Sabtu, 28 Februari 2015

2 KEWENANGAN RASULULLAH SAW. MENURUT KONSEPSI KLASIK DAN MODERN



A.  Pendahuluan
Rasulullah SAW. Sebagai pembawa risalah terakhir yang tiada nabi dan rasul lagi setelahnya, menjadikan ajarannya akan senantiasa diikuti dan diamalkan sepanjang masa. Akan tetapi masa demi masa yang sudah lebih dari 1400 tahun berjalan ini tidak lepas dari adanya perubahan perubahan. Bagitupun juga perubahan-perubahan pola pikir terhadap apa yang dibawa beliau sebagai pegangan hidup bagi ummat Islam, yakni Al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadits. Apakah seperti dipegangi secara utuh, mulai ditinggalkan atau dimanipulasi cara penggunaannya sehingga tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pada asalnya.
Al-Qur’an sebagai sumber Islam yang utama tidak ada kerguan di dalamnya, disamping proses sampainya kepada kita melalui jalan mutawatir juga Allah telah menjaminnya bahwa al-Qur’an akan senantiasa terjaga[1]. Berbeda dengan Al-Quran, al-Hadits yang mana sampainya kepada kita ada yang hanya mencapai derajat ahad saja, menjadikan kwalitas dan tingkat penggunaannya sebagai hujjah pun berbeda-beda. Ada yang shohih, hasan, dhoif bahkan maudhu’ sudah kita kenal telah dinisbatkn pada hadits.
Setelah Nabi wafat, kondisi hadits mengalami ketidak seimbangan, banyak persoalan yang muncul sehingga menjadi lahan kajian dan penelitian. Hal ini dikarenakan beberapa factor, pertama, adanya riwayat bilma’na. ke dua, adanya pemalsuan hadits. Ke tiga, pembukuan hadits jauh stelah pembukuan al-Qur’an. Dan ke empat, banyak ragam validitas berdasarkan ragamnya metode dalam periwayatan[2]. Maka, hal ini tidak mustahil menjadikan perbedaan cara pandang klasik dan modern perihal kewenangan Rasulullah sebagai Nabi, Rasul dan beberapa posisi lainnya karena sebagaimana kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan basyarun laa kal basyari yang diberikan banyak keistimewaan oleh Allah SWT.

B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini masalah yang akan pemakalah bahas adalah sebagai berikut :
1.    Apakah arti kewenangan Rasulullah SAW. ?
2.    Bagaimana kewenangan Rosulullah menurut konsepsi klasik ?
3.    Bagaimana konsepsi modern memandang kewenangan Rasulullah ?

C.  Pembahasan
1.    Arti Kewenangan Rasulullah SAW
Kewenangan secara bahasa beasal dari kata ‘wenang’ yang berarti hak dan kekuasaan, Kemudian mendapatkan imbuhan di awal berupa ke~ dan akhiran ~an. Saat membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia akan kita dapatkan arti kewenangan sebagai ‘kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain’ atau ‘hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu’.[3] Sedangkan Rasulullah yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW. bin Abdullah, nabi dan rasul terakhir yang diutus Allah SWT.
Kewenangan Rasulullah mengacu kepada hak dan kekuasaan yang diberikan Allah kepada Rasulullah SAW. dalam menjalankan risalah Allah sebgai nabi dan rasul terakhir untuk disampaikan kepada ummatnya. Apa yang dilakukan, diucapkan dan ketetapan beliau yang disebut sebagai sunnah merupakan ajaran yang kemudian ditiru dan diamalkan ummat baik yang semasa dengan beliau atau setelahnya disamping perintah mengamalkan yang ada dalam al-Qur’an. Maka dalam pembahasan makalah ini yang dimaksud kewenangan Rasulllah SAW adalah sunnah itu sendiri.[4]
Dalam al-Quran, Nabi diidentifikasi Allah dengan beberapa peran yang berbeda dan menyatu dalam dirinya: sebagai penyampai risalah (QS. al-Maidah: 102), sebagai penjelas al-Quran (QS. 16: 44), sebagai hakim  (QS. AlNisa: 65), sebagai figur yang ditaati    (QS. Al-Nisa: 64), dan sebagai teladan yang  baik  (QS.  Al-Ahzab:  21).  Otoritas-otoritas  Nabi  yang  disebutkan  di  atas telah  membentuk  keyakinan  kuat  kaum  muslimin  terhadap  otoritas  ( hujjiyah) sunnah.  Karena  itu,  perkataan  dan  praktek  Nabi  merupakan  hal  yang  sangat penting  dalam  kehidupan  kaum  muslim  sejak  awal.[5]

2.    Konsepsi klasik terhadap Kewenangan Rasul SAW
Dalam buku pegangan klasik, istilah sunnah menunjuk kepada contoh autoritatif yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. dan yang dicatat dalam tradisi (hadits,khabar) mengenai perktaannya, tindaannya, persetuajuannya atas perkataan atau perbuatan orang lain, serta karakteristik (sifat) kepribadiannya. Baik sunnah ataupun al-Qur’an berasal dari sumber yang satu, dan perbedaannya diantara keduannya hanyalah dalam bentuk, bukan dalam isi. Al-Quran merupakan wahyu yang matluw (terbaca secara ritual), sementara sunnah tidak (ghoiru matluw). [6]
Sedangkan blok-blok bangunan konsensus klasik mengenai sunnah diletakkan oleh Muhammad bin Idris Al-Syafi’I (w.204 H.). karena perdebatan sunnah muncul dan terdeteksi jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yakni selama masa hidup Al-Syafi’i. Adapun permasalahan seputar kewenangan Rasulullah yang dihadapi Al-Syafii adalah sebagai berikut.



a.    Definisi Sunnah
Konsensus ini berawal ketika para pengikut “madzhab” fiqih regional awal_di Hijaz, Irak dan Suriah_ yang berpegang pada definisi yang kurang ketat mengenai sunnah. Mereka memasukkan di dalam definisi mereka mengenai sunnah tidak hanya yang berasal dari Nabi SAW., tetapi juga berbagai sumber lain, termasuk contoh yang diberikan oleh para shabat Rasul, khalifah yang berkuasa dan praktik yan diterima secara umum di kalangan para ahli hukum dalam madzhab tersebut. Kemudian atas perjuangan beliau, sampai sekarang yang kita temukan tentang istilah sunnah senantiasa digunakan untuk selain Sunnah Nabi SAW.[7]

b.   Hubungan Sunnah dengan Hadits
Perbedaan penting antara gagasan orang-orang muslim awal dengan gagasan preode klasik, berkaitan dengan hubungan antara sunnah dan hadits. Kandungan sunnah, dalam penggunaan klasiknya bersifat spesifik: sunnah mengacu pada hadits shohih yang bersambung ke Nabi Muhammad SAW. sebaliknya, bagi banyak orang Muslim awal,  sunnah dan hadits secara konseptual tetap independen, dan kedua konsep itu tidak sepenuhnya bersatu, hingga setelah Al-Syafi’i. dalam riwayat sejarah awal, “sunnah” sering digunakan dalam pengertian yang secara umum menunjukkan “norma-norma yang bisa diterima” atau “adat istiadat” dan sunnah nabawiyyah merupakan seruan umum terhadap prinsip-prinsip  keadilan. Sedangkan hadits merupakan dokumentasi dari rekam jejak Rosulullah yang dismpaikan atau diriwayatkan baik menjadi norma atau adat atau bukan. Dan gagasan sunnah dan fenomena penyampaian hadits pun muncul dan tumbuh secara terpisah, mengikuti perkmbangan yang pararel meski independen hingga setelah Al-Syafi’i.[8]

c.    Hubungan Sunnah dengan al-Qur’an
Dalam hubungannya dengan al-Qur’an, Sunnah sebagai symbol kewenangan Nabi yang diamalkan oleh ummat, menemui permasalahannya ketika konflik mengguncang masyarakat. Keadaan demikian, menimbulkan kebutuhan untuk menemukan penyangga yang kuat dalam menghadapi masalah yang ada. Adapun isu yang mengguncang setatus relatif berbagai sumber autoritas hukum : al-Qur’an, Sunnah Rasul, sunnah para autoritas lainnya dan berbagai metode pertimbangan hukum seperti qiyas dan yang lainnya. Dalam polemik literatur perdebatan ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut: pragmatis hukum (ahl ra’yi), teolog spekulatif (ahl al-kalam), dan pendukung kuat hadits (ashab al-hadits). Ketiga kelompok ini mempercayai dirinya bertindak berdasarkan warisan Rasulullah saw. mereka tidak berselisih apakah mengikuti rasulullah atau tidak, akan tetapi pada soal bagaimana mengikutinya.
Jika ahl al-ra’y lebih menyukai praktik madzhab mereka sendiri yang telah diterima daripada penerapan sistematis sebuah teori universal mengenai kewenangan hukum dengan memposisikan sunnah sebagai salah satu sumber hukum diantara sumber hukum lainnya.
Sedangkan ahl al-kalam mengambil garis yang lebih radikal, yakni dengan menolak kewenangan hadits. Mereka hanya menerima hadits yang keakuratan riwayatnya seperti keandalan al-Qur’an. Adapun ashab al-hadits mengikuti proposisi bahwa hadits dari Rasulullah menjadi satu-satunya landasan yang tepat bagi sunnah. Kegiatan mereka berupa mengumpulkan, dan menyampaikan pengetahuan yang mereka terima mereka anggap sebagai representasi autentik warisan dan kewenangan Rasulullah.
Perdebatan 3 golongan di atas menjadikan terabadikannya rumusan klasik bahwa antara sunnah dan al-Qur’an sama-sama wahyu yang sama dalam subtansinya namun beda dalam bentuknya.[9]
Kemudian setelah masa Al-Syafi’I, problem yang muncul perihal sunnah berbeda lagi. Kali ini adalah tentang apakah semua yang Rasulullah ucapkan atau lakukan itu termasuk memiliki maksud hukum atau tidak. Stidaknya ada dua golongan.
Yang pertama mereka yang meniru Rasulullah  SAW dalam setiap detail sebagai masalah kewajiban hukum. Mereka adalah para faqih tradisionis yang ekstrem dari Madzhab Dzahiri. Adapun kelompok yang lain dari madzhab-madzhab selan Adzahiri berpendapat adanya kebutuhan akan langkah penafsiran antara tradisi dn penerapan hukumnya: tidak semua tradisi menjadi perintah yang harus diikuti.[10] 

3.    Konsepsi Modern terhadap Kewenangan Rasulullah SAW.
Sejak pertengahan abad ke-19 definisi autoritas[11] Sunnah menjadi masalah penting bagi para pemikir keagamaan Muslim. Hal ini paling tidak ada dua factor yang mempengaruhinya, yaitu sikap sarjana orientalis yang cenderung menyerang dengan mempermasalahkan keautentikan literature hadits. Yang ke dua adalah sikap para modernis yang kritis terhadap warisan klasik, dengan menolak taqlid dan menghimbau kebangkitan kembali sunnah sebagai landasan dalam kebangkitan reformasi Islam.
Semua  kaum  muslim  sepakat  dan  menerima  kewenangan  sunnah  Nabi. Tetapi  yang  menjadi  perbedaan,  terutama  di  kalangan  pemikir  modern-kontemporer  adalah  bagaimana  memaknai  kewenangan  sunnah  Nabi  tersebut.   Hal  ini disebabkan  oleh  berbagai  faktor  yang  memicu  perbedaan  tersebut.  Sifat  hadis yang  zhanni  al-wurud,  dimensi  kemanusiaan  Nabi  dalam  perkataan  dan  perbuatannya,  situasi  dan  kondisi  yang  melahirkan  menyebabkan  Nabi  mengucapkan  hadis  adalah  beberapa  faktor  yang  mendorong  pemahaman  yang  berbeda terhadap  kewenangan  sunnah,  hingga  melahirkan  pemikiran-pemikiran  yang beragam.
Pada era modern muncul beberapa Tipologi Pemikiran Kewenangan Sunnah[12]

a.    Tipologi Ideal-Totalistik
Tipologi ini memandang bahwa Nabi adalah teladan (uswah) sepenuhnya, dalam  setiap  aspek  secara  mendetail,  baik  persoalan  keagamaan  maupun persoalan keduniawian. Hal ini  mendapat justifikasi dari al-Quran di mana Allah berfirman:  Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik  bagimu  (yaitu)  bagi  orang  yang  mengharap  (rahmat)  Allah  dan  (kedatangan)  hari  kiamat  dan  dia  banyak  menyebut  Allah  (Q.S.  al-Ahzab:  21).
Karena  itu,  tipologi  pemikiran  ini  memandang  perkataan  dan  perbuatan  Nabi memiliki  kewenangan  yang  sangat  kuat  dalam  bangunan  Islam  dalam  seluruh dimensi,  ruang,  waktu  dan  situasi.  Bagi  tipologi  ini,  setiap  perkataannya  dapat dipercaya  dan  bernilai  hujjah  tasyrii  yang  mengikat  dan  wajib  diteladani  oleh seluruh masyarakat muslim di setiap ruang, waktu, dan situasi.
Tipologi  pemikiran  kewenangan  sunnah  model  ini  tampaknya  dibangun dari  tiga   pandangan:  Pertama,  hadis  sebagai  wahyu  dari  Allah. Kedua,  konsep  „ismah.  Dengan  konsep  ini  Nabi  dipandang  sebagai seorang  yang  mashum  (dilindungi  Allah  dari  salah  dan  dosa).  Konsep  ini  juga memiliki  rujukan  dari  riwayat-riwayat.  Salah  satu  riwayat  yang  paling  populer mendukung konsep ini adalah cerita di mana Nabi dibelah dadanya lalu disucikan hatinya. Ketiga, sifat keterpercayaan (shiddiq) Nabi. Sifat ini berkaitan erat dengan teori  ismah.  Keterpeliharaan  melahirkan  pandangan  bahwa  Nabi  adalah  orang yang dapat dipercaya secara penuh dalam semua sisi kehidupannya, pembicaraan maupun perbuatannya.[13]

b.    Tipologi Ideal-Restriktifistik
Tipologi  ini  juga  memandang  Rasulullah  sebagai  teladan  (uswah hasanah),  tetapi  tidak  bersifat  totalitas.  Dalam  pengertian  ini,  maka  hadis  atau sunnah  sebagai  rujukan  keteladanan  Nabi  dipahami  memiliki  batas-batas  dalam mengikat kaum muslim. Secara umum batasan tersebut terlihat dalam dua aspek.
Pertama,  aspek  kandungan  hadis  itu  sendiri.  Di  sini  keteladanan  Nabi  yang bersifat mengikat hanya dipahami dalam kaitannya dengan kandungan hadis yang bersifat  tasyriyah. Sementara kandungan hadis-hadis yang non-tasyriiyah  tidak menjadi  teladan  yang  bersifat  mengikat.  Kedua,  aspek  kevaliditisannya  sebagai sesuatu  yang  berasal  dari  Nabi.  Dalam  kaitan  ini,  maka  hadis-hadis  mutawatir yang dipandang memiliki status pasti sebagai riwayat yang bersumber dari Nabi (qathi  al-wurud),  bersifat  mengikat  dalam  seluruh  dimensi  keagamaan. Sedangkan  hadis  ahad  yang  diyakini  memiliki  status  dugaan  kuat  berasal  dari Nabi  (zhanni  al-wurud),  oleh  sebagian  penganut  tipologi  ini  dipandang  tidak memiliki  hujjiyah  dalam  persoalan-persoalan  berkaitan  dengan  akidah,  bahkan juga  dipandang  oleh  sebagian  pemikir,  dalam  persoalan-persoalan  hukum amaliyah. [14]

c.    Tipologi Ideal Generalistik
Tipologi  ini  memandang  Nabi  sebagai  teladan,  tetapi  tidak  dalam  detail perilaku beliau. Hal ini disebabkan karena  bagaimanapun sunnah pasti memiliki latar-belakang situasional. Oleh karena itu, otoritas sunnah tidak pada kandungan detailnya, tetapi lebih kepada semangat umumnya. Tipologi  ini  dimunculkan  oleh  Fazlur  Rahman.  Dalam  berbagai  penjelasannya, ia tampak mendukung sifat keteladanan Nabi. Bahkan dalam kritiknya terhadap  orang-orang  yang  disebutnya  progressif  yang  bermaksud  mengenyampingkan  hadis  dan  sunnah  Nabi  demi  membuka  “jalan  baru”  adalah  tidak memiliki pandangan yang jauh ke depan dan buta terhadap evolusi konsep sunnah dan  hadis  itu  sendiri.Tetapi  berkaitan  dengan  kewenangan  sunnah,  ia  lebih menekankan  pada  sunnah  ketimbang  hadis.  Menurutnya,  sunnah  tidak  sama dengan hadis. Sunnah merupakan perilaku Nabi, sementara hadis adalah informasi apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui oleh beliau.

d.    Tipologi Paradigmatik
Berbeda dengan dua tipologi sebelumnya yang memandang Nabi sebagai teladan,  tipologi  ini  memandang  Nabi  sebagai  perantara  dan  paradigma.  Dalam pengertian  ini,  Nabi  tidak  memiliki  otoritas  tersendiri  di  samping  al-Quran berkaitan dengan penjelasan syariat. Para pemikir ini hanya  menempatkan  Nabi  Muhammad  pada  status  tukang  pos  yang  hanya berkewajiban  menyampaikan  pesan. Maka otoritas  Nabi  untuk  diteladani  dan  diikuti telah dipangkas sedemikian rupa. Keteladanan Nabi tidak lebih dipandang sebagai sebuah paradigma di  mana Nabi hanya sebagai model bagaimana setiap generasi muslim menentukan detail Islam untuk mereka sendiri di bawah al-Quran.[15]

D.  Penutup
1.    Kesimpulan
Kewenangan Rasulullah merupakan apa yang dilakukan, diucapkan dan ketetapan beliau yang disebut sebagai sunnah selanjutnya menjadi ajaran yang ditiru dan diamalkan ummat baik yang semasa dengan beliau atau setelahnya disamping perintah mengamalkan yang ada dalam al-Qur’an.
Isu Kewenangn Rasulullah pada masa klasik terdeteksi pada masa Al-Syafii dengan permasalahan definisi Sunnah, perbedaan sunnah dan hadits dan hubungan  sunnah dan Al-Qur’an. Kemudian stelah beliau muncul permasalah dalam mengikuti Sunnah Nabi, apakahdengan keseluruhan ataukan dengan melakukan penafsiran untuk ditemukan mana yang harus diikuti dan tidak.
Adapun pada era modern setidaknya ada empat tipologi tentang kPemikiran Kewenangan Sunnah tipologi ideal-totalistik, tipologi ideal-restriktifistik, tipologi ideal generalistik dan tipologi paradigmatik .

2.    Kata Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami persembahkan. Segala kekurangan dan kesalahn mohon maaf dan mohon kritik adanya agar menjadikan lebih baik ke depannya.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim.
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000.
Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.M. Erfan Subahan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
M. Erfan Subahan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
Maizuddin M. Nur, Tipologi tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern, Fakultas Ushuluddin IAINKota Banda Aceh dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265989&val=7080&title=TIPOLOGI%20PEMIKIRAN%20TENTANG%20KEWENANGAN%20SUNNAH%20DI%20ERA%20MODERN
http://kbbi.web.id/otoritas.




1 Q.S. Al-Hijr, ayat 9.
[2] M. Erfan Subahan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003, hlm. 5
[3] Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, hlm. 1128.
[4] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 18.
[5] Maizuddin M. Nur, Tipologi tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern, Fakultas Ushuluddin IAINKota Banda Aceh dalam http://download.portalgaruda.o rg/article.php?article=265989&val=7080&title=TIPOLOGI%20PEMIKIRAN%20TENTANG%20KEWENANGAN%20SUNNAH%20DI%20ERA%20MODERN {22 Februari 2015, 10.35 WIB}
[6] Daniel W. Brown, Op.Cit., hlm. 19.
[7] Ibid.,, hlm. 20.
[8] Ibid., hlm. 24-26
[9] Ibid., hlm. 30
[10] Ibid., hlm. 33.
[11] kekuasaan yg sah yg diberikan kpd lembaga dl masyarakat yg memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya; 2 hak untuk bertindak; 3 kekuasaan; wewenang; 4 hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain. Lih. http://kbbi.web.id/otoritas
[12] Maizuddin M. Nur, Op.Cit.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.

2 KITAB AL-MUWATTA’ IMAM MALIK




A.  Pendahuluan
Dalam hazanah studi kitab hadits, Kitab Al-Muwatta’ meskipun tidak masuk dalam kumpulan Kutubus Sittah al-Mu’tabarah, namun keberadaannya juga penting. Al-Muwatta’ lahir dan menghimpun banyak hadits lebih dahulu sebelum dua kitab monumental Shohihain Bukhori Muslim. Dalam makalah ini sedikit banyak kita akan mengenal Kitab Al-Muwatta’ dan Penyusunnya Syaikh Al-Imam Malik bin Anas RA.

B.  Rumusan Masalah
Adapun pokok pembahasan dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Bagaimana Biografi Imam Malik ?
2.    Bagaiman gambaran Kitab Al-Muwatta’ ?

C.  Pembahasan
1.    Sekilas Biografi Imam Malik
Nama lengkap Imam Malik adalah Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amr ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani. Dari penuturan namanya dapat kita ketahui bahwa kunyah-nya Abu Abdullah, sedang laqab-nya tidak hanya al-Abahi, dan al-Madani, namun juga al-Faqih, al-Imam Dar al-Hijrah dan al-Humairi menjadi laqab yang diberikan kepada beliau. Dilihat dari nasabnya, silsilahnya sampai pada tabi’in besar (Malik) dan Kakek buyut (Abu Amr) seorang sahabat yang selalu mengikuti dalam peperangan pada masa Nabi.[1]
Imam malik di lahirkan di kota Madinah pada tahun 93 H, ada yang mengatakan 94 atau 97 H dan meninggal thun 179 H. Ayahnya bernama Anas bin Malik yang bukan sahabat Nabi namun seorang tabiin, sedang ibunya bernama Aliyah binti Suraik. Pekerjaan sang ayah adalah sebagai pembuat panah. Sedang kakeknya yang mempunyai kunyah Abu Anas adalah tabi’in besar yang banyak meriwayatkan hadits dari Umar, Thalhah, Aisyah, Abu Hurairah dan Hasan bin Abi Sabit; termasuk penulis mushaf Usmani serta termasuk orang yang mengikuti penaklukan Afrika pada masa Kholifah Usman[2].
Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang melahirkan 3 anak laki-laki; Muhammad, Hammad dan Yahya dan seorang anak perempuan; Fatimah yang mendapat julukan Umm al-Mu’minin[3].
Setting sosial
Imam Malik semasa hidupnya sebagai pejuang demi agama dan umat islam seluruhnya. Beliau dilahirkan pada pemerintahan Al-Wahid bin Abdul Malik Al-Umawi dan meninggal dunia pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid domasa pemerintahan Abassiyah. Zaman hidup imam malik sama dengan Abu hanifah.
Semasa hidupnya imam malik mengalami dua corak pemerintahan.,Ummayah dan Abbassiyah dimana terjadi perselisihan hebat diantara kedua pemerintahan tersebut. Dimasa itu pengaruh ilmu pengetahuan Arab, Persi, dan Hindi tumbuh subur dikalangan masyarakat pada waktu itu.
Beliu juga dapat melihat perselisihan antara pro-Abbassiyah dan pro-‘Alwiyyin dan juga orang Khawarij, dan juga perselisihan antara golongan syi’ah dan golongan Ahli-Sunnah dan Orang  khawarij. Disamping itu pula beliau menyaksikan percampuran antar bangsa dan keturunan yaitu orang Arab , Persi, Rom, dan Hindi.
Bermacam-macam pula perubahan yang terjadi, seperti dibidang pertanian, perniagaan, pertukangan dan macam-macam corok kehidupan yang mana semuanya menggunakan dalih yang menurut kacamata agamadan hukum-hukum fiqih inilah permulaan penyusun ilmu hadist, fiqih dan masalah ilmu-ilmu hukum.[4]
Adalah Madinah,  tempat hijrah Rasulullah SAW,  tempat turunnya semua hukum syariat (kecuali masalah akidah dan shalat),  disanalah Nabi memerintah di tengah kaum muslimin,  menegakkan keadilan,  memutuskan perkara,  dan mendirikan pemerintahan yang pertama di antara orang-orang yang beriman,  yang kemudian dilanjutkan oleh 3 khalifahnya yang pertama (Abu Bakr, Umar, Ustman).  Akibat ketidakstabilan kondisi politik negara,  Ali bin Abi Thalib memindahkan pusat pemerintahan ke Kufah. Di masa dinasti Umayyah,  banyak dari para tabi'in yang menyingkir ke Madinah menghindari kesewenang-wenangan rezim pemerintah. Mereka lebih memilih berada disamping kubur Rasul,  membuka majlis Ilmu di masjid Nabi,  dan membantu menerangkan perkara-perkara agama kepada masyarakat.
Madinah bukanlah satu-satunya tempat tersebarnya ilmu hadist dan fikih, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa disanalah terdapat sumber ilmu-ilmu tersebut,  karena di Madinah lah ribuan sahabat dan tabi'in tinggal,  para ulama terkemuka banyak mengamalkan ilmunya,  serta para agamawan besar yang terus 'stand by' memecahkan berbagai persoalan umat.  Dari sekian banyak para agamawan terkemuka yang tinggal dan mengajar di Madinah pada masa tabiin,  terdapat 7 orang ulama yang dipandang mempunyai andil paling besar dalam mengajarkan ilmu dan menyebarkan hadits Rasulullah yang masyhur dengan sebutan "Fuqaha as-Sab'ah",  mereka adalah  :Sa'id bin Musayyab, Urwah bin Zubaer bin Awwam, Abu Bakr bin Abdurrahman bin Harits, Al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakr, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud, Sulaiman bin Yassar dan Kharijah bin Zaid bin Tsabit.
Masa peralihan kekuasaan kepada dinasti Abbasiyah adalah saat-saat kekacauan politik mencapai puncaknya. Perebutan kekuasaan antara dua dinasti telah mengakibatkan perang saudara yang berkepanjangan dan memakan banyak korban tak berdosa.  Melayangnya ribuan nyawa kaum Muslimin dengan sia-sia menjadikan hati Malik tersyat dan tidak pernah sudi merestui kejadian ini. Dari sini ia mulai berpikiran bahwa kemaslahatan umat harus dikedepankan, ia mengeluarkan fatwa yang mengecam segala bentuk gerakan separatis dan pemberontakan menentang kekuasaan, walaupun penguasa tersebut lalim.
Disamping aktif mengeluarkan fatwa yang menentang penggulingan kekuasaan yang sah, Malik juga rajin mendatangi para penguasa untuk menasehati dan memberikan petuah bijak kepada mereka.  Kedekatannya dengan penguasa ini berlangsung baik di masa pemerintahan bani Umayyah maupun Abassiyah. Bahkan tercatat, Malik bin Anas pernah menerima hadiah 3000 dinar dari khalifah Harun al-Rasyid.  Dengan sikap seperti itu, Malik pun menjadi ulama yang sangat disukai oleh para penguasa, karena dapat memuluskan langkah mereka untuk melanggengkan kekuasaan daripada kebanyakan ulama lain yang sering mengkritisi kebijakan pemerintah. Pun demikian, Malik memandang perbuatannya ini tidak lain hanyalah untuk kebaikan umat yang terlalu lama menanggung penderitaan akibat perebutan kekuasaan di tingkat elite pemerintah.
Semakin meluasnya kekuasaan pemerintah islam di masa itu – membentang dari Spanyol di sebelah barat hingga perbatasan Cina di sebalah timur - mengakibatkan persoalan yang dihadapi umat semakin pelik. Persentuhan antara agama dan peradaban islam dengan budaya setempat di negeri jajahan pun tak terelakkan. Untuk pertama kalinya teks-teks suci keagamaan harus beradaptasi dengan setting sosial-budaya kawasan taklukkan yang cukup bervariasi.  Persinggungan budaya seperti ini menyebabkan semakin bervariasinya penafsiran teks keagamaan. [5]

Guru-gurunya
Imam Malik pernah belajar kepada 900 guru. 300 diantaranya dari golongan tabi’in dan 600 orang dari kalangan tabiit tabiin. Menurut Amin al-Khulli sebagaimana dikutip Nurun Najwa, diantara guru-gurunya yang terkemuka adalah :
1)   Rabiah al-Ra’yi bin Abi Abdurrahman Furuh al-Madani (w. 136 H)
2)   Ibnu Hurmuz Abu Bakar bin Yazid (w. 147 H)
3)   Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H)
4)   Nafi’ ibn Surajis Abdullah al-Jaelani (w. 120 H)
5)   Ja’far Sadiq ibn Muhammad ibn Ali al-Husin ibn Abu Talib al-Madani (w. 148 H)
6)   Muhammad ibn al-Munkadir ibn al-Hadiri al-Taimy al-Qurasyi (w. 131 H)[6]
Murid- muridnya
Murid-murid Imam Malik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok:
1)   Dari kalangan Tabi’in diantaranya Sufyan al-Sauri, al-Lais bin Sa’id, Hammad ibn Zaid, Sufyan ibn Uyainah, Abu Hanifah, Abu yusuf, Syarik ibn Lahi’ah, dan Ismail ibn Khatir
2)   Dari kalangan Tabi’it-tabi’in adalah al-Zuhri, Ayub al-Syahkhtiyani, Abul Aswad, Rabi’ah ibn Abd al-Rahman,  Yahya ibn Sa’id al-Ansari, Musa ibn ‘Uqbah dan Hisyam ibn ‘Urwah.
3)   Bukan Tabi’in : Nafi’ ibn Abi Nu’aim, Muhammad ibn Aljan, Salim ibn Abi ‘Umayah, Abu al-Nadri, Maula Umar ibn Abdullah, al-Syafi’I dan Ibn Mubarak.[7]
Karya-karyanya
Diantara karya-kaya Imam Malik adalah:Al-Muwatta’, Kitab ‘Aqdiyah, Kitab Nujum Hisab Madar al-Zaman, Manazil al-Qamar,Kitab Manasik, Kitab Tafsir li Garib Al-Qur’an, Ahkam al-Qur’an, Al-Mudawanah al-Kubra, Tafsir al-Qur’an, Kitab Masa’ Islam, Risalah Ibn Matruf Gassan, Risalah ila al-Lais, Risalah ila ibn Wahb.
Namun, dari beberapa karya tersebut, yang sampai kepada kita hanya dua yakni, al-Muwatta’ dan al-Mudawanah al-Kubra.[8]

2.    Mengenal Kitab Al-Muwatta’

a.    Latar Belakang Penyusunan
Ada beberapa versi yang mengemukakakan tentang latar belakang penyususnan al-Muwatta’. Menurut Noel J. Coulson, problem politik dan sosialkeagamaan-lah yang melatarbelakangi penyusunan al-Muwatta’. Kondisi politik yang penuh konflik pada masa transisi daulah Umayyah – Abbasiyyah yang melahirkan tiga kelompok besar ( Khuwarij, Syi’ah-keluarga istana ) yang mengancam integritas kaum muslimin. Disamping kondisi sosial keagamaan yang berkembang penuh nuansa perbedaan. Perbedaan-perbedaan pemikiran yang berkembang (khususnya dalam bidang hukum) yang berangkat dari perbedaan metode nash disatu sisi dan rasio di sisi yang lain, telah melahirkan pluratis yang penuh konflik.[9]
Versi lain menyatakan, penulisan al-Muwatta’ dikarenakan adanya permintaan khalifah Ja’far al-Manshur atas usulan Muhamman bin al-Muqaffa yang sangat prihatin terhadap perbedaan fatwa dan pertentangan yang berkembang saat itu dan mengusulkan kepadanya kholifah untuk menyusun undang-undang yang menjadi penengah dan bisa diterima semua pihak.Khalifah Ja’far lalu meminta Imam Malik menyusun Kitab hukum sebagai kitab standar bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik menerima usulan tersebut, namun ia keberatan menjadikannya sebagai kitab standar atau kitab resmi Negara.[10]
Sementara versi yang lain, disamping terinisiasi oleh usulan Khalifah Ja’far al-Manshur, sebenarnya Imam Malik sendiri memiliki keinginan kuat untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan ummat Islam memahami agama.
b.    Penamaan Kitab
Tentang penamaan kitab al-Muwatta’ adalah orisinil dari Imam Malik sendiri. Hanya saja tentang mengap kitab tersebut dinamakan al-Muwatta’ ada beberapa pendapat yang muncul
1)   Sebelum kitab itu disebarluaskan Imam Malik telah menyodorkan karyanya ini di hadapan 70 ulama fiqih Madinah dan mereka menyepakatinya
2)   Penamaan al-Muwatta’ dikarenakan kitab tersebut “memudahkan” khalayal umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup dalam beraktivitas dan beragama.
3)   Penamaan kitab al-Muwatta’ dikarenakan kitab al-Muwatta’ merupakan perbaikan terhadap kitab fiqh sebelumnya.

c.    Isi Kitab
Kitab ini menghimpun Hadits-hadits Nabi, pendapat Sahabat, qaul tabi’in, Ijma’ ahl al-madinah dan Pendapat Imam Malik. Para Ulama berbeda pendapat tentang jumlah Hadits yang terdapat dalam Al-Muwatta’.


d.   Sistematika Kitab
Kitab al-Muwatta’ adalah Kitab Hadits yang bersistematika fiqih. Berdasar kitab yang ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Kitab Muwatta’ terdiri dari dua juz, 61 kitab [11](bab) dan 1824 hadits.
Secara eksplisit tidak ada pernyataan yang tegas tentang metode yang dipakai Imam Malik dalam menghimpun Kitab Al-Muwatta’. Namun secara implisit, dengan melihat paparan Imam Malik dalam kitabnya, metode yang dipakai adalah metode pembukuan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab fiqhiyyah) dengan mencantumkan hadits marfu’(berasal dari Nabi), mauquf  (berasal dari Sahabat) dan maqtu’ (besal dari tabiin). Bahkan bukan hanya itu, kita bisa melihat bahwa Imam Malik menggunakan tahapan-tahapan berupa :
1)   Penseleksian terhadap hadits yang disandarkan kepada Nabi
2)   Atsar/Fatwa sahabat
3)   Fatwa tabi’in
4)   Ijma’ ahl Madinah dan pendapat Imam Malik sendiri
5)   Pendapat Imam Malik sendiri
Meskipun kelima tahapan itu tak selamanya muncul bersamaan dalam setiap pembahasannya, urutan pembahasan  dengan mendahulukan penulusuran hadits Nabi yang telah diseleksi merupakan acuan pertama yang dipakai Imam Malik sedangkan tahapan ke dua dan seterusnya dipaparkan Imam Malik tatkala menurutnya perlu untuk dipaparkan.
Ada empat hal yang perlu dikritisi imam Malik dalam meriwayatkan hadits.
1.  Periwayat bukan orang yang berperilaku jelek
2.  Bukan ahli bid’ah
3.  Bukan orang yang suka berdusta dalam hadits
4.  Bukan orang yang tahu ilmu tapi tidak mengamalkannya
e.    Beberapa penilaian terhadap hadits-hadits Imam Malik
-       Sufyan ibn ‘Uyainah dan Al-Suyuti mengatakan, seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Malik adalah shahih, karena diriwyatkan  dari orang yang terpercaya.
-   Abu Bakar al-Bhari berpandangan tidak semua  hadits dalam al-Muwatta’ sahih, 222 hadits Mursal, 623 hadits mauquf dan 285 hadits maqtu’
-    Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa hadits-hadits  yang termuat dalam al-Muwatta’ adalah sahih menurut Imam Malik dan pengikutnya.
f.     Pendapat para ulama tentang al-Muwatta’
-       Al-Syafi’i: di dunia ini tidak ada kitab setelah al-qur’an yang lebih shahih dari pada kitab Malik
-       Al-Hafiz al-Muglatayi al-Hanafi: “Buah karya Malik adalah kitab Shahih yang pertama kali
-       Ibn Hajar: Kitab Malik sahh menurut Malik dan pengikutnya
-       Waliyullah al-Dahlawi menyatakan al-Muwatta’ adalah kitab yang paling sahih, masyhur, dan paling dahulu pengumpulannya.
g.    Kritikan orientalis terhadap al-Muwatta’
Diantara orientalis yang memberikan kritikan terhadap karya Imam Malik adalah Josep Schacht. Schahct meragukan hadits dalam al-Muwatta’, diatara hadits yang dikritiknya adalah tentang bacaan ayat sajdah dalam khutbah Ju’ah oleh Khatib. Kemudian tentang 80 hadits dalam Muwatta’ yang disebut “Untaian sanad Emas,” . dan yang lainnya.
D.    Penutup
1.      Ksimpulan
Dari pemaparan di atas dapat kami simpulkan bahwa kitab al-Muwatta’ adalah merupakan salah satu karya paling monumental yang dikarang oleh Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani atau yang lebih dikenal sebagai Imam malik.
Selanjutnya kitab ini merupakan kitab hadits yang bersistematika Fiqh yang terdiri dari 2 juz, 61 kitab (bab) dan 1824 hadits dan juga bermetode tawabib( Bab per Bab).

2.      Kata Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami persembahkan. Segala kekurangan dan kesalahn mohon maaf dan mohon kritik adanya agar menjadikan lebih baik ke depannya.


Daftar Pustaka
Al-Imam Malik bin Anas, al-Muwatta’, Beirut: Darul Fikr, 1989.
Dosen Tafsir Hadits Fakultas ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadits, edt. M. Alfatih Suryadilaga, Yogyakarta: Teras, cet. II, 2009.

Putri Rizqiyah, Sejarah Pemikiran Tokoh Islam, dalam http://putririzqiyah656.blogspot.com/2014/07/sejarah-pemikiran-tokoh-islam.html.




[1] Dosen Tafsir Hadits Fakultas ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadits, edt. M. Alfatih Suryadilaga, Yogyakarta: Teras, cet. II, 2009, hlm. 2
[2]  Dosen Tafsir Hadits Fakultas ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadits, edt. M. Alfatih Suryadilaga, Yogyakarta: Teras, cet. II, 2009, hlm. 2
[3]Ibid.

[4]Putri Rizqiyah, Sejarah Pemikiran Tokoh Islam, dalam http://putririzqiyah656.blogspot.com/2014/07/sejarah-pemikiran-tokoh-islam.html, {24 Februari 2015, 18.01 WIB)


[5] Imam Malik bin Anas, Sebuah Biografi, dalam http://kopiitunikmat.blogspot.com/2010/09/imam-malik-bin-anas-sebuah-biografi.html (24 Februari 2015, 18 25 WIB)
[6]Ibid., hlm. 5
[7]Ibid., hlm. 6
[8]Ibid.
[9]Ibid., 7
[10]Ibid. 8
[11]Al-Imam Malik bin Anas, al-Muwatta’, Beirut: Darul Fikr, 1989, hlm. 8