Sabtu, 10 Januari 2015

0 NAQD AL-MATN DAN METODENYA


A.    Pendahuluan
1.    Latar Belakang
Dalam disiplin ilmu kritik hadits dikenal dua metode. Kritik ekstren (naqd al-khariji) dan kritik intern (inaqd ad-dakhili). Maksud dari kritik ektern ialah  kritik sanad. Yakni, jalur yang menyampaikan kepada sumber  riwayat yang terdiri dari sekumpulan perowi yang masing-masing mengambil riwayat dari perowi sebelumnya  dan menyampaikan kepada perowi setelahnya.  Sampai kepada yang mentakhrij hadits. (mukhorrrij).
Sedangkang kritik intern adalah kritik matan. Yang membahas dan meneliti redaksi matan hadits yang dari terbentuk makna-makna yang menjadi pesan dari Nabi. Dalam makalah ini akan dibahas tentang kritik matan berikut metode yang ditempuh dalam kritik matan.

2.    Rmusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat pemakalah rumuskan pembahasan sebagai berikut:
a.    Bagaimana pengertian dan obyek studi naqd al-matn ?
b.    Bagaimana metode yang ditempuh dalam kritik matan ?

B.    Pembahasan
1.    Pengertian
Naqd al-matn terdiri dari dua kata yaitu naqd dan al-matn. Naqd adalah upaya membedakan antara hadits yang shahih dari hadits yang dhoif dan menetapkan status para perawinya dari segi kepercayaan dan kecacatannya. Sedangkan matn adalah kata-kata hadits yang dengannya terbentuk makna-makna.  Atau lebih luasnya matn merupakan cakupan atas segala iinformasi yang datang dari Rasulullah SAW terhadap sesuatu yang kemudian didapatkan ajaran Islam.
Naqd al-matn atau kritik matn adalah kritik intern hadits, yaitu meneliti matan hadits sebagai isi dalam diri hadits itu sendiri untuk membedakan antara hadits yang shahih dari hadits yang dhoif.

2.    Obyek
Obyek studi naqd al-matn diarahkan pada:
a.    Penelitian matan dengan melihat sanadnya
Sebelum melaksanakan kritik matan, yang terlebih dahulu dilakukan adalah meyakinkan bahwa teks matan tersebut memang benar-benar datang dari sumber yang dimaksud, yakni Rasulullah SAW.
b.    Redaksi atau susunan lafal berbagai matan yang semakna
Meneliti matan hadits tidak berhenti pada keadaan kata demi kata. Namun dalam kasus tertentu dibutuhkan terhadap beberapa redaksi matan yang semakna dan hanya cukup bila naqd tertuju pada kandungan berita yang bersangkutan.
c.    Subtansi atau kandungan matan.
Kesahihan matan hadits yang dihasilkan tidak hanya dilihat dari sisi bahasa saja, tetapi juga dilihat dari sisi yang mengacu kepada rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok dari ajaran Islam.

3.    Ilmu dan Pendekatan yang Diperlukan
Dalam aktifitas kritik matan diperlukan banyak cabang ilmu dan pendekatan. Adapaun ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam Naqd al-Hadits adalah:
a)    Ilmu ‘illah al-hadits. sebagaimana didefinisikan muhaddisin bahwa Ilmu ‘illah al-hadits adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan Hadits, seperti mengatakan muttasil terhadap hadits yang munqathi’, menyebut marfu’ terhadap hadits yang mauquf, memasukkan hadits ke dalam hadits lain dan hal-hal yang seperti itu.
b)    Ilmu an-nasikh wa al-mansukh. Dalam Hadits, yang dimaksud ilmu an-nasikh wa al-mansukh adalah membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi yang berlawanan yang pada akhirnya terjadilah saling menghapus dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian dinamakan nasikh.
c)    Ilmu asbab al-wurud al-hadits. Suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.
d)    Ilmu gharib al-hadits. Menurut Ibn as-Shalah Ilmu gharib al-hadits adalah ungkapan dari lafadz-lafadz yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat dalam matan hadits karena lafadz tersebut jarang digunakan.
e)    Ilmu at-Thashif wa at-Tahrif, yaitu ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titik atau syakalnya  (Mushahahhaf) dan bentuknya (muharraf).
f)    Ilmu mukhtalif al-hadits, yaitu ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya dan menjelaskan hakikatnya.
Kemudian, berbagai pendekatan dan sarana yang perlu diperhatikan, diantaranya:
a.    Pendekatan kebahasaan
Hal ini penting dilakukan karena Nabi SAW dalam menyampaikan berbagai hadits selalu dalam sebuah susunan yang baik dan benar. Pendekatan bahasa dalam penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadits yang bersangkutan. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah, keindahan bahasa (balaghah) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi (metaforis) sehingga berbeda dengan pengetian hakiki. Sebagai contoh adalah hadits yang bebentuk tashbih (alegory) yaitu hadits tengang persaudaraan atas dasar iman yang memiliki matan lebih dari satu dan berbeda lafadznya.
b.    Pendekatan historis
Yaitu memahami hadits dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang munculnya hadits. Contohnya hadits tentang rajam, sebagai salah satu produk Islam yang sampai saat ini masih di anggap perlu diberlakukan menurut sebagian fuqoha. Penetapan hukum rajam hanya dijumpai dari hadits yang diberlakukan bagi pelaku zina mukhson. Hadits-hadits tersebut mempunyai banyak redaksi yang berbeda namun ketika dicermati lebih lanjut ditemukan dua bentuk rajam  yang secara material berbeda bila dilihat dari sudut pandang pelakunya yaitu pelaku zina mukhson dari kalangan muslim dan pelaku zina mukhson dari kalangan non muslim.
c.    Pendekatan sosiologis
Yaitu mengkritisi matan hadis dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situsi masyarakat pada saat munculnya hadits. Sebagai contoh hadits tentang persyaratan keturunan quraisy bagi setiap imam atau kepala Negara. Mayoritas ulama menilai matan hadis ini secara tekstual ini berarti persyaratan keturunan quraisy menjadi suatu keharusan bagi orang yang menjadi kholifah. Pemberangkatan hal ini adalah dari peristiwa terpilihya Abu Bakar sebagai kholifah di saqifah bani saidah.
Namun jika demikan (pemimpin harus berasal dari kaum Quraisy) maka akan bertentangan dengan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang paling utama di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa. Maka mengutamakan suku Quraisy, melalui pendekatan sosiologis, akan terkemukakan bahwa sebagai ajaran yang bersifat temporal, karena hadits tersebut terikat dengan kondisi yang berkembang saat itu.
d.    Pendekatan sosio historis
Yaitu mengkritisi matan dengan mempertimbangkan sejarah sosial dan setting sosial pada saat dan menjelang hadits tersebut disabdakan. Sebagai contoh penerapannya adalah tentang larangan perempuan menjadi pemimpin.
e.    Pendekatan pesikiologis
Yaitu mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi psikologis Nabi dan masyarakat yang dihadapi Nabi ketika Hadits tersebut di sabdakan. Hal ini karenabagian hadits-hadits nabi disabdakan sebagai respon terhadap pertanyaan dan perilaku sahabat. Contohnya adalah hadits tentang amalan yang utama yang banyak jumlahnya dan beragam bentuknya. 

4.    Kaidah Keshohihan Matan
Banyak ulama’ telah merumuskan criteria kesahihan hadits. Namun prinsip pokok yang dipegangi oleh jumhur ulama sebagai berikut:
a.    Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
b.    Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir yang statusnya lebih kuat atau sunnah yang lebih masyhur atau hadits ahad
c.    Tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam
d.    Tidak bertentangan dengan sunnatullah
e.    Tidak bertentangan dengan fakta sejarah atau sirah nabawiyyah yang shahih
f.    Tidak bertentangan dengan indera, akal, kebenaran ilmiah atau sangat sulit diinterpretasikan secara rasional.

5.    Metode Kritik Matan
a.    Mengkomparasikan hadis dengan al-Qur’an
b.    Membandingkan antar hadits atau antara Hadits dengan sirah nabawiyyah
c.    Mengkonfirmasikan riwayat hadits denganrealita dan sejarah
d.    Mengkomparasikan hadits dengan rasio
e.    Membandingkan hadits-hadits dari berbagai murid seorang ulama
f.    Membandingkan pernyataan seorang ulama setelah berselang suatu waktu
g.    Perbandingan dokumen tertulis dengan hadits yang disampaikan dari ingatan.

6.    Langkah Kerja Kritik Matan
a.    Meneliti dan mengkeritisi Matan sesudah mengkritisi sanad
-    Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya, hal ini karena: telah terjadi kesalahan melaksanakan kritik matan, telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan kritik sanad, matan hadits yang bersangkutan telah mengalami perikwayatan secara makna yang ternyata mengalami kesalahfahaman.
-    Kaedah kesahehan matan sebagai acuan. Tidak sembarangan orang bisa melaksanakan kritik matan. 
b.    Mengkritisi teks matan
Kekeliruan yang bisa saja dialami oleh riwayat yang tsiqoh sekalipun dapat terjadi disebabkan lupa, salah paham, atau karena tidak tahu bahwa matan hadis yang bersangkutan telah berstatus mansukh oleh ayat ataupun hadis lain yang datang kemudian. Maka penting sekali melakukan mukoronah dalam mengkritisi teks matan. Metode mukoronah tidak hanya ditunjukkan pada matan-matan saja tetapi juga kepada masing-masing sanadnya.
Dengan menempuh metode mukoronah dapat diketahui apakah terjadinya perbedaan lafad pada matan masih dapat ditoleransi atau tidak. Melalui metode mukorronah juga dapat diketahui kemugkinan adanya dua hal yang dapat berpengaruh pada kedudukan matan yang bersangkutan khususnya dalam kehujahannya., yaitu:
1.    Ziyadah.
Ziyadah menurut bahasa berarti tambahan. Sedangkan dalam ilmu hadis ziyadah pada matan adalah tambahan lafadz ataupun kalimat (pernyattan yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan periwayat tertentu, sedangkan periwayat tertentu lainnya tidak mengemukakannya. Ziyadah ada tiga macam
-    Ziyadah yang berasal dari periwayat tsiqoh yang isinya bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat sikoh juga. Ziyadah tersebut ditolak dan termasuk hadis syadz
-    Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqoh yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh periwayat yang bersifat tsiqoh juga. ziyadah ini diterima.
-    Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqoh berupa sebuah lafadz yang mengandung arti tertentu sedang periwayat lainnya bersifat sikoh tidak mengemukakannya. Ziadah ini diperselisihkan para ulama ada yang menolaknya ada yang menerimanya da nada yang mengharuskan diadakan tarjikh sebelum diterima atau ditolak.
2.    Idrojh
Idrojh adalah memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat kedalam suatu matan yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyatan itu berasal dari nabi karena tidak adanya penjelasan dalam matan hadis. Bedanyan dengan ziadah adalah jika idrojh berasal dari diri periwayat sedangkan ziadah merupakan bagian tak terpisahkan dari matan hadis nabi. Hadis yang mengandung idhroj disebut hadis mudhroj.
c.    Mengkritik kandungan matan
1.    Membandingkan kandungan matan atau yang sejalan atau tidak bertentangan ada tujuh metode dalam membandingkan matan:
a)    Mengkomparasikan hadis dengan Al-qur’an
b)    Membandingkan antar hadis atau antara hadis dengan sirah nabawiyyah
c)    Mengkonfirmasikan riwayat hadis dengan realita, medis, dan sejarah
d)    Menkomparasikan hadis dengan rasio
e)    Membandingkan hadis dari berbagai murid dari seorang ulama
f)    Membandingkan pernyataan seorang ulama setelah berselang sewaktu-waktu
g)    Perbandingan dokumen tertulis dengan hadis yang disampaikan dari ingatan 
2.    Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau Nampak bertentangan
Jika terjadi demikian peneliti dituntut mampu menggunakan pendekatan-pendekatan yang sah dan tepat yang dikehendaki kandungan matan yang bersangkutan. Istilah yang diberikan ulama hadis dalam menyebut kandungan matan yang bertentangan adalah mukhtalif al hadis, mukhtalaf al-hadis, atau at taarut. Ketiga istilah tersebut mengacu pada satu pendapat bahwa hadis-hadis yang tampak bertentangan harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu.
Adapun cara penyelesaiannya pada umumnya para ulam berpegang pada empat langkah:
a)    Al-jam’u yakni mengkompromikan maksud hadis-hadis yang tampak berlawanan sehingga sama-sama dapat diamalkan
b)    At-Tarjikh yaitu penelitian untuk mencari petunjuk yang memiliki argument yang kuat
c)    An-Nasikh wa al mansukh yaitu melacak hadis yang mana yang menghapus petunjuk hadis yang lainnya
d)    At-Tawakuf yakni menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang menyelesaikannya.
d.    Menyimpulkan hasil studi kritik matan
Menyimpulkan penelitian matan harus didasarkan pada argument-argumen yang jelas yang disampaikan sebelum atau sesudah diajukan natijjah kesimpulan. Apabila matan yang diteliti ternyata shohih dan sanadnya juga shohih, maka dalam natijah dapat disebutkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas shohih. Apabila matan dan snadnya berkualitas shohih maka dalam natijah disebutkan bahwa hadis yang diteliti doif. Apabila matan dan sanad berbeda kualitasnya maka perbedaan tersebut harus dijelaskan .
 
C.    Penutup
1.    Simpulan
•    naqd al-matn atau kritik matn adalah kritik intern hadits, yaitu meneliti matan hadits sebagai isi dalam diri hadits itu sendiri untuk membedakan antara hadits yang shahih dari hadits yang dhoif.
•    Obyek studi naqd al-matn diarahkan pada: penelitian matan dengan melihat sanadnya, redaksi atau susunan lafal berbagai matan yang semakna, subtansi atau kandungan matan.
•    Langkah-langkah yang ditempuh dalam kritik matan adalah: mengkritisi sanad, mengkritisi teks matan, mengkritik kandungan matan, membandingkan kandungan matan atau yang sejalan atau tidak bertentangan, membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau nampak bertentangan, dan menyimpulkan hasil studi kritik matan.

2.    Kata Penutup
Demikianlah makalah kami yang sedikit banyak membahas naqd matn beserta metode dan langkah kerjanya. Segala kekurangan mohon maaf dan mohon koreksi. Terimaksih, semoga bermanfaat, aamiin.


Daftar Pustaka

Suryadi dan Muh. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits¸Yogyakarta: Teras, cet 1, 2009.
Umma Farida, Naqd Al-Hadits, Kudus: STAIN Kudus, 2009.

4 METODE IBNU HAJAR AL-ASQALANI DALAM MENSYARAH HADITS (STUDI ATAS KITAB FATH AL-BAARI)

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Hadits adalah wahyu ke dua setelah al-Qur’an yang memberikan penjelasan atas yang samar dalam al-Qur’an, memperinci apa yang masih global dari al-Qur’an, membatasi apa yang masih umum dalam al-Qur’an dan menguatkan hukum yang ada dalam al-Qur’an. Ia merupakan hasil dari apa yang menjadi sabdah beliau Nabi Agung Muhammad SAW., perilaku beliau dan ketetapannya. Sehingga kewajiban kaum muslimin untuk mengamalkannya adalah sebuah keniscayaan. Kendati demikian, Hadits mempunyai kesamaan dengan al-Qur’an, yakni sama-sama berbahas Arab dan muncul di Arab. Sehingga menjadikan urgen untuk memahaminya bagi siapa saja yang mengambil nilai dari keduanya, mengingat Al-Qur’an dan Hadits bukan hanya untuk masyarakat Arab namun untuk ummat Islam di seluruh penjuru dunia.
Syarah hadits yang menjelaskan akan makna yang dimaksud atau terkandung dalam sunnah atau hadits sangatlah penting. Bagaimana Hadits menjadi sumber hukum jika tidak dipahami secara akurat dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada hakikatnya syarah hadist sebagaimana dijelaskan Mujiono yang dikutip Nonkshi, yaitu menguraikan ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW., sehingga menjadi lebih jelas, baik menggunakan bahasa arab maupun bahasa lainnya. Mensyarah hadist berarti berkata atas nama Rasulullah SAW. agar ucapan, tindakan, dan ketetapan beliau lebih bisa dimengerti maksudnya dan dapat terhindarkan dari kesalahpahaman terhadapnya[1].
Setidaknya ada empat hal yang melatarbelakangi pentingnya Syarah Hadits. Pertama, oleh karena karakter kalimat yang digunakan dalam sabda Rasulullah banyak yang hal sangat mirip dengan karakter kalimat dalam Allah SWT. Kedua, tindakan Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Hadist dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang dan tidak senantiasa berkaitan dengan petunjuk wahyu. Ke tiga, Hadist merupakan sumber ajaran agama Islam. Maka untuk memahaminya perlu dilakukannya pensyarahan. Dan yang ke empat, umat Islam diwajibkan untuk berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah SAW, namun  kondisi umat Islam sekarang ini pada umumnya tidak mampu memahami Hadist secara langsung, karena untuk memahami Hadist dibutuhkan secara langsung dibutuhkan sejumlah ilmu pendukung[2].
Ketika melihat sejarah, menurut Muhammad Ibn Umar Ibn Salim Bazmul sebenarnya syarah hadits sudah ada sejak zaman Nabi SAW[3]. Bukti nyata bisa kita saksikan pada Hadits Rasul SAW yang menjelaskan tentang muflis  berikut ini.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ.[4]

Dalam hadits di atas Rasulullah SAW menjelaskan maksud atas apa yang disabdakan. Dimana menurut pemahaman para sahabat, bahwa yang dimaksud al muflis (orang yang bangkrut) adalah orang yang tidak berharta. Sedangkan yang dimaksudkan Rasul muflis adalah orang yang merugi di akhirat sebab ketika di dunia rajin ibadah dengan sholat, zakat, puasa namun dia juga menyakiti orang lain, memakan harta yang lain, sehingga akhirnya pahala kebaikannya habis untuk menebus kesalahan-kesalahannya.
Kemudian kegiatan syarah hadits dilanjutkan oleh para sahabat, tabiin dan generasi-generasi selanjutnya. Hingga sampai hadits dibukukan muncul ulama-ulama yang melaksanakan pensyarahan Hadits terhadap kitab-kitab Hadits yang telah ada. Diantara ulama yang berperan dalam pensyarahan kitab Hadits adalah beliau Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani yang memberikan syarah terhadap kitab Shohih Bukhori dengan nama kitabnya Fath al-Bari bi Syarhi Shohih al-Bukhori. Yang mana kitab Syarah ini tersebut sebagai kitab yang paling memberi banyak kontribusi pengingatan, pembangkitan terhadap ushul tafsir al-hadits.[5]
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Asqalani adalah seorang ulama besar Islam dan ia juga seorang hakim agung (Qadhi Qudhat). Beliau mengarang kitab Fath al-Baari bi Sharh Shahih al- Bukhari tersebut dengan menerangkan hadits-haditsnya, menjawab problem yang berkaitan dengan sanad dan perawi hadits, serta menerangkan perawi dan derajatnya. Beliau adalah penganut madzhab Syafi’I, oleh karna itu ada ulama yang menganggap bahwa beliau cenderung pada madzhab Syafi’I dalam mensyarah hadits-hadits Bukhari dalam kitab “Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari”.
Hal inilah yang menginspirasi peneliti untuk lebih jauh menelusuri Al-Asqalani dalam mensyarah Shohih Bukhori. Sehingga laporan penelitian ini penulis beri judul: “METODE IBNU HAJAR AL-ASQALANI DALAM MENSYARAH HADITS (STUDI ATAS KITAB FATH AL-BAARI)”.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat peneliti rumuskan pembahasan dalam penelitian ini adalah :
1.     Bagaimana metode al-Asqalani dalam mensyarah Hadits dalam Kitab Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari ?

C.   Tujuan Penelitian
Adapun yang ingin peneliti capai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui metode Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mensyarah Hadits dalam kitab Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari.

D.   Manfaat Penelitian
Setelah menentukan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penulis berharap penelitian ini mempunyai manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis meliputi:
1.   Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberi sebuah kontribusi pemikiran  dan  ikut  memperluas  wacana  keilmuan  khususnya mengenai metode Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mensyarah Hadits dalam kitab Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari.
2.   Secara sosial, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan sekaligus pertimbangan bagi semua pihak yang membutuhkan pengetahuan mengenai metode Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mensyarah Hadits.
3.   Secara kewacanaan ilmu Islam, penelitian ini diharapkan bisa ikut memperkaya khazanah karya tulis ilmiah yang telah ada serta bisa menjadi salah satu acuan untuk penelitian selanjutnya.
Adapun manfaat secara praktis adalah penelitian ini diharapkan member manfaat pada penulis pada khususnya serta masyarakat luas, bahwa pada kitab Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar telah mensyarah Hadits-hadits yang ada dalam kitab Shohih Bukhori dengan metode-metode yang digunakan beliau sendiri. Sehingga kita bisa mempelajari dan menjadikan referensi jika ingin mengetahui makna Hadits yang ada dalam Shohih Bukhori.

E.   Tinjauan Pustaka
Sepanjang penelusuaran Peneliti banyak ditemukan hasil karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang bisa diteliti. Diantaranya yaitu kitab Taqrib at-Tahdzib yang diterbitkan tahun 2010 oleh percetakan Darul Fawaid Kairo. Kitab ini berisi tentang status para perowi hadits mulai dari Shahabat hingga Atbait Tabiit Tabiin, dengan susunan abjad sehingga memudahkan para pencari dalam menelusuri tokoh yang dibutuhkan.[6]
Yang ke dua kitab Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam yang diterbitkan oleh Thoha Putera Semarang tanpa tahun. Kitab ini berisi tentang kumpulan hadits-hadits hukum yang dijadikan dalil hukum fikih mulai dari bersuci, sholat dan ibadah yang lain, muamalah, pernikahan, mawarits sampai memerdekakan budak. Namun di akhir kitab beliau juga memasukkan bab Adab yang berisi hadits-hadits akhlaq baik berupa dorongan untuk berakhlak baik dan peringatan akan akhlak buruk yang kesemuanya termaktub dalam Kitab al-Jaami’.[7]
Selanjutnya, dalam bidang Syarah Hadits, kitab Ilmu Syarh al-Hadits wa Rawafid al-Bahts fiihi karangan Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul yang merupakan kitab yang berisi kaidah-kaidah dalam mensyarah Hadits. Di dalamnya dijelaskan langkah-langkah mensyarah hadits mulai menjelaskan makna dengan sesama hadits, keterangan sahabat dan seterusnya[8]. Namun dari sekian kitab yang peneliti temui, peneliti lebih condong terhadap Fath al-Baari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, karena keluasan cakupan ilmu yang ada di dalamnya.  

F.   Sistematika Penulisan Penelitian
Untuk memberikan arahan yang jelas dalam penulisan laporan penelitian ini, perlu kiranya peneliti sebutkan gambaran sistematika penulisan laporan ini. Pada bab pertama yang berupa pendahuluan berisi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan penelitian.
Pada bab ke dua, berupa landasan teori yang di dalamnya akan peneliti jelaskan teori atau konsep tentang syarah hadits dan apa-apa yang terkait dengannya, yang nantinya peneliti jadikan pisau dalam menganalisis data yang tergali oleh peneliti.
Kemudian bab ke tiga berisi metode penelitian. Dalam bab ini dijelaskan tipe penelitian yang peneliti lakukan, sumber data yang peneliti dapatkan, bagaimana peneliti memperoleh data atau metode pengumpulan data dan terakhir metode analisis data yang dapat mengantarkan peneliti pada simpulan untuk menjawab rumusan masalah yang peneliti sebutkan terdahulu.
Dilanjutkan bab ke empat berisi pembahasan data sekaligus analisisnya. Yang pertama adalah tentang biografi Ibnu Hajar al-Asqalani dan yang ke dua adalah metode yang digunakan Al-Asqalani dalam mensyarah Hadits.
Dan yang terakhir, yakni bab ke lima, yaitu penutup yang berisi kesimpulan atas pembahasan yang merupakan jawab dari rumusan masalah dan juga saran-saran berdasarkan penelitian yang penulis lakukan.



BAB II
KERANGKA TEORI
A.    Ilmu Syarah Hadits
1.   Pengertian
Dalam kajian ini, yang dimaksud dengan ilmu  adalah kumpulan masalah-masalah dan pokok-pokok keseluruhan (al ushul al kulliyyah) yang dihubungkan denga satu arah tertentu. Kemudian, syarah diambil dari kata “syaraha, yasyrahu, syarh” dimana secara bahasa berarti menyingkap, memperjelas, memberi pemahaman dan menjelaskan[9]. Dikalangan para penulis kitab berbahasa arab, sebagaimana kita ketahui syarah adalah memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matn (matan) suatu kitab. Kitab syarah adalah kitab yang berisi penjelasan, komentar atas naskah atau matn suatu kitab, sebagai contoh kitab Syarh Ibnu ‘Aqil yang merupakan penjelasan, komentar dan juga terdapat catatan-catatn atas kitab Alfiyyah Ibnu Malik.
Sedangkan yang dimaksud hadits di sini adalah segala sesuatau yang disandarkan kepada Rasulullaah SAW. Sedangkan ia benar-benar sampai pada Nabi SAW (marfu’)[10]. Maka yang dimaksud ilmu syarh al-hadits adalah pengetahuan sekelompok masalah yang berhubungan dengan penjelasan makna-makna dan pemahaman atas segala sesuatu yang disandarkan  kepada Rasulullah SAW. Sedang yang dimaksud syarh hadits dimaksudkan pada penjelasan makna dan kandungan hadits dan yang menjadi kesempurnaannya.[11]

2.   Obyek
Ada tiga obyek yang menjadi sorotan kajian ilmu Syarh hadits
1.   Hal-hal yang berhubungan dengan isnad. Baik berupa takhrij,keterangan derajat hadits, pengetahuan tentang para perowi, penjelasan atas yang muhmal dan mubham dalam isnad secara ringkas.
2.   Hal-hal yang berhubungan dengan uraian makna lafadh-lafadh hadits yang membutuhkan penjelasan yang merujuk pada kitab-kitab bahasa dan al-ghariib.
3.   Penjelasan maksud hadits, yang para ulama berbeda-beda pemahamannnya sehingga beda pula dalam beristimbat darinya.[12]

B.  Penelitian Terdahulu
Peneliti yakin sudah banyak penelitian mengenai Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, mengingat beliau adalah termasuk ulama besar. Namun dalam penelusuran peneliti saat ini, peneliti kesulitan menemukan hasil penelitian tentang beliau maupun penelitian tentang Syarah Hadits. Yang peneliti temukan adalah contoh penelitian yang terdapat dalam buku Aplikasi Penelitian Hadis karangan Dr. M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag. Dalam buku itu dicontohkan bagaimana meneliti Hadits di bidang kitab tertentu dalam hazanah Islam. Beliau membuat contoh dengan judul Bulugh al-Maram Min Adillat al-Ahkam Karya Ibn Hajar Al-Asqalani. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bagaiman Ibnu Hajar mendesain kitab Bulugh al-Maram sedemikan rupa. Kitab yang berisi kumpulan Hadits hukum ini disusun berdasarkan bab-bab yang mirip dengan kajian kitab-kitab fikih yang berkembang dalam sejarahnya.[13]
BAB III
METODE PENELITIAN

A.  Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti lakuan ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang sumber datanya dikumpulkan dari bahan-bahan pustaka, bisa berupa buku, surat kabar, dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan obyek atau sasaran penelitian.[14]
Sehingga sumber data primer yang peneliti gunakan adalah kitab Fath al Baari bi Syarh Shohih al Bukhari karya beliau Syaikh Al-Hafidh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalani yang juga di dukung dengan data-data sekunder yang peneliti dapatkan dari beberapa literature terkait di perpustakaan juga dalam website.

B.  Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang melibatkan sumber data-data dokumen, baik dari dokumen pribadi maupun dokumen resmi, termasuk semua sumber tertulis dan literatusr-literatur lainnya.[15]

C.  Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data yang ada, langkah peneliti adalah sebagai berikut :
1.     Reduksi data yakni merangkum data-data yang ada kemudian data tersebut dipilih dan diseleksi sesuai dengan focus penelitian, dan dicari pola-polanya
2.     Klasifikasi data berdasarkan ciri dan kategori yang telah ditetapkan
3.     Melakukan display data. Menganalisisnya dengan mencakup Verstehen, interpretasi dan yang lainnya hingga sampai pada penemua jawaban atas permasalah yang telah peneliti rumuskan.[16]


BAB IV
PEMBAHASAN
A.  Biografi Ibnu Hajar Al-Asqalani
1.   Kelahiran dan Pertumbuhan
Nama lengkap Ibnn Hajar al ‘Asqalani adalah al Imam al Hafizh Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani[17], asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah. Beliau menjadi ketua para qadhi, seorang Syaikhul Islam, seorang hafizh secara mutlak, amirul mukminin dalam bidang hadist dan dijuluki syihabuddin dengan nama pangilan (kuniyahnya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau dilahirkan tanggal 22 Sya’ban tahun 773 Hijriyah dipinggiran sungai Nil di Mesir. Tempat tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al- Jadid. 
Ibnu hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim. Ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ibnu hajar menjadi seorang yang sangat iffah (menjaga diri dari dosa)[18], sangat berhati-hati dan mandiri dibawah asuhan Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Namun hidup Ibnu Hajar sengsara dalam pengasuhannya dan kurang perhatian dalam mengurus pendidikannya. Ibnu hajar menyertai Az-Zaki ketika ia tinggal di mekkah hingga akhirnya ia memasukkan ibnu hajar ke Al- Maktab (sekolah untuk belajar dan menghafal al-Qur’an ) ketika dia berumur lima tahun[19].
Salah seorang gurunya disitu ialah Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, Ibnu Hajar belum berhasil menghafal al-Qur’an sampai beliau diajar oleh seorang ahli fikih dan pengajar sejati yaitu Shadrudin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya Ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya ketika berumur sembilan tahun. Ketika Ibnu Hajar berumur dua belas tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785H. Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784H, Ibnu Hajar menyertainya sampai tahun 786H Ibnu Hajar menyertai Al-Kharubi sampai di Mesir. Di Mesir Ibnu Hajar benar-benar berusaha sungguh-sungguh. Dia menghafal beberapa kitab yakni al-‘Umdah, al-Hawi al-Shoghir, Mukhtashor ibn al-Hajib al-Ashli. Mulahh al-I’rob dan yang lainnya[20].
Ibnu Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H, yang bertepatan dengan tanggal 22 Februari 1449 M di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu nafi’ (yang bermanfaat) dan amal shalih. Beliau dimakamkan di Qarafah ash-Shugra. [21]

2.   Perjalanan Ilmiah Ibnu Hajar
Perjalanan ilmiah Ibnu Hajar sangatlah panjang. Walaupun beliau yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau melakukan perjalanan ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu. Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:
Pertama, di dua tanah haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.

Kedua, di Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.
Ketiga, di Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah. Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat. Dan yang ke empat, di Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.[22]

3.   Para Guru dan Murid
Guru-guru Ibnu Hajar al ‘Asqalani sangatlah banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur. yaitu, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari), al-Makki ( 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al-Makki (717 H), Abul Hasan al-Haitsami (807 H), Ibnul Mulaqqin (804 H), Sirajuddin al-Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H), Abul-Fadhl al-‘Iraqi (806 H), ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah, al-‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, al-Hummam al-Khawarizmi Rahimahullah.
Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, Ibnu Hajar belajar kepada al-Fairuz Abadi Rahimahullah, Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atussab’, beliau belajar kepada al-Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits.
Adapun murid-murid Ibnu Hajar datang dari berbagai penjuru, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Dianaranya, Imam ash-shakhawi (902 H), al-Biqa’i (885 H), Zakaria al-Anshari (926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (874 H), Ibnu Taghri Burdi (874 H), Ibnu Fahd al-Makki (871 H), al-Kamal bin Hamam (861 H), Abu al-Fadhal bin Syahnah (890 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.[23]


4.   Hasil Karya Ibnu Hajar
Ibnu Hajar memulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekti ajalnya. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Bahkan menurut Imam asy-Syakhawi dalam kitabnya Al-Jawhar wa Ad-Durar menyebutkan karya Ibnu Hajar mencapai lebih dari 270 kitab. As-Suyuthi dalam kitabnya Nazham Al-Uqyan menyebutkan karangannya berjumlah 198 kitab. Al-Baqa’ mengatakan karangannya berjumlah 142 dan Haji Khalifah dalam kitabnya Kasyfu Azh-Zhunun mengatakan, bahwa karangannya berjumlah 100 kitab.
Di antara karya beliau yang terkenal ialah, dalam bidang ‘Ulum Al-Qur’an, beliau menulis Asbab an-Nuzul, Al-Itqan fi jam’ Ahadits Fadha’I Al-Qur’an, Ma fi Waqa’a Al-Qur’an Min Ghayr Lughat an-Nazhar. Dalam bidang ‘Ulum Al-Hadits, beliau menulis Nukhbat al-Fikr, Nuzhat an-Nazhar an-Nukat. Dalam bidang Fiqih, beliau menulis Bulugh al-Maram. Dalam bidang Syarah Hadits, beliau menulis Fath al-Baari. Dalam bidang Rijal, beliau menulis Tahdzib at-Tahdzib Taqrib at-Tahdzib, Lisan al-Mizan, dan Al-Ishabah.[24]

5.   Pendapat Para Ulama
Al-Hafizh As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”
Al-Iraqi berkata “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yang dhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhoif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif pendek. ” Dan masih banyak lagi Ulama yang memuji dia, dengan kepandaian Ibnu Hajar.[25]

B.  Tehnik Ibnu Hajar dalam Penginterpretasian kitab Syarah Hadits Fath al-Baari


Penulisan kitab ini menghabiskan waktu seperempat abad. Dimulai tahun 817 H dan selesai tahun 842 H. Maka tidak mengherankan bila kitab itu paling bagus, teliti dan sempurna. Selain itu, penulisannya dilakukan oleh penyusunnya dengan penuh keikhlasan.
Kitab syarah ini terdiri dari 13 jilid ditambah satu jilid muqadimah. Kitab itu sudah berulangkali dicetak di India dan di Mesir. Cetakan yang terbaik di terbitkan oleh Bulaq. Demikian keterangan menurut Dr. Abu Syuhbah. Kitab ini selalu mendapatkan sambutan hangat dari para ulama, baik pada masa dulu maupun sekarang, dan selalu menjadi kitab rujukan. Al-Allamah Syaikh Muhammad bin Ali as-San’ani asy-Syaukani, wafat tahun 1255 H, penulis kitab Nailul Authar, ketika diminta menulis kitab Syarah Shahih Bukhari, beliau mengagumi Ibnu Hajar. Beliau mengutip sebuah hadits “La hijrah ba’dal fathi” . Beliau meminjam istilah dari hadits itu sebagai ungkapan bahwa tidak ada kitab syarah shahih Bukhari yang melebihi Fathul Bari.[26]
Perlu pula kiranya diketahui bahwa Shahih Bukhari terdiri dari beberapa kitab. Dimulai dengan bab permulaan wahyu, yang menjadi dasar utama bagi syariat Islam. Kemudian disusul dengan kitab Iman, Kitab Ilmi, Kitab Thaharah, Kitab Shalat, kitab Zakat dan seterusnya. Dalam kitab ini juga dimuat mengenai para penguasa dan para hakim. Kemudian kitab I’tisam bil kitab was sunnah dan yang terakhir adalah kitab Tauhid, sebagai penutup kitab shahihnya yang terdiri dari 97 kitab dan 3.450 bab.
Dalam mensyarah ada ketentuan-ketentuan yang haus dilakukan oleh semua yang akan mensyarah hadis suatu hadis, baik hadis qawli maupun fi’li, yaitu:
1.   Apabila hadis yang akan disyarah itu diriwiyatkan melalui jalur sanad yang lebih dari satu atau terdapat pada beberapa kitab, maka tidak cukup hanya berpegang kepada satu riwayat, tanpa memperhatikan riwayat lain sama sekali, melainkan sedapat mungkin seluruh riwayat tersebut ditelaah untuk kemudian ditetapkan salah satunya sebagai hadis pokok yang disyarah, lalu hadis yang lain disinggung dalam syarah sebagai data pendukung. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: pertama, apabila tema hadis-hadis tersebut sama, namun periwayatannya berbeda-beda, maka pada setiap sanad-sanadnya saling menguatkan. Ke dua, apabila tema hadis-hadis tersebut sama, namun namun kata-katanya berbeda, baik dari sisi I’rabnya maupun sharafnya, maka kata-kata yang berbeda dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan makna dan dalam mensyarahnya. Ke tiga, apabila tema hadis-hadis tersebut  sama, namun pada sebagian riwayat terdapat tambahan sejumlah kata atau kalimat, atau bahkan dalam sebagian riwayat digabungkan dengan tema-tema lain atau disertai sabab al-wurud, maka kata-kata tambahan tersebut apabila terdapat pada riwayat orang-orang yang paling tsiqat, dapat diterima.
2.   Apabila perbedaan di antara riwayat-riwayat tersebut sangat jauh, hingga tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut dinilai mukhtalif dan diselesaikan dengan tarjih, nasakh, atau cara yang lain lagi. [27]
Dalam muqaddimahnya, Ibnu Hajar menyebutkan langkah-langkah beliau dalam mensyarah Kitab Hadits Shohih Bukhori
1.   Mengumpulkan hadits-hadits dalam bab-bab
2.   Menyebutkan hubungan munasabat diantara keduanya meskipun samar
3.   Menjelaskan keshohihan hadits baik dari segi matan maupun sanad. Menjelaskan tadlis dengan mendengar dan mengikuti orang yang mendengar dari syaikh  yang bercampur sebelumnya. Dengan meninjau kepada kitab-kitab musnad, jawami’, mustakhrijat, ajza’, dan fawaid dengan memenuhi syarat keshohihan atau hasan dari apa yang didapatnya.
4.   Menyambung sanad-sanad yang terputus
5.   Menjelaskan makna lafadh-lafadh yang sulit dipahami
6.   Menjelaskan hasil-hasil istinbath para imam dari hadits baik berupa  hukum-hukum fikih, mauidhoh zuhud, adab yang terjaga, seraya hanya mengambil pendapat yang rojih.
7.   Menjelaskan hikmah diulanginya hadits dalam berbagai bab jika terdapat pengulangan matan.[28]   
Adapun metode tehknik interpretasi kitab Syarah Fathul Baari memakai metode tahlily. Yaitu menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan kecendrungan dan keahlian pensyarah. Model pensyarahan hadis dengan metode Tahlili, seorang pensyarah hadis mengkuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah termasuk Ibnu Hajar yang mengikuti al-Bukhori dalam al-jami’ as-Shohihnya. Pensyarah hadis memulai penjelasannya kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis, seperti kosa kata, konotasi kalimatnya latar belakang turunnya hadis (bila ditemukan), kaitannya dengan hadis lain dan pendapat – pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis.
Ada dua bentuk pensyarahan dengan menggunakan metode tahlili, Pertama, berbentuk ma’sur (riwayat). Syarah yang berbentuk ma’sur ini ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in atau ulama’ hadis dalam penjelasan terhadap hadis yang disyarahi. Kedua, ra’y (pemikiran Rasional). Pensyarahan ini banyak didominasis pemikiran pengsyarahnya.[29]
Jika kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili, baik yang berbentuk ma’tsur atau ra’y di cermati dapat diketahui ciri-ciri pensyarahan yang dilakukan mengikuti pola menjelaskan makna yang terkandung dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh yakni mengunakan metode sebagai berikut:
1.   Hadist dijelaskan kata demi kata
2.   Hadist dijelaskan kalimat demi kalimat secara beruntun
3.   Menerangkan sabab al-wurud (latar belakang turunnya sebuah hadis) hadis yang dipahami jika hadist tersebut memiliki sabab al-wurud.
4.   Diuraikan pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh sahabat, tabi’i, tabi al-tabi’in, dan para ahli syarah hadist lainnya dari berbagai displin ilmu.
5.   Dijelaskan munasabah (hubuangan) hadist satu dengan hadist yang lainnya.
6.   Kadangkala pengsyarahan di warnai kecenderungan terhadap madzhab tertentu.[30]
Atas pernyataan diatas Model pendekatan yang digunakan dalam syarh Fathul Baari dari uraian tersebut berarti menggunakan model pendekatan linguistik, multi disipliner, dan historis.
Dengan menggunakan Syarh Tahlili, Fath al-Baari memiliki kelebihan dibanding metode syarh lainnya, kelebihan yang dimiliki metode ini antara lain:
1.   Ruang lingkup pembahasan metode tahlili sangat luas, karena dapat mencakup berbagai aspek: kata, frasa, kalmat, asbab al-wurud, munasabah, dan lain sebagainya yang dapat digunakan dalam bentuk yang ma’tshur.
2.   Metode ini memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarh untuk menuangkan sebanyak mungkin ide atau gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulama.[31]

C.  Contoh Pensyarahan

بَاب الِاغْتِبَاطِ فِي الْعِلْمِ وَالْحِكْمَةِ وَقَالَ عُمَرُ تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَبَعْدَ أَنْ تُسَوَّدُوا وَقَدْ تَعَلَّمَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي كِبَرِ سِنِّهِمْ[32]
قَوْله : ( بَاب الِاغْتِبَاط فِي الْعِلْم (بِالْغَيْنِ الْمُعْجَمَة .قَوْله : ( فِي الْعِلْم وَالْحِكْمَة (فِيهِ نَظِير مَا ذَكَرْنَا فِي قَوْله بِالْمَوْعِظَةِ وَالْعِلْم ، لَكِنَّ هَذَا عَكْس ذَاكَ ، أَوْ هُوَ مِنْ الْعَطْف التَّفْسِيرِيّ إِنْ قُلْنَا إِنَّهُمَا مُتَرَادِفَانِ .قَوْله : ( وَقَالَ عُمَر : تَفَقَّهُوا قَبْل أَنْ تُسَوَّدُوا(هُوَ بِضَمِّ الْمُثَنَّاة وَفَتْح الْمُهْمَلَة وَتَشْدِيد الْوَاو أَيْ : تُجْعَلُوا سَادَة . زَادَ الْكُشْمِيهَنِيّ فِي رِوَايَته : " قَالَ أَبُو عَبْد اللَّه " أَيْ : الْبُخَارِيّ : " وَبَعْد أَنْ تُسَوَّدُوا - إِلَى قَوْله - سِنّهمْ " . أَمَّا أَثَر عُمَر فَأَخْرَجَهُ اِبْن أَبِي شَيْبَة وَغَيْره مِنْ طَرِيق مُحَمَّد بْن سِيرِينَ عَنْ الْأَحْنَف بْن قَيْس قَالَ : قَالَ عُمَر . فَذَكَرَهُ ، وَإِسْنَاده صَحِيح ، وَإِنَّمَا عَقَّبَهُ الْبُخَارِيّ بِقَوْلِهِ : " وَبَعْد أَنْ تُسَوَّدُوا " لِيُبَيِّنَ أَنْ لَا مَفْهُوم لَهُ خَشْيَة أَنْ يَفْهَم أَحَد مِنْ ذَلِكَ أَنَّ السِّيَادَة مَانِعَة مِنْ التَّفَقُّه ، وَإِنَّمَا أَرَادَ عُمَر أَنَّهَا قَدْ تَكُون سَبَبًا لِلْمَنْعِ ؛ لِأَنَّ الرَّئِيس قَدْ يَمْنَعهُ الْكِبْر وَالِاحْتِشَام أَنْ يَجْلِس مَجْلِس الْمُتَعَلِّمِينَ ، وَلِهَذَا قَالَ مَالِك عَنْ عَيْب الْقَضَاء : إِنَّ الْقَاضِي إِذَا عُزِلَ لَا يَرْجِع إِلَى مَجْلِسه الَّذِي كَانَ يَتَعَلَّم فِيهِ . وَقَالَ الشَّافِعِيّ : إِذَا تَصَدَّرَ الْحَدَث فَاتَهُ عِلْم كَثِير . وَقَدْ فَسَّرَهُ أَبُو عُبَيْد فِي كِتَابه : " غَرِيب الْحَدِيث " فَقَالَ : مَعْنَاهُ تَفَقَّهُوا وَأَنْتُمْ صِغَار ، قَبْل أَنْ تَصِيرُوا سَادَة فَتَمْنَعكُمْ الْأَنَفَة عَنْ الْأَخْذ عَمَّنْ هُوَ دُونكُمْ فَتَبْقُوا جُهَّالًا . وَفَسَّرَهُ شَمِر اللُّغَوِيّ بِالتَّزَوُّجِ ، فَإِنَّهُ إِذَا تَزَوَّجَ صَارَ سَيِّد أَهْله ، وَلَا سِيَّمَا إِنْ وُلِدَ لَهُ . وَقِيلَ : أَرَادَ عُمَر الْكَفّ عَنْ طَلَب الرِّيَاسَة لِأَنَّ الَّذِي يَتَفَقَّه يَعْرِف مَا فِيهَا مِنْ الْغَوَائِل فَيَجْتَنِبهَا . وَهُوَ حَمْل بَعِيد ، إذْ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ : " تُسَوَّدُوا " السِّيَادَة ، وَهِيَ أَعَمّ مِنْ التَّزْوِيج ، وَلَا وَجْه لِمَنْ خَصَّصَهُ بِذَلِكَ ؛ لِأَنَّهَا قَدْ تَكُون بِهِ وَبِغَيْرِهِ مِنْ الْأَشْيَاء الشَّاغِلَة لِأَصْحَابِهَا عَنْ الِاشْتِغَال بِالْعَمَلِ . وَجَوَّزَ الْكَرْمَانِيُّ أَنْ يَكُون مِنْ السَّوَاد فِي اللِّحْيَة فَيَكُون أَمْرًا لِلشَّابِّ بِالتَّفَقُّهِ قَبْل أَنْ تَسْوَدّ لِحْيَته ، أَوْ أَمْرًا لِلْكَهْلِ قَبْل أَنْ يَتَحَوَّل سَوَاد اللِّحْيَة إِلَى الشَّيْب . وَلَا يَخْفَى تَكَلُّفه . وَقَالَ اِبْن الْمُنِير : مُطَابَقَة قَوْل عُمَر لِلتَّرْجَمَةِ أَنَّهُ جَعَلَ السِّيَادَة مِنْ ثَمَرَات الْعِلْم ، وَأَوْصَى الطَّالِب بِاغْتِنَامِ الزِّيَادَة قَبْل بُلُوغ دَرَجَة السِّيَادَة . وَذَلِكَ يُحَقِّق اِسْتِحْقَاق الْعِلْم بِأَنْ يُغْبَط صَاحِبه ، فَإِنَّهُ سَبَب لِسِيَادَتِهِ . كَذَا قَالَ . وَاَلَّذِي يَظْهَر لِي أَنَّ مُرَاد الْبُخَارِيّ : أَنَّ الرِّيَاسَة وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا يُغْبَط بِهَا صَاحِبهَا فِي الْعَادَة لَكِنَّ الْحَدِيث دَلَّ عَلَى أَنَّ الْغِبْطَة لَا تَكُون إِلَّا بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ : الْعِلْم ، أَوْ الْجُود ، وَلَا يَكُون الْجُود مَحْمُودًا إِلَّا إِذَا كَانَ بِعِلْمٍ . فَكَأَنَّهُ يَقُول : تَعَلَّمُوا قَبْل حُصُول الرِّيَاسَة لِتُغْبَطُوا إِذَا غُبِطْتُمْ بِحَقٍّ . وَيَقُول أَيْضًا : إِنْ تَعَجَّلْتُمْ الرِّيَاسَة الَّتِي مِنْ عَادَتهَا أَنْ تَمْنَع صَاحِبهَا مِنْ طَلَب الْعِلْم فَاتْرُكُوا تِلْكَ الْعَادَة وَتَعَلَّمُوا الْعِلْم لِتَحْصُل لَكُمْ الْغِبْطَة الْحَقِيقِيَّة . وَمَعْنَى الْغِبْطَة تَمَنِّي الْمَرْء أَنْ يَكُون لَهُ نَظِير مَا لِلْآخَرِ مِنْ غَيْر أَنْ يَزُول عَنْهُ ، وَهُوَ الْمُرَاد بِالْحَسَدِ الَّذِي أُطْلِقَ فِي الْخَبَر كَمَا سَنُبَيِّنُهُ [33].
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَلَى غَيْرِ مَا حَدَّثَنَاهُ الزُّهْرِيُّ قَالَ سَمِعْتُ قَيْسَ بْنَ أَبِي حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا[34]
قَوْله : ( حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْن أَبِي خَالِد عَلَى غَيْر مَا حَدَّثَنَاهُ الزُّهْرِيّ (يَعْنِي أَنَّ الزُّهْرِيّ حَدَّثَ سُفْيَان بِهَذَا الْحَدِيث بِلَفْظِ غَيْر اللَّفْظ الَّذِي حَدَّثَهُ بِهِ إِسْمَاعِيل ، وَرِوَايَة سُفْيَان عَنْ الزُّهْرِيّ أَخْرَجَهَا الْمُصَنِّف فِي التَّوْحِيد عَنْ عَلِيّ بْن عَبْد اللَّه عَنْهُ قَالَ : قَالَ الزُّهْرِيّ عَنْ سَالِم . وَرَوَاهَا مُسْلِم عَنْ زُهَيْر بْن حَرْب ، وَغَيْره عَنْ سُفْيَان بْن عُيَيْنَة قَالَ : حَدَّثَنَا الزُّهْرِيّ عَنْ سَالِم عَنْ أَبِيهِ . سَاقَهُ مُسْلِم تَامًّا ، وَاخْتَصَرَهُ الْبُخَارِيّ . وَأَخْرَجَهُ الْبُخَارِيّ أَيْضًا تَامًّا فِي فَضَائِل الْقُرْآن مِنْ طَرِيق شُعَيْب عَنْ الزُّهْرِيّ حَدَّثَنِي سَالِم بْن عَبْد اللَّه بْن عُمَر . . . فَذَكَرَهُ وَسَنَذْكُرُ مَا تَخَالَفَتْ فِيهِ الرِّوَايَات بَعْد إِنْ شَاءَ اللَّه تَعَالَى .[35]
قَوْله . ( قَالَ سَمِعْت (الْقَائِل هُوَ إِسْمَاعِيل عَلَى مَا حَرَّرْنَاهُ .قَوْله : ( لَا حَسَدَ (الْحَسَد تَمَنِّي زَوَال النِّعْمَة عَنْ الْمُنْعَم عَلَيْهِ ، وَخَصَّهُ بَعْضهمْ بِأَنْ يَتَمَنَّى ذَلِكَ لِنَفْسِهِ ، وَالْحَقّ أَنَّهُ أَعَمّ ، وَسَبَبه أَنَّ الطِّبَاع مَجْبُولَة عَلَى حُبّ التَّرَفُّع عَلَى الْجِنْس ، فَإِذَا رَأَى لِغَيْرِهِ مَا لَيْسَ لَهُ أَحَبَّ أَنْ يَزُول ذَلِكَ عَنْهُ لَهُ لِيَرْتَفِع عَلَيْهِ ، أَوْ مُطْلَقًا لِيُسَاوِيه . وَصَاحِبه مَذْمُوم إِذَا عَمِلَ بِمُقْتَضَى ذَلِكَ مِنْ تَصْمِيم أَوْ قَوْل أَوْ فِعْل . وَيَنْبَغِي لِمَنْ خَطَرَ لَهُ ذَلِكَ أَنْ يَكْرَههُ كَمَا يَكْرَه مَا وُضِعَ فِي طَبْعه مِنْ حُبّ الْمَنْهِيَّات . وَاسْتَثْنَوْا مِنْ ذَلِكَ مَا إِذَا كَانَتْ النِّعْمَة لِكَافِرٍ أَوْ فَاسِق يَسْتَعِين بِهَا عَلَى مَعَاصِي اللَّه تَعَالَى . فَهَذَا حُكْم الْحَسَد بِحَسَبِ حَقِيقَته ، وَأَمَّا الْحَسَد الْمَذْكُور فِي الْحَدِيث فَهُوَ الْغِبْطَة ، وَأَطْلَقَ الْحَسَد عَلَيْهَا مَجَازًا ، وَهِيَ أَنْ يَتَمَنَّى أَنْ يَكُون لَهُ مِثْل مَا لِغَيْرِهِ مِنْ غَيْر أَنْ يَزُول عَنْهُ ، وَالْحِرْص عَلَى هَذَا يُسَمَّى مُنَافَسَة ، فَإِنْ كَانَ فِي الطَّاعَة فَهُوَ مَحْمُود ، وَمِنْهُ - ( فَلْيَتَنَافَسْ الْمُتَنَافِسُونَ ) . وَإِنْ كَانَ فِي الْمَعْصِيَة فَهُوَ مَذْمُوم ، وَمِنْهُ : " وَلَا تَنَافَسُوا " . وَإِنْ كَانَ فِي الْجَائِزَات فَهُوَ مُبَاح ، فَكَأَنَّهُ قَالَ فِي الْحَدِيث : لَا غِبْطَة أَعْظَم - أَوْ أَفْضَل - مِنْ الْغِبْطَة فِي هَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ - وَوَجْه الْحَصْر أَنَّ الطَّاعَات إِمَّا بَدَنِيَّة أَوْ مَالِيَّة أَوْ كَائِنَة عَنْهُمَا ، وَقَدْ أَشَارَ إِلَى الْبَدَنِيَّة بِإِتْيَانِ الْحِكْمَة وَالْقَضَاء بِهَا وَتَعْلِيمهَا ، وَلَفْظ حَدِيث اِبْن عُمَر : " رَجُل آتَاهُ اللَّه الْقُرْآن فَهُوَ يَقُوم بِهِ آنَاء اللَّيْل وَآنَاء النَّهَار " وَالْمُرَاد بِالْقِيَامِ بِهِ الْعَمَل بِهِ مُطْلَقًا ، أَعَمّ مِنْ تِلَاوَته دَاخِل الصَّلَاة أَوْ خَارِجهَا وَمِنْ تَعْلِيمه ، وَالْحُكْم وَالْفَتْوَى بِمُقْتَضَاهُ ، فَلَا تَخَالُف بَيْن لَفْظَيْ الْحَدِيثَيْنِ . وَلِأَحْمَد مِنْ حَدِيث يَزِيد بْن الْأَخْنَس السُّلَمِيّ : " رَجُل آتَاهُ اللَّه الْقُرْآن فَهُوَ يَقُوم بِهِ آنَاء اللَّيْل وَآنَاء النَّهَار ، وَيَتَّبِع مَا فِيهِ " . وَيَجُوز حَمْل الْحَسَد فِي الْحَدِيث عَلَى حَقِيقَته عَلَى أَنَّ الِاسْتِثْنَاء مُنْقَطِع ، وَالتَّقْدِير نَفْي الْحَسَد مُطْلَقًا ، لَكِنْ هَاتَانِ الْخَصْلَتَانِ مَحْمُودَتَانِ ، وَلَا حَسَدَ فِيهِمَا فَلَا حَسَدَ أَصْلًا [36].
قَوْله : ( إِلَّا فِي اِثْنَتَيْنِ(كَذَا فِي مُعْظَم الرِّوَايَات " اِثْنَتَيْنِ " بِتَاءِ التَّأْنِيث ، أَيْ : لَا حَسَدَ مَحْمُود فِي شَيْء إِلَّا فِي خَصْلَتَيْنِ . وَعَلَى هَذَا فَقَوْله : " رَجُل " بِالرَّفْعِ ، وَالتَّقْدِير خَصْلَة رَجُل حُذِفَ الْمُضَاف وَأُقِيمَ الْمُضَاف إِلَيْهِ مَقَامه . وَلِلْمُصَنِّفِ فِي الِاعْتِصَام : " إِلَّا فِي اِثْنَيْنِ . وَعَلَى هَذَا فَقَوْله : " رَجُل " بِالْخَفْضِ عَلَى الْبَدَلِيَّة أَيْ : خَصْلَة رَجُلَيْنِ ، وَيَجُوز النَّصْب بِإِضْمَارِ أَعْنِي وَهِيَ رِوَايَة اِبْن مَاجَهْ .قَوْله : ( مَالًا (نَكَّرَهُ لِيَشْمَل الْقَلِيل وَالْكَثِير قَوْله : ( فَسُلِّطَ (كَذَا لِأَبِي ذَرّ ، وَلِلْبَاقِينَ فَسَلَّطَهُ ، وَعَبَّرَ بِالتَّسْلِيطِ لِدَلَالَتِهِ عَلَى قَهْر النَّفْس الْمَجْبُولَة عَلَى الشُّحّ .قَوْله : ( هَلَكَته (بِفَتْحِ اللَّام وَالْكَاف أَيْ : إِهْلَاكه ، وَعَبَّرَ بِذَلِكَ لِيَدُلّ عَلَى أَنَّهُ لَا يُبْقِي مِنْهُ شَيْئًا . وَكَمَّلَهُ بِقَوْلِهِ : " فِي الْحَقّ " أَيْ : فِي الطَّاعَات لِيُزِيلَ عَنْهُ إِيهَام الْإِسْرَاف الْمَذْمُوم .قَوْله : ( الْحِكْمَة (اللَّام لِلْعَهْدِ ؛ لِأَنَّ الْمُرَاد بِهَا الْقُرْآن عَلَى مَا أَشَرْنَا إِلَيْهِ قَبْل ، وَقِيلَ : الْمُرَاد بِالْحِكْمَةِ كُلّ مَا مَنَعَ مِنْ الْجَهْل وَزَجَرَ عَنْ الْقَبِيح .
( فَائِدَة ) :
زَادَ أَبُو هُرَيْرَة فِي هَذَا الْحَدِيث مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِالْحَسَدِ الْمَذْكُور هُنَا الْغِبْطَة كَمَا ذَكَرْنَاهُ ، وَلَفْظه : " فَقَالَ رَجُل لَيْتَنِي أُوتِيت مِثْل مَا أُوتِيَ فُلَان ، فَعَمِلْت مِثْل مَا يَعْمَل " أَوْرَدَهُ الْمُصَنِّف فِي فَضَائِل الْقُرْآن . وَعِنْد التِّرْمِذِيّ مِنْ حَدِيث أَبِي كَبْشَة الْأَنْمَارِيّ - بِفَتْحِ الْهَمْزَة وَإِسْكَان النُّون - أَنَّهُ سَمِعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول . . فَذَكَرَ حَدِيثًا طَوِيلًا فِيهِ اِسْتِوَاء الْعَالِم فِي الْمَال بِالْحَقِّ وَالْمُتَمَنِّي فِي الْأَجْر ، وَلَفْظه : " وَعَبْد رَزَقَهُ اللَّه عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقهُ مَالًا ، فَهُوَ صَادِق النِّيَّة يَقُول : لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْت مِثْل مَا يَعْمَل فُلَان ، فَأَجْرهمَا سَوَاء " ، وَذَكَرَ فِي ضِدّهمَا : " أَنَّهُمَا فِي الْوِزْر سَوَاء " وَقَالَ فِيهِ : حَدِيث حَسَن صَحِيح . وَإِطْلَاق كَوْنهمَا سَوَاء يَرُدّ عَلَى الْخَطَّابِيّ فِي جَزْمه بِأَنَّ الْحَدِيث يَدُلّ عَلَى أَنَّ الْغَنِيّ إِذَا قَامَ بِشُرُوطِ الْمَال كَانَ أَفْضَل مِنْ الْفَقِير . نَعَمْ يَكُون أَفْضَل بِالنِّسْبَةِ إِلَى مَنْ أَعْرَضَ وَلَمْ يَتَمَنَّ ؛ لَكِنَّ الْأَفْضَلِيَّة الْمُسْتَفَادَة مِنْهُ هِيَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى هَذِهِ الْخَصْلَة فَقَطْ لَا مُطْلَقًا . وَسَيَكُونُ لَنَا عَوْدَة إِلَى الْبَحْث فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَة فِي حَدِيث : " الطَّاعِم الشَّاكِر كَالصَّائِمِ الصَّابِر " حَيْثُ ذَكَرَهُ الْمُؤَلِّف فِي كِتَاب الْأَطْعِمَة إِنْ شَاءَ اللَّه تَعَالَى[37]

Dari contoh interpretasi diatas, terlihat bahwa begitu luas, lengkap, dan komprehensif  Ibnu Hajar memberikan penjelasan Hadits, baik dari sanad, perbedaan matan yang muncul, hubungan judul bab dengan isi hadits, hikmah yang dapat diambil. Dan juga beliau menyebutkan atsar dari Sayyidina Umar dengan penjelasan yang gamblang juga.
Dalam hal sanad dijelaskan bahwa perowi az-Zuhri meriwayatkan Hadits kepada Sufyan dengan lafadh yang berbeda dengan lafadh yang diterima Ismail darinya. Adapun riwayat Sufyan dikeluarkan Mushonnif dalam bab tauhid dari jalur Ali bin Abdillah.
Kemudian tentang arti lafadh. Pertama yang dijelaskan Ibnu Hajar disini adalah lafadh الْحَسَد yang dijelaskan bahwa artinya adalah mengharap hilangnya nikmat dari orang yang menerima nikmat, sebagian ulama menghususkan arti lafadh tersebut dengan keinginan nikmat itu hanya untuk dirinya (pelaku hasad). Adapun penyebabnya adalah watak manusia yang selalu ingin lebih tinggi derajatnya dari yang lain (sesamanya), maka ketika melihat yang lain mempunyai apa yang tidak ia miliki dia akan mengharapkan hal itu hilang supaya dia bisa mengunggulinya, atau menyamainya.
Lanjutnya, orang yang mempunyai sifat demikian menjadi tercela. Sayogyanya, ketika datang perasaan demikian (dengki), hendaklah membencinya sebagaimana membenci ketika diletakkan di dalam dirinya  watak suka terhadap hal-hal yang terlarang. Kecuali ketika nikmat itu ada pada orang kafir ata fasiq dan digunakan untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Ini adalah hasad yang sebenarnya.
Sedangkan hasad yang dimaksud dalam hadits ini adalah الْغِبْطَة. Sedangkan pemakaian kata hasad adalah bentuk majaz. Ghibtoh artinya berharap untuk dapat menyamai orang yang diberi kenikmatan/kebaikan tanpa mengharap hilangnya kenikmatan itu dari pemiliknya. Semangat di sini desebut مُنَافَسَة. Apabila munafasah ini dalam hal ketaatan maka terpuji, akan tercela apabila munafasah ada dalam kemaksiatan, dan akan mubah jika dalam hal-hal yang diperbolehkan. Seakan dikatan:”tiada ghibtoh lebih agung/utama daripada terhadap dua hal ini”. Hal ini karena ketaatan itu ada kalanya badaniyyah atau maliyyah atau gabungan keduanya. Yang badaniyyah diisyaratkan  dengan mendatangi ilmu/hikmah dan mengajarkannya.
Kemudian Ibnu Hajar juga menjelaskan beberapa redaksi matan hadits yang seirama maknanya dengan hadits ini. Yakni apa yang terdapat dari Ibnu Umar dan Yazid bin Akhnas as-Sulami oleh Imam Ahmad. yaitu:
: " رَجُل آتَاهُ اللَّه الْقُرْآن فَهُوَ يَقُوم بِهِ آنَاء اللَّيْل وَآنَاء النَّهَا
Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan fungsi kata مَالًا yang dibuat nakiroh, yaitu agar dapat mencakup harta yang sedikit atau banyak. Kata فَسُلِّطَ yang menunjukkan agar manusia memerangi nafsunya yang berwatak bakhil. Kemudian kata هَلَكَته yang menunjukkan agar tidak disisakan harta itu. Kemudian kata فِي الْحَقّSupaya semuanya ditasarrufkan pada ketaatan dan tidak jatuh pada isrof dan tercela. Dan maksud kata الْحِكْمَة mengandung dua pendapat, ada yang memaknai al-Qur’an, ada juga yang memaknainya dengan segala sesuatu yang mencegah dari kebodohan dan keburukan.
Pada akhir keterangan, Ibnu Hajar menyampaikan “Faidah”, yang berisi:
-     Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa makna hasad yang dimaksud di sini adalah ghibthoh, hal ini juga ditambahkan Abu Hurairah dalam Hadits ini.
-     Hadits ini kualitasnya adalah hasan shohih.
-     Hadits ini menunjukkan keutamaan orang kaya yang mentasarrufkan hartanya sesuai dengan ketentuan harta yang benar menjadi lebih utama dari orang fakir, dinisbatkan kepada orang yang berpaling dan tidak berharap saja, bukan dinisbatkan pada yang lain. Masalah ini akan dibahas lagi dalam hadits yang menjelaskan bahwa orang yang member makan lagi syukur itu seperti orang yang puasa lagi sabar, dalam kitab makanan.


BAB V
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Al Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani dengan kitab Syarah Haditsnya Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari mempunyai peran besar dalam keilmuah Hadits yakni dalam syarah hadits. Kitab syarah Hadits ini merupakan kitab syarah yang agung dengan banyak keistimewaan dalam hal ketelitian, keluasan cakupan bahasan dan yang lainnya.
Adapun metode yang digunakan Ibnu Hajar dalam mensyarah Hadits dalam Fath al-Baari bi Sharh Shahih al-Bukhari adalah dengan: mengumpulkan hadits-hadits dalam bab-bab, kemudian menyebutkan hubungan munasabat diantara keduanya meskipun samar, menjelaskan keshohihan hadits baik dari segi matan maupun sanad, menjelaskan tadlis jika ditemukan dengan meninjau kepada kitab-kitab musnad, jawami’, mustakhrijat, ajza’, dan faidah-faidah dengan memenuhi syarat keshohihan atau hasan dari apa yang didapatnya, mnejelaskan /menyambung sanad-sanad yang terputus, menjelaskan makna lafadh-lafadh yang sulit dipahami/butuh pemahamn husu, menjelaskan hasil-hasil istinbath para imam dari hadits baik berupa  hokum-hukum fikih, mauidhoh zuhud, adab yang terjaga, seraya hanya mengambil pendapat yang rajih, menjelaskan hikmah diulanginya Hadits dalam berbagai bab jika terdapat pengulangan matan.
  
B.  Saran
Dari penelitian kecil ini penulis harapkan muncul kesadaran khususnya pada diri penulis dan masyarakat muslim pada umumnya agar lebih banyak melihat kitab-kitab syarah hadits sebelum menjelaskna makna hadits kepada halayak umum.

C.  Kata Penutup
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas selesainya laporan penelitian ini.. Segala kekurangan dan kesalahan mohon maaf dan mohon kritik konstruktif. Semoga bermanfaat, aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Imam al Hafizh Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Hadyu as-Saari: Muqaddimah Fath al-Baari bi Syarh Shihih al- Bukhori,Kairo: Darul Hadits, 1998.
_______________, Fath al-Baari bi Syarh Shihih al- Bukhori, juz 1, Kairo: Darul Hadits, 1998.
_______________, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, Semarang: Toha Puetra, tt.
_______________, Taqrib at-Tahdzib, Kairo: Darul Hadits, 2004.
Muhammad Ibn Umar Ibn Salim Bazmur, Ilmu Syarh al-Hadits wa Rowafid al-Hadits fiihi, tt., tt.,
M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis dari Teks ke Konteks, Yogyakarta: Teras, 2009.
Muslım Ibn Al-Hajjaj, Al-Jami’ al- Shohih, Juz 12, hlm. 459, dalam Maktabah Syamilah
Ulya, Metode Penelitian Tafsir, Kudus: Nora Media Enterprise, 2010.
Elfath Nae, Pemikiran Ahmad ibn 'Ali ibn Hajar al-Asqalani http://el-fathne.blogspot.com/2010/05/ahmad-ibn-ali-ibn-hajar-al-asqalani-i.html


[1] Nonkshe, Syarah Hadits, dalam http://nonkshe.wordpress.com/2010/10/19/syarah-hadits/, 20 November 2014 22.08 WIB
[2] Ibid.
[3] Muhammad Ibn Umar Ibn Salim Bazmur, Ilmu Syarh al-Hadits wa Rowafid al-Hadits fiihi, tt., tt., hlm. 8
[4] Muslım Ibn Al-Hajjaj, Al-Jami’ al- Shohih, Juz 12, hlm. 459, dalam Maktabah Syamilah
[5] Muhammad Ibn Umar Ibn Salim Bazmur, Op.Cit., hlm. 9
[6] Al Imam al Hafizh Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Taqrib at-Tahdzib, Kairo: Darul Hadits, 2004.
[7] Al Imam al Hafizh Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, Semarang: Toha Puetra, tt.
[8] Muhammad Ibn Umar Ibn Salim Bazmur, Op.Cit.
[9] Ibid., hlm. 7
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis dari Teks ke Konteks,Yogyakarta: Teras, 2009, hlm.76
[14] Ulya, Metode Penelitian Tafsir, Kudus: Nora Media Enterprise, 2010, hlm. 19
[15] Ibid., hlm. 29
[16] Ibid., hlm. 41
[17] Al Imam al Hafizh Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Bulugh al-Marom min Adillati al-Ahkam,Semarang : Toha Putera, tt., hlm. ى
[18] Ibid.
[19] Iskandar Ahmad,  Op.Cit.
[20] Al Imam al Hafizh Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani,Op.Cit.
[21]Elfath Nae, Pemikiran Ahmad ibn 'Ali ibn Hajar al-Asqalani http://el-fathne.blogspot.com/2010/05/ahmad-ibn-ali-ibn-hajar-al-asqalani-i.html
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Iskandar Ahmad,  Op.Cit
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Al Imam al Hafizh Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Hadyu as-Saari: Muqaddimah Fath al-Baari bi Syarh Shihih al- Bukhori,Kairo: Darul Hadits, 1998, hlm. 6-7
[29] Iskandar Ahmad,  Op.Cit
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Al Imam al Hafizh Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalani, Fath al-Baari bi Syarh Shihih al- Bukhori, juz 1, Kairo: Darul Hadits, 1998, hlm. 201
[33] Ibid., hlm. 202
[34] Ibid.
[35] Ibid. hlm. 203
[36] Ibid.
[37]Ibid. Hlm. 204