandungan hadis itu
sendiri. Di sini
keteladanan Nabi yang bersifat mengikat hanya dipahami dalam
kaitannya dengan kandungan hadis yang bersifat
tasy‟riyah. Sementara
kandungan hadis-hadis yang non-tasyri‟iyah tidak menjadi
teladan yang bersifat
mengikat. Kedua, aspek kevaliditisannya sebagai sesuatu yang
berasal dari Nabi.
Dalam kaitan ini,
maka hadis-hadis mutawatir yang dipandang memiliki status
pasti sebagai riwayat yang bersumber dari Nabi (qathi‟ al-wurud), bersifat
mengikat dalam seluruh
dimensi keagamaan. Sedangkan hadis
ahad yang diyakini
memiliki status dugaan
kuat berasal dari Nabi
(zhanni al-wurud), oleh
sebagian penganut tipologi
ini dipandang tidak memiliki hujjiyah
dalam persoalan-persoalan berkaitan
dengan akidah, bahkan juga
dipandang oleh sebagian
pemikir, dalam persoalan-persoalan hukum amaliyah. [14]
c. Tipologi Ideal Generalistik
Tipologi ini
memandang Nabi sebagai
teladan, tetapi tidak
dalam detail perilaku beliau. Hal
ini disebabkan karena bagaimanapun
sunnah pasti memiliki latar-belakang situasional. Oleh karena itu, otoritas
sunnah tidak pada kandungan detailnya, tetapi lebih kepada semangat umumnya. Tipologi ini
dimunculkan oleh Fazlur
Rahman. Dalam berbagai
penjelasannya, ia tampak mendukung sifat keteladanan Nabi. Bahkan dalam
kritiknya terhadap orang-orang yang
disebutnya progressif yang
bermaksud mengenyampingkan hadis
dan sunnah Nabi
demi membuka “jalan
baru” adalah tidak memiliki pandangan yang jauh ke depan
dan buta terhadap evolusi konsep sunnah dan
hadis itu sendiri.Tetapi berkaitan
dengan kewenangan sunnah,
ia lebih menekankan pada
sunnah ketimbang hadis.
Menurutnya, sunnah tidak
sama dengan hadis. Sunnah merupakan perilaku Nabi, sementara hadis
adalah informasi apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui atau tidak
disetujui oleh beliau.
d. Tipologi Paradigmatik
Berbeda
dengan dua tipologi sebelumnya yang memandang Nabi sebagai teladan, tipologi
ini memandang Nabi
sebagai perantara dan
paradigma. Dalam pengertian ini,
Nabi tidak memiliki
otoritas tersendiri di
samping al-Qur‟an
berkaitan dengan penjelasan syariat. Para pemikir ini hanya menempatkan
Nabi Muhammad pada
status tukang pos
yang hanya berkewajiban menyampaikan
pesan. Maka otoritas Nabi untuk
diteladani dan diikuti telah dipangkas sedemikian rupa.
Keteladanan Nabi tidak lebih dipandang sebagai sebuah paradigma di mana Nabi hanya sebagai model bagaimana
setiap generasi muslim menentukan detail Islam untuk mereka sendiri di bawah
al-Qur‟an.[15]
D.
Penutup
1.
Kesimpulan
Kewenangan
Rasulullah merupakan apa yang dilakukan, diucapkan dan ketetapan beliau yang
disebut sebagai sunnah selanjutnya menjadi ajaran yang ditiru dan diamalkan
ummat baik yang semasa dengan beliau atau setelahnya disamping perintah
mengamalkan yang ada dalam al-Qur’an.
Isu
Kewenangn Rasulullah pada masa klasik terdeteksi pada masa Al-Syafii dengan
permasalahan definisi Sunnah, perbedaan sunnah dan hadits dan hubungan sunnah dan Al-Qur’an. Kemudian stelah beliau
muncul permasalah dalam mengikuti Sunnah Nabi, apakahdengan keseluruhan ataukan
dengan melakukan penafsiran untuk ditemukan mana yang harus diikuti dan tidak.
Adapun
pada era modern setidaknya ada empat tipologi tentang kPemikiran Kewenangan
Sunnah tipologi ideal-totalistik,
tipologi ideal-restriktifistik, tipologi ideal generalistik dan tipologi paradigmatik .
2.
Kata Penutup
Demikianlah
makalah yang dapat kami persembahkan. Segala kekurangan dan kesalahn mohon maaf
dan mohon kritik adanya agar menjadikan lebih baik ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim.
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam
Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Bandung:
Mizan, 2000.
Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.M. Erfan Subahan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.M. Erfan Subahan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
M. Erfan Subahan, Menguak Fakta Keabsahan
Al-Sunnah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
Maizuddin M. Nur, Tipologi tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern, Fakultas
Ushuluddin IAINKota Banda Aceh dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265989&val=7080&title=TIPOLOGI%20PEMIKIRAN%20TENTANG%20KEWENANGAN%20SUNNAH%20DI%20ERA%20MODERN
http://kbbi.web.id/otoritas.
[2] M. Erfan Subahan, Menguak
Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003, hlm. 5
[3] Poerwodarminto, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, hlm. 1128.
[4] Daniel W. Brown, Menyoal
Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani
Muslim, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 18.
[5] Maizuddin M. Nur, Tipologi tentang Kewenangan Sunnah di Era
Modern, Fakultas Ushuluddin IAINKota Banda Aceh dalam http://download.portalgaruda.o
rg/article.php?article=265989&val=7080&title=TIPOLOGI%20PEMIKIRAN%20TENTANG%20KEWENANGAN%20SUNNAH%20DI%20ERA%20MODERN {22 Februari 2015,
10.35 WIB}
[6] Daniel W. Brown, Op.Cit.,
hlm. 19.
[7] Ibid.,, hlm. 20.
[8] Ibid., hlm. 24-26
[9] Ibid., hlm. 30
[10] Ibid., hlm. 33.
[11] kekuasaan yg sah yg
diberikan kpd lembaga dl masyarakat yg memungkinkan para pejabatnya menjalankan
fungsinya; 2 hak untuk bertindak; 3 kekuasaan; wewenang; 4
hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain.
Lih. http://kbbi.web.id/otoritas
[12] Maizuddin M. Nur, Op.Cit.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.